Nestapa Tenaga Kesehatan di Masa Pandemi
Tenaga kesehatan merupakan pihak yang paling rentan dan beresiko tinggi terpapar Covid-19. Nyawa adalah taruhan dari pekerjaan mereka selama pandemi. Di Jawa Barat saja, terdapat 123 tenaga kesehatan yang positif Covid-19.

MONDAYREVIEW.COM - Nestapa, mungkin inilah kata yang tepat guna menggambarkan kondisi tenaga kesehatan di masa pandemi. Bagaimana tidak, sampai hari ini belum ada penelitian yang fokus membahas pengaruh Covid-19 terhadap mereka. Sementara data menunjukan kasus kematian tenaga kesehatan di Indonesia (6.5%) jauh lebih tinggi dibanding rata-rata global (0.37%).
Tenaga kesehatan merupakan pihak yang paling rentan dan beresiko tinggi terpapar Covid-19. Nyawa adalah taruhan dari pekerjaan mereka selama pandemi. Di Jawa Barat saja, terdapat 123 tenaga kesehatan yang positif Covid-19. Hal ini disebabkan berbagai faktor, diantaranya alat pelindung diri yang langka, kurangnya pengetahuan menggunakan APD dengan benar, dan pasien yang berbohong saat diperiksa akibat takut pada stigma.
Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga, tenaga kesehatan sering menanggung stigma dari masyarakat sekitar. Ketidakpahaman dan ketakutan berlebihan masyarakat membuat mereka berlaku tak seharusnya kepada para nakes. Seorang perawat diusir dari kontrakannya, kejadian ini terjadi di Palembang. Ada juga tenaga medis yang memiliki anak, sang anak diasingkan oleh orang tua teman-temannya karena takut tertular.
Masa new normal yang dicanangkan pemerintah tak membuat kondisi tenaga kesehatan menjadi normal. Penambahan jumlah pasien harian semakin meningkat, memecahkan rekor baru yakni 1.241 kasus baru dalam sehari. Para nakes tetap harus berjibaku menyembuhkan pasien Covid-19 di tengah kurva yang tak kunjung melandai.
Kondisi saat new normal sudah jauh lebih baik dalam banyak hal seperti ketersediaan APD dan kuantitas tes yang dilakukan. Rapid Test dan Swab Test semakin masif dilakukan, yang disinyalir menjadi penyebab naiknya positif Covid-19. Selain mengikuti tes yang diselenggarakan pemerintah, masyarakat juga dapat mendapatkan pelayanan tes covid di berbagai fasilitas kesehatan.
Lagi-lagi nestapa itu muncul, beredar postingan di media sosial yang menuduh fasilitas kesehatan menjadikan Covid-19 sebagai ladang bisnis. Sesuatu yang membuat emosi tenaga kesehatan tersulut. Sudah bertaruh nyawa, harus ditambah dengan menerima tuduhan tak berdasar. Banyak yang belum tahu bahwa selama ini fasilitas kesehatan sudah kewalahan dalam menangani Covid-19 baik secara sarana prasarana maupun finansial.
Tentu saja meratap dan pasrah bukan solusi, problematika yang menimpa tenaga kesehatan harus direspon secara serius khususnya oleh pemerintah. Selaku pemegang kebijakan, pemerintah perlu fokus kepada beberapa langkah:
Langkah pertama, melakukan edukasi yang terus menerus kepada masyarakat dengan melibatkan tokoh masyarakat dan agama. Edukasi yang penting untuk diberikan adalah tidak menstigma penyintas Covid-19 juga tenaga kesehatan. Masyarakat juga perlu diedukasi agar mau jujur untuk mengakui jika mengalami gejala Covid-19. Kejujuran masyarakat akan menyelamatkan banyak tenaga kesehatan dari paparan Covid-19.
Langkah kedua, melakukan sosialisasi tentang aturan yang berlaku terkait Covid-19. Karena sekarang kita sudah memasuki masa new normal, maka yang perlu disosialisasikan secara masif adalah protokol new normal. Tak cukup hanya sosialisasi, pemerintah juga harus memberikan sanksi yang tegas terhadap pihak yang melanggarnya. Pemerintah juga harus memberikan teladan kepada rakyatnya dengan melaksanakan protokol yang ditetapkan.
Langkah ketiga, pemerintah dan organisasi profesi kesehatan perlu meningkatkan pengetahuan tentang penggunaan APD bagi tenaga kesehatan. Walaupun sudah ada panduannya dari Kemenkes, namun harus dibarengi dengan pelatihan yang cukup. Mengingat fenomena pandemi ini baru kita alami di Indonesia, sehingga tenaga kesehatan masih perlu dilatih dan dibiasakan dalam menghadapinya. Salah satunya dalam penggunaan APD.
Langkah keempat, pemerintah harus memanfaatkan kehadiran teknologi informasi untuk mengoptimalkan penyaluran APD ke seluruh RS secara merata. Jangan sampai ada satu RS dimana APD menumpuk, sementara RS lainnya kekurangan APD. Teknologi informasi juga bisa digunakan untuk mendata APD yang masuk ke RS baik dari pemerintah maupun swadaya masyarakat.