Negosiasi Vaksin Nusantara

DUNIA sudah dua tahun dilanda pandemi Covid-19. Hampir semua sektor kehidupan terpukul, terutama sektor ekonomi akibat larangan berkumpul atau aturan menjaga jarak yang terus disosialisasikan pemerintah. Banyak pihak lalu berlomba mengatasi pandemi. Salah satunya lewat penemuan vaksin.
Vaksin diyakini sebagai jawaban untuk mengakhiri derita pandemi. Para ahli berpendapat kemajuan teknologi dan pengetahuan dapat mempercepat proses penemuan vaksin Covid-19. Selain oleh pemerintah, upaya upaya penemuan vaksin juga dilakukan mantan Menteri Kesehatan, dr. Terawan Agus Purwanto. Alhasil, ditemukanlah sebuah vaksin yang diberi nama Vaksin Nusantara.
Kontroversi sepertinya memang melekat dalam diri dr. Terawan. Seperti pernyataannya dalam sebuah kesempatan webinar, bahwa saat ini apa yang ditemukannya itu jadi gunjingan di seluruh dunia.
Kata dia, salah satunya apa yang ditulis di Jurnal PubMed. Isinya, mengulas dendritic cell vaccine immunotherapy atau Vaksin Nusantara, the begining of the end cancer and Covid-19. Dunia sepakat punya hipotesis bahwa yang menyelesaikan hal ini termasuk Covid-19 adalah dendritic cell vaccine immunotherapy atau Vaksin Nusantara.
Jurnal yang dimaksud oleh Terwan adalah Dendritic Cell Vaccine Immunotherapy: the beginning of the end of cancer and COVID-19, A hypothesis". Jurnal itu ditulis oleh sejumlah peneliti, salah satunya adalah Amal Kamal Abdel-Aziz dari Department of Experimental Oncology, European Institute of IRCCS, Milan, Italia.
Padahal baru beberapa waktu lalu pihak pemerintah melalui BPOM, Kementrian Kesehatan dan TNI AD melakukan kesepakatan untuk menghentikan pengembangan vaksin nusantara dan menggantinya dengan nama Penelitian Sel Dendritic.
Apa itu Vaksin Nusantara?
November 2020, dr. Terawan Agus Putranto ketika masih menjabat Menteri Kesehatan, merriset pengembangan vaksin berbasis sel dendritik. Ini dilakukan melalui kerja sama Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan dengan PT Rama Emerald Multi Sukses yang belakangan disebut sebagai Vaksin Nusantara.
Vaksin Nusantara merupakan vaksin yang dikembangkan dari sel dendritik. Metode ini biasa digunakan dalam terapi kanker. Merujuk pada jurnal European Institute of Oncology disebutkan bahwa vaksin yang dibangun dari sel dendritik cukup ampuh melawan Covid-19. Sebelumnya, metode sel dendritik terbukti ampuh menangani pasien kanker melalui mekanisme imunitas antitumornya sebagai adjuvant yaitu pendorong terbentuknya imun.
Pada konferensi virtual, Selasa (25/5/2021), Terawan mengutip literatur yang menyebutkan bahwa pengaruh dari vaksin dari sel dendritik akan bertahan berpuluh tahun, dan akan awet dalam jangka panjang. Adapun, metode sel dendritik sudah dikembangkan di RSPAD Gatot Soebroto sejak 2015 untuk pengobatan kanker. Ini yang membuat dr. Terawan mengklaim bahwa Indonesia bisa jadi menjadi negara pertama yang mengembangkan sel dendritik, vaksin imunoterapi, yang dunia sudah menyetujuinya dan menghipotesiskan untuk mengakhiri Covid-19. Terawan optimis hal ini bisa dibuktikan dengan riset.
Kritik dan Penolakan
Pada April 2021 sejumlah pihak menolak bahkan meminta Terawan menghentikan pembuatan vaksin ini. Sejumlah pihak itu antara lain ilmuwan dari LIPI, Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI), ilmuwan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), para tokoh, perwakilan WHO. Hal ini dipicu oleh adanya penyuntikan vaksin sel dendritik kepada sejumlah orang dan melakukan uji tahap 2 padahal belum mengantongi izin dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Orang-orang yang diketahui telah melakukan penyuntikan adalah sejumlah anggota Dahlan Iskan yang merupakan mantan Menteri BUMN era Pemerintahan Presiden SBY, Mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari, Aburizal Bakrie, beberapa anggota DPR RI dan sejumlah publik figure. Meski demikian juru bicara vaksinasi Covid-19 Kementrian Kesehatan menyatakan bahwa penyuntikan anggota DPR merupakan rangkaian dari uji klinis kedua yang selanjutnya untuk penggunaan secara masal.
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang menyebut ada banyak temuan dari uji klinis yang belum dibereskan oleh tim peneliti, salah satunya produk vaksin ini dibuat dalam kondisi tidak steril. Vaksin seharusnya dibuat secara close system yaitu, mulai dari tahap pengambilan darah, pemaparan antigen virus, hingga memasukkannya kembali ke dalam tubuh, darah tidak pernah keluar dari tabung. Dari hasil penelitian tersebut, BPOM menemukan adanya proses pembuatan vaksin secara manual dan open system.
Selain itu BPOM melihat antigen yang dipakai untuk membuat vaksin bukanlah pharmaceutical grade. Produsen antigen tersebut yakni Lake Pharma-USA pun tidak menjamin sterilitasnya. Sebab, sejak awal, antigen itu dibuat bukan untuk dimasukkan kedalam tubuh manusia tetapi untuk riset di laboratorium. Apalagi usai vaksin selesai dibuat, tidak pernah dilakukan uji sterilitas sebelum diberikan kepada manusia. Hal ini memicu risiko pada produk akhir vaksin nusantara yang tidak steril dan menyebabkan adanya risiko infeksi bakteri pada penerima vaksin tersebut.
Kepala BPOM juga menyatakan bahwa proses pembuatan vaksin Nusantara melompati proses yang telah disepakati. Seharusnya vaksin nusantara melalui tahapan praklinik terlebih dahulu sebelum masuk tahap uji klinik tahap I. Tim yang memproses vaksin Nusantara menolak tahapan itu.
Negosiasi
Polemik yang terjadi antara dr. Terawan beserta tim penelitinya dengan BPOM selaku pihak pemerintah yang memiliki wewenang dalam mengawasi peredaran obat dan makanan cukup membuat riuh di tengah publik sedang berkembuk melawan pandemi. Hal ini pun membuat sejumlah pihak bersuara untuk segera dapat mengakhirinya.
Di satu sisi pengembangan vaksin oleh dr Terawan dan kawan-kawan hasrusnya diapresiasi sebagai sebuah prestasi dan inovasi dari anak bangsa yang berupaya memberikan sumbangsihnya kepada bangsa ini. Apalagi vaksin ini dianggap lebih murah, aman dan halal karena bersifat personalized. Selain itu hal ini juga dapat membantu pemerintah dalam pengadaan vaksin di dalam negeri sehingga tidak tergantung dengan pembelian vaksin konvensional serta dapat menghemat anggaran negara. Apalagi isu nasionasliasme Vaksin saat ini telah mencuat.
Di sisi lain, BPOM dan sejumlah pihak masih mempertanyakan keamanan dan efektifitas vaksin tersebut yang belakangan diketahui bahwa pertama kali, Vaksin Nusantara dikembangkan oleh perusahaan farmasi asal Amerika Serikat bernama AIVITA Biomedical. Selain itu penelitian sel dendritic merupakan penelitian untuk pengembangan pengobatan kanker.
Maka itu Juru bicara Satgas, Wiku Adisasmito bahkan meminta pengembang vaksin tersebut untuk berkoordinasi dengan BPOM sehingga masalah yang terkait vaksin itu bisa diselesaikan. Penyelasian masalah ini salah satunya adalah dengan melakukan negosiasi dan persuasi dari kedua belah pihak. Bagaimana pun kehadiran vaksin nusantara ini perlu menjadi perhatian khusus pemerintah dalam upaya membantu penekan laju penyebaran virus Covid-19. Dengan adanya negosiasi diharapkan ada win-win solution bagi kedua pihak. Sebagai penggagas dan tim penelitinya Terawan dapat melakukan penelitiannya lebih lanjut dan sebagai pihak yang berwenang dalam mengawasi obat dan makanan BPOM pun dapat meredam kekhawatiran sejumlah pihak.
Negosiasi menurut Čulo & Skendrović (2012) menyebutkan, negosiasi adalah dialog antara dua orang atau lebih yang dimaksudkan untuk mencapai pemahaman dan menyelesaikan perbedaan untuk menghasilkan kesepakatan tentang tindakan. Dengan demikian, negosiasi adalah proses tawar-menawar dari pihak-pihak yang terlibat dalam proses negosiasi yang dimaksudkan untuk mengarah pada kesepakatan atau kompromi. Sedangkan menurut Kevin Barge (2009) negosiasi merupakan salah satu pendekatan untuk mengelola perbedaan atau lebih tepatnya untuk mengurangi perbedaan di antara ketidakcocokan dan berakhir dengan sebuah kesepakatan.
Sejumlah Pihak Bertemu
Senin (19/4/2021), Kepala Staf TNI AD (KSAD) Jenderal TNI Andika Perkasa, Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny K Lukito, dan Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin bertemu. Disaksikan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan RI Muhajir Effendy, ketiganya menandatangani Nota Kesepahaman (MoU) terkait penelitian berbasis pelayanan sel dendritik.
Menurut MoU itu, penelitian berbasis pelayanan sel dendritik itu dilakukan untuk meningkatkan imunitas terhadap Virus SARS-CoV-2. Selain mempedomani kaidah penelitian sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan, penelitian ini juga bersifat autologus. Artinya, penelitian hanya dipergunakan untuk diri pasien sendiri sehingga tidak dapat dikomersialkan dan tidak diperlukan persetujuan izin edar. Ini berarti tidak ada izin edar dari BPOM.
BPOM juga menyatakan bahwa MoU ini bukan kelanjutan dari uji klinis adaptif tahap 1 (satu). Dimana uji klinis tahap 1 yang sering disebut berbagai kalangan sebagai program vaksin Nusantara ini masih harus merespons beberapa temuan BPOM yang bersifat critical dan major. MOU ini jika dilihat dari tahapan negosiasi merupakan tahapan penutupan dan implementasi.
Poin-poin dan penjelaskan penjelasan MOU tersebut merepleksikan kesepakatan dengan pendekatan BATNA (Best Alternative to a Negotiated Agreement), dimana dr Terawan tetap dapat melakukan riset dan vasinasi namun tidak untuk diedarkan dan dikomersilkan.
Menko PMK menegaskan bahwa dengan MoU tersebut intinya pengalihan program penelitian yang semula berada dalam platform penelitian vaksin yang berada di bawah pengawasan BPOM ke penelitian berbasis pelayanan yang dipusatkan di RSPAD Gatot Soebroto. Dengan demikian polemik vaksin nusantara dianggap selesai.
Dengan demikian apa yang menjadi kekhawatiran sejumlah pihak dapat diredam, dan satu sisi penelitian yang merupakan sebuah inovasi dan alternatif dalam membantu herd immunity masyarakat terhadap serangan virus sudah sepantasnya diapresiasi agar inovasi dan kreativitas ini terus berjalan serta menunjukkan adanya keberpihakan negara terhadap riset anak bangsa.