Mengenang 72 Tahun Peristiwa Lengkong

37 orang gugur di Lengkong, Tangerang Selatan di suatu senja di masa revolusi fisik. Nyawa dikorbankan untuk merebut senjata serdadu Jepang. Ini menjadi bukti bahwa kita merebut kemerdekaan melalui perjuangan. Bukan karena belas kasihan dan pemberian.

Mengenang 72 Tahun Peristiwa Lengkong
Foto: Faisal Ma'arif/MR

MONITORDAY.COM, Tangerang Selatan - Siang itu, udara sedikit mendung. Tampak beberapa orang sedang asyik mengambil foto sebuah tembok berwarna gelap, agak melengkung ke dalam setinggi lebih dari dua meter. Lambang Burung Garuda berada tepat pada sisi tengah atasnya. Di atasnya berkibar Sang Saka Merah Putih. Di dinding tembok tersebut melekat tulisan berwarna keemasan, berisi keterangan singkat sebuah peristiwa berdarah, serta nama-nama mereka yang gugur dalam peristiwa itu.

Tepat di depan tembok itu, berdiri seorang lelaki tua berambut putih dengan beberapa orang di sekelilingnya. Dia terlihat sedang menjelaskan secara detail tentang peristiwa yang dulu terjadi di tempat itu. Lelaki yang mengenakan pakaian anak muda dengan topi khas sutradara itu, kemudian dengan antusias  menjawab satu persatu pertanyaan yang dilayangkan kepadanya. Lelaki itu adalah Rusdi Husein, seorang sejawaran yang tengah berkisah tentang sepenggal kisah sejarah perjuangan bangsa Indonesia.  

“Kan tanggal 25 itu ada acara. Dulu setiap 25 Januari kumpul, mungkin para pelaku, para saksi dan orang yang berkepentingan sudah habis,” ujar Rusdi, seusai  acara diskusi Historika Indonesia bertajuk ’72 Tahun Peristiwa Lengkong’, di sekitar Monumen Lengkong, BSD, Tangerang Selatan.

Peristiwa Lengkong adalah bukti sejarah, bahwa bangsa ini mendapatkan kemerdekaan dengan perjuangan dan pengorbanan. Termasuk nyawa menjadi taruhannya. Rusdi mengisahkan bahwa beberapa bulan pasca proklamasi kemerdekaan, tepatnya Tanggal 25 Januari 1946, Mayor Daan Mogot, yang didampingi oleh Mayor Wibowo, Letnan Soetopo dan Soebianto Djojohadikusumo, memimpin Taruna Akademi Resimen IV Tangerang, untuk mendatangi markas Jepang di Desa Lengkong untuk melucuti senjata pasukan Jepang. Sejarah mencatat peristiwa itu, walau banyak anak muda dari generasi milenial tak lagi mengetahuinya.

“Pada saat itu tentara Jepang dipindahkan ke sini dari pulau-pulau di Indonesia timur. Mereka menunggu untuk dipulangkan oleh tentara sekutu. Mereka disinyalir memiliki senjata berdasarkan informasi yang diterima oleh kompi. Nah, itulah kemudian menjadi inisiatif dari resimen IV Tangerang untuk mengambil alih senjata yang mereka miliki,” terang Rusdi.

Setelah truk militer mereka tiba di Markas Jepang, di depan pintu gerbang, tentara Jepang menghentikan mereka. Hanya ada tiga orang yang dipersilahkan masuk ke Markas Jepang, yaitu Mayor Daan Mogot, Mayor Wibowo, dan seorang taruna akademi militer Tangerang, yang diizinkan masuk untuk melakukan pembicaraan dengan Jepang. Sedangkan dua perwira yang lain ditunjuk untuk memimpin para taruna yang menunggu di luar.

Awalnya, proses pelucutan berlangsung lancar, tiba-tiba terdengar rentetan letusan senapan dari arah yang tersembunyi. Senja yang damai jadi berdarah. Sebagian tentara Jepang merebut kembali senjata mereka yang semula diserahkan. Lantas terjadi pertempuran tidak seimbang. Karena kalah kuat, korban berjatuhan di pihak Indonesia. Sebanyak 34 taruna dan 3 perwira Tentara Rakyat Indonesia (TRI) gugur dalam peristiwa itu.

Menurut Rusdi, 37 orang yang gugur dalam peristiwa itu, merupakan korban awal dari revolusi kemerdekaan Indonesia. “Mereka adalah bunga bangsa yang membaktikan kemampuan apa yang mereka bisa lakukan, demi Indonesia yang kita cita-citakan semua,” ungkap Rusdi.

Rusdi Juga menyatakan bahwa bangsa Indonesia harus bisa menghargai, memperingati, dan mengapresiasi peristiwa yang terjadi kurang lebih 72 tahun yang lalu itu. “Ini (Peristiwa Lengkong) adalah momen peristiwa hari-hari masa panjang kemerdekaan, karena setiap orang, terutama generasi muda, bertekad bulat untuk mempertahankan kemerdekaan proklamasi 1945, apa pun yang terjadi,” tegas Rusdi.

Sementara Abdul Basit, Ketua Historika Indonesia mengatakan bahwa tujuan diadakannya diskusi dalam memperingati Peristiwa Lengkong itu untuk  mengingatkan, dan memperingati bahwa di tempat itu puluhan tahun yang lalu ada anak muda bangsa Indoensia yang gugur dalam membela bangsa Indonesia.

“Karena ada yang mengatakan untuk menghancurkan sebuah negara, jauhkan saja dari sejarahnya. Kata Bung Karno, Jasmerah, Jangan sekali-sekali melupakan sejarah. Jadi ya tujuannya itu, untuk memperingati dan mengingatkan itu,” papar Basit.

Basit juga menyatakan bahwa kegiatan tersebut salah satunya untuk memperkenalkan Monumen Lengkong di tempat itu. Karena monumen tersebut jarang sekali ada yang mengunjungi untuk sekedar tahu dan memperingati. Tapi yang utama adalah untuk memperingati persatuan negara Indonesia. Karena kejadian itu terjadi pasca proklamasi kemerdekaan dan merupakan rangkaian dari perjuangan revolusi bangsa Indonesia.

Kembali menurut Rusdi, pentingnya memperingati peristiwa ini bagi generasi muda adalah supaya belajar dan mengapresiasi para pejuang yang telah rela mengorbankan segenap jiwa dan raganya.

“Yah tentu saja, bangsa Indonesia perlu menghargai mereka yang dulu membaktikan segala darma baktinya. Begitu dong, apa lagi telah mengorbankan esensi paling besar dalam kehidupan, yaitu jiwa,” tandasnya.

 

[Agastof]