Obor Perjuangan Kita

Obor Perjuangan Kita
Abi Rekso Panggalih.

Editorial Koran TEMPO, tidak perlu tergesa meminta pihak lain angkat bendera putih. Sebelum itu, ada bijaknya editor berkaca di cermin bersih. Seraya membasuh muka dengan handuk putih!” -ARP 

Saya membaca Editorial digital Koran Tempo. Dengan tajuk “Saatnya Jokowi Kibarkan Bendera Putih”, rilis Senin 5 Juli 2021. Semangat membaca saya pupus dalam paragraf pertengahan. Bukan hanya pupus, namun juga dibarengi rasa sedih. Kesedihan itu menebal akibat sebuah media bergengsi sekelas TEMPO, nyaris bobrok dalam membangun wacana.

Barangkali istilah bobrok, jauh lebih tepat serta terhormat untuk menggantikan diksi busuk yang terlalu sarkas dan vulgar.

Saya asumsikan saja, belum tentu pembaca tulisan saya sudah atau akan membaca gagasan bobrok yang disajikan Koran TEMPO. Kendati, atas nama perimbangan. Maka secara sukarela, saya akan kembali kutip dan sajikan kepada pembaca.

Dalam awal-awal paragraf Editorial Koran TEMPO menyajikan sebuah prakondisi bagaimana kian hari situasi makin buruk. Sebagaimana saya kutip secara presisi dari Editorial Koran TEMPO;

Pasien Covid-19 yang kritis di Jakarta dan sekitarnya makin sulit masuk ke rumah sakit karena ruang isolasi dan ICU Khusus selalu penuh, meski kapasitasnya selalu ditambah. Pasien yang sudah masuk rumah sakit pun tidak mendapat perawatan semestinya. Stok oksigen di sejumlah rumah sakit menipis bahkan mulai langka.” (Editorial Koran Tempo, 5 Juli 2021)

Sampai sini saya kira, kita perlu bangga karena Koran TEMPO masih memberikan sisi realitas pandemi. Meski bukan dalam versi investigasi yang lengkap dan valid.

Bicara dengan Data dan Fakta 

Jika berkaca setahun lalu sebagaimana yang dipersoalkan Editorial Koran TEMPO secara sembarangan. Dalam tuduhan Editorial Koran TEMPO yang dilayangkan kepada pemerintah, bahwa kebijakan relaksasi ekonomi sejak Maret 2020 adalah keliru dan penyeban lonjakan Covid-19 hari ini. Tanpa data dan fakta secara buta Editorial Koran TEMPO ngomong seenak udel. Mari kita buktikan bersama.

Data trend penyebaran Covid-19 sejak Maret 2020 hingga Oktober 2020, menurun drastis. Bayangkan, awal Maret presentase penularan hingga 88%. Dengan kebijakan kombinasi afirmatif pemerintah, hingga Oktober ditekan pada angka 20% kasus aktif. Artinya, pada awal Oktober jumlah pasien yang dirawat sekitar 67.000 pasien. Dengan rata-rata penambahan kasus 4.500 pada bulan Oktober. Angka kesembuhan juga tinggi hingga menyentuh 76,5%, dengan akumulasi pasien sembuh sekitar 255.000 jiwa. Potret data inilah yang menjadi rujukan pemerintah mulai melakukan kebijakan relaksasi ekonomi. Entah data mana yang dirujuk Editorial Koran TEMPO.

Jika masuk dalam dimensi ekonomi, laporan terakhir BPS menunjukan ekonomi Indonesia kuartal IV 2020, terkontraksi 2,07 (c-to-c) dibandingkan 2019. Dan aspek yang paling dalam kontraksi adalah bidang transportasi usaha dan pergudangan (logistik) diangka minus 15,04%. Berbanding terbalik pada 2019 sektor ini menjadi penyumbang kue ekononomi dengan pertumbuhan positif 13,42%.

Data ini menggambarkan bahwa apa yang telah dituduhkan Editorial Koran TEMPO kepada pemerintah juga omong kosong. Sekalipun relaksasi ekonomi dilakukan, itu adalah upaya penyelamatan ekonomi sektor logistik dan transportasi. Sekalipun pemerintah tidak sanggup menjaga semua entitas usaha transportasi & logistik. Bayangkan jika pemerintah tidak melakukan pelonggaran aktivitas. Apakah bualan Editorial Koran TEMPO mampu membayar segala kerugian.

Yang Dibutuhkan Optimisme, Bukan Sinisme

Nyala obor perjuangan kita, bukan saja di halam Istana Negara atau kantor-kantor pemerintahan. Namun juga semestinya obor itu nyala membara dalam hati dan pikiran kita sebagai warga negara. Pandemi ini adalah masalah kita bersama.

Jika Editorial Koran TEMPO bersusah payah membangun insinuasi kepada rakyat untuk mencibir pemerintah. Maka tulisan ini sebagai sebuah jawaban. Kita perlu berjibaku untuk semangat melawan pandemi dengan akal sehat. Yang perlu kita deklarasikan bahwa ini adalah masalah kita bersama. Maka mari bergotong royong untuk melewati masa-masa sulit ini. Kita perlu perbanyak vitamin optimisme untuk pikiran dan harapan. Serta menjauhkan dari parasit sinisme yang terus tumbuh berkembang di batang otak pesimisme.

Jika kita boleh atau harus jujur, lonjakan paparan ini dipicu kuat dengan beberapa momentum besar. Salah satunya adalah aktivitas mudik Idul Fitri Mei 2021 yang disambut dengan hari libur nasional. Kita ingat bagaimana pemerintah beserta jajaran TNI-POLRI berusaha keras untuk melakukan pembatasan bahkan penutupan akses zona merah di kota kabupaten tertentu. Upaya ini memang tidak berjalan mulus karena arus perlawanan dari massa pemudik juga begitu masif.. Sehingga kenekatan pemudik mengalahkan tekad aparat yang berniat menjaga Indonesia tetap sehat.

Aktivitas tersebut bersambung di daerah masing-masing yang sama sekali tidak menjalankan prokes dan tidak ada pembatasan di tempat kerumunan. Apa daya sebagaian besar pemudik meyakini bahwa semuanya masih baik-baik saja.

Namun, apakah pemerintah, pejabat atau kita yang taat prokes harus menyalahkan para pemudik yang berlaku aktiv sebagai pembawa virus? Tentu mencari-cari kesalahan bukan cara tepat yang dipilih dalam mitigasi eksponensial paparan Covid-19 sekarang ini.

Tanpa harus mencontoh Editorial Koran TEMPO, dengan narasi yang nyaris bobrok. Kita perlu sadar dan tegar dalam menghadapi situasi sulit ini. Karena sejatinya, semua warganegara Indonesia bertanggung jawab bersama atas nama bangsa dan kemanusiaan. Barangkali inj juga perlu menjadi catatan akal sehat Editorial Koran TEMPO.

Sebagai sebuah media berita bergengsi dengan reputasi yang semakin biasa-biasa saja. Ada baiknya pandangan jurnalisme dikuatkan. Ketimbang berselancar politis untuk membuka ruang negosiasi lain. Tetaplah menjadi Koran TEMPO, jangan Bungkus TEMPE.