Keadilan Pajak dan Ketimpangan Ekonomi

KEADILAN sosial menjadi dasar dirumuskannya kebijakan alokasi anggaran negara yang memberi prioritas untuk menyantuni amanat konstitusi, mencegah intervensi pihak asing, serta alat penjarahan pihak penguasa. Demikian juga sebagai wujud negara yang berkeadilan sosial, kebijakan fiskal haruslah didesain untuk mencegah perilaku korupsi yang akan merintangi jalan bagi terwujudnya kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pandemi Covid-19 mengakibatkan kesenjangan penduduk antara yang kaya dan miskin semakin melebar. Badan Pusat Statistik mencatat ketimpangan pengeluaran penduduk RI yang diukur oleh rasio gini (gini ratio) sebesar 0,385 per September 2020. Rasio ketimpangan menunjukkan peningkatan dibandingkan pada masa awal pandemi atau Maret 2020 yang sebesar 0,381 dan September 2019 yang sebesar 0,380.
Hal serupa juga terjadi pada level dunia. Riset Oxfam mencatat kekayaan 1.000 miliuner dunia sempat turun dari 9.150 miliar dolar AS pada Februari 2020 ke 6.432 miliar dolar AS pada Maret 2020. Akan tetapi, hanya dalam waktu sembilan bulan atau per November, kekayaan para miliuner sudah kembali ke level 9.139 miliar dolar AS.
Organisasi Buruh Internasional (ILO) juga mencatat adanya kerugian yang tidak proporsional akibat Covid-19 pada kelompok yang paling terpinggirkan. Sekitar 255 juta pekerjaan penuh waktu hilang pada tahun 2020 dan menghapus US$3,7 triliun pendapatan tenaga kerja. Akibatnya, sekitar 108 juta orang didorong kembali ke dalam kemiskinan, di antara mereka yang paling rentan adalah kaum muda, perempuan, pekerja informal, dan buruh migran.
Karenanya tidak heran, di masa pandemi semua negara menerapkan kebijakan fiskal yang ekspansif. Hal ini dilakukan untuk memberi tambahan alokasi perlindungan sosial dan pemulihan kesehatan bagi seluruh warga negara yang membutuhkan dana yang sangat besar. Belanja negara yang paling besar terlihat pada pemenuhan akses vaksin bagi warga dan bantuan sosial bagi kelompok miskin dan dunia usaha, terutama UMKM.
Tetapi kemampuan fiskal berbeda di setiap negara. Negara miskin dan berkembang yang memiliki sumber penerimaan negara yang terbatas dan beban utang yang besar, berada pada kondisi yang lebih sulit. Akibat yang tidak bisa dihindari adalah mereka umumnya akan mengambil sumber-sumber pembiayaan dari pinjaman dan penerbitan surat berharga yang mahal. Dalam jangka menengah dan panjang, kebijakan ini akan menjadi beban fiskal yang amat berat.
Kesulitan pembiayaan yang dialami banyak negara berkembang salah satunya bersumber dari penarikan pajak yang rendah. Entah disebabkan rendahnya kepatuhan pembayar pajak atau segala jenis bentuk penghindaran pajak yang merugikan. Salah satunya adalah penghindaran kewajiban pajak oleh perusahaan dengan cara memindahkan keuntungan yang diperoleh ke negara-negara surga pajak.
Sebuah laporan yang dikeluarkan oleh jaringan pajak berkeadilan pada 2021 menunjukkan, bahwa perusahaan multinasional mengalihkan laba senilai US$1,19 triliun ke lokasi tax heaven selama setahun, menyebabkan pemerintah di seluruh dunia kehilangan US$312 miliar per tahun dalam pendapatan pajak langsung. Jumlah ini lebih besar dari perkiraan di tahun 2020 yang mencapai US$245 miliar.
Ini adalah angka kerugian langsung. Belum lagi kerugian tidak langsung akibat kebijakan pengurangan pajak yang dilakukan negara untuk mengompensasi kerugian langsung dari penyalahgunaan pajak perusahaan. IMF bahkan menyebutkan kerugian tidak langsung bisa mencapai tiga kali lebih besar daripada kerugian langsung.
Jika angka-angka ini dihitung dan dibandingkan dengan kebutuhan pendanaan bagi seluruh negara untuk membiayai pembuatan vaksin, melindungi orang miskin, dan membuat lapangan kerja baru, jumlah kehilangan pajak ini akan menutupi seluruh biaya tersebut. Di sisi lain kita juga menyaksikan sejumlah perusahaan multinasional seperti Amazon menikmati keuntungan yang berlipat ganda justeru ketika pandemi melanda dunia.
Situasi ini juga mendorong pemerintah di banyak negara untuk membuat sistem pajak yang lebih efektif dan adil kepada mereka yang berpenghasilan tinggi. Kelompok yang selama ini berada di puncak piramida ekonomi dan mendapat keuntungan ekonomi secara tidak proporsional yang menimbulkan penderitaan bagi begitu banyak orang.
Termasuk juga membuat aturan yang lebih ketat untuk mengenakan pajak pada perusahaan multinasional serta pendapatan dan kekayaan di luar negeri. Penyalahgunaan ini terbukti telah memperlemah kemampuan pemerintah untuk mendapatkan pajak dan sebaliknya mendorong diterapkannya pajak yang lebih regresif. Kebijakan ini akan memukul kelompok berpendapatan rendah dan melemahkan penyediaan layanan publik yang lebih berkualitas.
Indonesia harus keluar dari jebakan ini. Mendesain sistem perpajakan yang lebih adil, dimana kelompok kaya membayar pajak lebih besar dan menghindari pelarian pajak oleh perusahaan-perusahaan. Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang menjadi instrumen penting dalam pembangunan dan memiliki peran strategis untuk menghadirkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.