Musim Gugur Oposisi

SBY mengirim sinyal untuk berkoalisi mendukung Jokowi dalam Pemilihan Presiden mendatang. Apakah partai oposisi lain, akan mengikuti jejak Demokrat?

Musim Gugur Oposisi
Presiden Jokowi dan SBY

MONDAYREVIEW- Ada yang menyebut diri saya seorang pemimpin otoriter. Saya benar-benar heran, bagaimana bisa? Saya tidak punya potongan sama sekali sebagai seorang otoriter. Penampilan saya juga tidak sangar. Kemana-mana saya juga selalu tersenyum. Saya bukan pemimpin otoriter. Saya seorang demokrat. Ciri-ciri demokrat itu bisa menjadi pendengar yang baik, menghargai pendapat orang lain, dan menghargai perbedaan-perbedan tanpa menjadikannya sebagai sumber permusuhan.

 

Pernyataan ini disampaikan Presiden  Jokowi, dalam Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Partai Demokrat 2018 yang dihelat di SICC (Sentul International Convention Center), Bogor, Sabtu kemarin, yang kemudian diviralkan di media sosial. Dalam pidatonya juga, Presiden Jokowi juga mengatakan, “saya dan Pak SBY ini sebenarnya beda-beda tipis banget. Kalau saya seorang demokrat, kalau Pak SBY tambah satu, Ketua Partai Demokrat. Jadi bedanya tipis," ujar presiden, yang mengundang tawa dan sorak sorai kader Demokrat, termasuk tepuk tangan dari SBY.

 

Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono balik membalas dalam pidatonya, “Pak Presiden ( Jokowi). Jika Allah menakdirkan, senang partai Demokrat bisa berjuang bersama bapak," ucap SBY. Apalagi, kata SBY, Jokowi perlu tahu pengalamannya memenangkan Pilpres berturut-turut selama dua periode pada 2004 dan 2009

 

Pernyataan ini menjadi sinyal kuat dukungan Demokrat terhadap Presiden Jokowi dalam Pilpres mendatang. Ini sebenarnya tak mengherankan, SBY dan Partai Demokrat meskipun bersebrangan dan berada dalam jajaran partai oposisi, lebih sering “bermain mata”, untuk ikut dalam barisan partai berkuasa.

 

Sinyal kuat terlihat ketika Pilkada DKI Jakarta. Saat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) gagal melenggang ke putaran kedua. Demokrat tak menunjukan sikapnya yang jelas, mendukung Ahok-Djarot atau Anis-Sandi. Di DPR, Demokrat juga tak juga menunjukan sikap garangnya terhadap pemerintahan Jokowi. Jangan harap, ada politisi Demokrat yang bersuara lantang, seperti Fadhli Zon atau Fachri Hamzah.

 

Tentu saja, dukungan SBY terhadap Jokowi bersyarat. SBY tak mau meninggalkan putra sulungnya, AHY tak mendapat jabatan apa pun di periode kedua Jokowi, jika kembali terpilih sebagai presiden. Targetnya, AHY akan disandingkan menjadi wakil presiden, meskipun akan mendapat penentangan selain dari PDIP, juga dari partai koalisi pendukung Jokowi,  terutama Golkar. Jika SBY realistis, jabatan menteri bagi AHY dianggap cukup untuk membentuk popularitas putra sulung. Usianya yang masih muda, masih terbuka peluang luas untuk mengkadernya sebagai pemimpin.

 

Gaya politik SBY yang sangat hati-hati, bahkan sering dianggap terkesan “lamban”, menjadikan Partai Demokrat selalu berada di posisi terakhir dalam pengembilan berbagai keputusan penting. Dalam pidatonya, SBY menegaskan bahwa dirinya telah berpengalaman dua periode memenangkan pemilu, menjadi daya tawar yang harus diperhitungkan oleh Jokowi

 

Namun, keputusan politik Jokowi tidak bisa berdiri sendiri. Jokowi bukan penguasa utama di partai yang mendukungnya, PDIP. Kekuasaan Megawati masih belum tergantikan, dan Megawati punya kepentingan yang sama dengan SBY, ingin membangun politik dinasti, dengan mengkader Puan Maharani, sebagai pemimpin penggantinya.

 

Masing-masing kubu, akan mengkalkulasi siapa yang paling diuntungkan. Koalisi antara PDIP dan Demokrat bisa saja terjadi, sepanjang kepentingan masing-masing masih bisa terjaga. Jika Demokrat merapat mendukung Jokowi, peta persaingan di Pilpres mendatang semakin timpang. Tak ada lagi, partai-partai besar yang mengkonsolidasi dirinya, sebagai oposisi.

 

Harapan tinggal pada Partai Gerindra dan PKS.  Jika kedua partai juga tergoda dengan kekuasaan dan jabatan, tentu lebih realistik untuk mendukung Jokowi kembali menjadi Presiden.

 

Fenomena Kotak Kosong benar-benar terjadi dalam politik di Indonesia. Demokrasi akan terancam dalam bahaya, apalagi Calon Presiden Alternatif tidak dimungkinkan dalam perundang-undangan kita. Calon Presiden harus berasal dari partai.

 

Lalu, siapa yang berani menantang Jokowi, jika partai-partai oposisi berguguran