Kelapa Sawit, Deforestasi dan Boikot Uni Eropa
Isu deforestasi senantiasa mengiringi perkembangan kebun sawit.

MONDAYREVIEW.COM – Kelapa sawit merupakan tanaman perkebunan yang lahannya cukup luas di Indonesia. Jika kita berjalan-jalan ke Pulau Sumatera atau Kalimantan, kebun sawit akan mudah ditemukan sepanjang mata memandang. Sawit merupakan pohon yang menghasilkan bahan baku untuk minyak goreng. Sawit dikelola oleh perusahaan seperti PT. Astra Agro Lestari. Para pemilik perkebunan sawit sebagian merupakan konglomerat. Sawit menjadi salah satu komoditas andalan ekspor Indonesia.
Masifnya pembukaan lahan sawit bukan berarti tanpa reaksi, terutama dari aktivis lingkungan. Isu deforestasi senantiasa mengiringi perkembangan kebun sawit. Deforestasi merupakan pembabatan hutan alami karena lahannya akan dijadikan lahan sawit. Pembukaan lahan sawit atau pertanian pada umumnya tidak bisa lepas dari proses deforestasi. Country Director Greenpeace Indonesia Leonard Simanjuntak mengatakan sumber deforestasi terbesar di Indonesia adalah industri sawit.
Leonard mengatakan selain deforestasi permasalahan lain yang dihadapi Indonesia adalah kebakaran hutan dan lahan. Salah satu tahun dengan kejadian kebakaran hutan dan lahan terparah yang dialami Indonesia terjadi di 2015. Saat itu, praktik pembakaran hutan dalam konsesi perkebunan kelapa sawit masih marak. Menurut Leonard, deforestasi dan kebakaran hutan merupakan salah satu sumber emisi karbon terbesar Indonesia. Tanpa penghentian deforestasi dan kebakaran hutan, Indonesia tidak akan bisa memenuhi komitmen penurunan emisi karbon.
Tuduhan dari Green Peace tersebut dibantah oleh data dari International Union for Conservation of Nature (IUCN) menunjukkan bahwa pengembangan kelapa sawit hanya bertanggung jawab sebesar 0,2 persen terhadap deforestasi global. Secara geografis, Indonesia hanya mewakili 16 persen dari total kehilangan hutan di wilayah Asia Tenggara selama periode 1972–2015.
Deforestasi di Indonesia telah terjadi jauh sebelum pengembangan perkebunan kelapa sawit. Secara historis, sebagian besar kondisi tersebut disebabkan oleh kombinasi praktik penebangan pohon secara legal dan ilegal yang tidak berkelanjutan. Seperti halnya di Pulau Kalimantan yang menjadi salah satu daerah penghasil minyak sawit di Indonesia. Borneo Indonesia tersebut telah mengalami kehilangan dan degradasi hutan skala besar karena kegiatan ekstraksi dan pembakaran kayu oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.
Lahan yang telah terdegradasi tersebut akhirnya dimanfaatkan oleh beberapa industri perkebunan, termasuk industri perkebunan kelapa sawit. Upaya tersebut justru mampu memperbaiki fungsi lingkungan dan kualitas tanah, ekonomi, dan sosial di lahan yang telah terdegradasi tersebut.
Uni Eropa juga menyoal tentang kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh ekspansi perkebunan kelapa sawit yang masif serta kurangnya komitmen terhadap pelestarian (sustainable) akibat pembersihan lahan (land clearing) dan juga penyeragaman tanaman (homogenitas) yaitu Kelapa sawit yang dalam ilmu kehutanan sebagai cikal bakal kerusakan ekosistem yang gradual yang disinyalir sebagai salah satu penyumbang terjadi perubahan iklim (climate change) terbesar.
Dari pihak produsen, balik mengancam dengan segera memboikot produk-produk negara-negara eropa karena terjadinya ketidak adilan. Pertama, dikarenakan uni eropa menggunakan standar ganda (double standar) terhadap produsen minyak nabati lainnya, seperti kacang kedelai, jagung dan lainnya. Kedua, bagi pihak penghasil minyak sawit, dalam beberapa tahun belakangan ini, usaha usaha pengembangan sawit secara berkelanjutan (sustainability) sudah dilakukan dan sudah mengalami kemajuan dalam implementasinya.
Menanggapi kritik Uni Eropa tersebut, pemerintah telah secara konsisten berupaya meningkatkan usaha-usaha keberlanjutan komoditas kelapa sawit dengan mengeluarkan berbagai peraturan atau regulasi, seperti melakukan peremajaan kebun sawit dengan menggunakan bibit kelapa sawit yang unggul dan telah tersertifikasi dengan harapan tanaman kelapa sawit yang tumbuh lebih bernilai ekologis seperti pohonnya tidak boros dalam konsumsi air, minimal terhadap penggunaan peptisida, pupuk yang kadar kimiawinya rendah dan lain-lain.
Disamping itu, peraturan tentang moratorium izin perluasan kebun sawit yang diatur dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunana Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit yang ditanda-tangani pada 19 September 2018.