AHY, Puan, dan Regenerasi dalam Politik Dinasti

Politik Dinasti banyak dikritik, demokrasi seharusnya lebih mengedepankan merit system. Namun realitasnya, popularitas para penerus dinasti politik relatif tinggi. Akankah mereka bisa mengkapitalisasi popularitas menjadi elektabilitas?

AHY, Puan, dan Regenerasi dalam Politik Dinasti
Puan dan AHY/ collage (c) antara

 

 

MONDAYREVIEW- Menjadi bagian dari keluarga presiden atau mantan presiden terbukti mengandung berbagai konsekuensi. Para politisi muda berlatar belakang keluarga mantan orang nomor 1 di republik ini sudah mulai digadang-gadang untuk menjadi pemimpin nasional. Walau banyak kritik agar politik dinasti tak lagi diberi tempat dalam kontestasi demokrasi, namun kenyataan berkata lain. Setidaknya, para penerus dalam keluarga mantan presiden ini, memiliki tingkat popularitas yang tinggi. Popularitas yang dapat menelurkan elektabilitas.    

Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan Puan Maharani adalah dua di antara sekian banyak penerus dinasti politik. AHY tidak saja dihubungkan dengan ayahnya yang mantan orang nomor satu di negeri ini. Kakeknya adalah salah satu jenderal RPKAD. Bahkan, bila dirunut silsilahnya konon bisa sampai ke Raden Wijaya, pendiri kerajaan Majapahit. Kerajaan yang menguasai nusantara di masa lampau. Sinyalemen itu diungkap SBY dalam sebuah pertemuan kader partai di Jatim.

Tak salah orang mencari legitimasi dengan menggunakan genealogi, yakni kajian tentang keluarga dan penelusuran jalur keturunan serta sejarahnya. Ahli genealogi menggunakan berita dari mulut ke mulut, catatan sejarah, analisis genetik, serta rekaman lain untuk mendapatkan informasi mengenai suatu keluarga dan menunjukkan kekerabatan dan silsilah dari anggota-anggotanya. Hasilnya sering ditampilkan dalam bentuk bagan (disebut bagan silsilah) atau ditulis dalam bentuk narasi.

Beberapa ahli membedakan antara genealogi dan sejarah keluarga dan membatasi genealogi hanya pada hubungan perkerabatan, sedangkan "sejarah keluarga" merujuk pada penyediaan detail tambahan mengenai kehidupan dan konteks sejarah keluarga tersebut. Obsesi SBY pada Majapahit ini tercermin kuat dalam nama cucu-cucunya. Tunggadewi, Airlangga, Rajasa, Gayatri adalah nama-nama yang terkait dengan Ratu, Raja, dan Permaisuri Majapahit. 

Politik tak bisa andalkan klan atau faktor silisilah keluarga semata. Namun bila anak politisi jadi politisi tentu sah-sah saja. Popularitas sudah ada di tangan tinggal dimainkan dan dikapitalisasi.

Statistik hasil survei yang dilakukan Alvara Research yang dipaparkan pada 23 Pebruari 2018 menunjukkan AHY di urutan teratas dengan 17,2% untuk menjadi cawapres di pilpres 2019. Senada dengan hasil tersebut, pada tanggal 3 April 2018, Indobarometer merilis hasil surveinya di beberapa daerah di Jawa Timur yang hasilnya menunjukkan posisi AHY juga di urutan teratas dengan 15, 1%.     

Tak hanya terima enaknya, beban politik juga menggelayut para penerus dinasti politik. Dia akan menerima getah  ‘dosa politik’  masa lalu. Lawan politik akan menghubungkannya dengan citra dan langkah politik orangtua atau kakak-neneknya yang dipandang salah dan bisa berpengaruh padanya.

Sementara, Puan Maharani yang dikaitkan dengan trah atau dinasti Soekarno menggenggam popularitas yang cukup tinggi. Disamping dikenal sebagai putri Megawati, Puan juga memegang posisi strategis di pemerintahan sebagai Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan. Pada Pemilu 2009. Puan Maharani akhirnya terpilih dengan suara terbanyak kedua di tingkat nasional yaitu 242.504 suara. Ia berangkat ke Senayan dari Dapil Jawa Tengah V (Surakarta, Sukoharjo, Klaten, dan Boyolali).

Di internal PDI Perjuangan, Puan Maharani dipercaya menjadi Ketua Bidang Politik & Hubungan Antar Lembaga yang memiliki peran strategis. Alumni Ilmu Komunikasi UI ini juga pernah menggantikan posisi Tjahjo Kumolo sebagai Ketua Fraksi PDIP di DPR RI. Peluang Puan untuk mendampingi Jokowi dalam Pilpres 2019 dinilai banyak kalangan cukup kecil. Elektabilitas Jokowi bisa merosot tajam bila disandingkan dengan Puan sebagai cawapresnya.    

AHY dan Puan sama-sama memiliki pesona sebagai seorang calon pemimpin. Penampilan fisik AHY yang tampan dan gagah didukung dengan sikapnya yang tenang dan santun. Kemampuannya dalam komunikasi massa baik dalam orasi maupun debat juga lumayan. AHY memiliki kemampuan memimpin karena setidaknya pernah berkarier di militer sampai pangkat mayor TNI AD. Kecerdasannya juga ditunjukkan dengan gelar akademiknya yang bagus sebagai salah satu alumnus perguruan tinggi ternama di AS.

Sementara Puan memiliki penampilan keibuan dan tenang mirip Mega, ibunya. Dengan kariernya yang panjang di dunia politik dan eksekutif, menjadi modal yang bagus. Ia tak hanya mengandalkan nama besar ibu dan kakeknya. Sejak muda sudah mulai aktif di KNPI dan akhirnya terjun ke PDIP. Luasnya pergaulan Puan menjadi jalan untuk menjalin komunikasi dengan banyak politisi. Puan bisa menjadi figur pengayom yang mampu mengakomodasi kekuatan dan kepentingan politik di partainya. Yang menjadi persoalan adalah tingkat elektabilitasnya yang masih belum juga bergerak naik.

Lepas dari berbagai analisis pakar dan hasil survei, AHY dan Puan adalah aset bangsa. Mereka semestinya bisa merajut tali kebangsaan demi kepentingan rakyat dengan menjadi politisi  sekaligus negarawan. Dan demokrasi kita pun bisa berkembang di atas dasar meritokrasi atau merit system. Kalaupun mereka yang dianggap bagian atau penerus dinasti politik akhirnya moncer, tentu bukan dengan menenggelamkan para kader yang bermodal integritas, kecakapan, dan pengetahuan.