Multimakna Politik Dinasti
Politik dinasti sesungguhnya bisa ber-tone positif jika diarahkan ke tempat yang benar.

MONDAYREVIEW.COM - Politik dinasti kembali dihadapkan pada pertanyaan besar. Itu terjadi setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Bupati Klaten, Sri Hartini. Sri ditangkap KPK saat sedang melakukan transaksi jual-beli jabatan di rumah dinasnya.
Sri merupakan istri bekas Bupati Klaten Haryanto Wibowo. Haryanto juga telah menjadi tersangka kasus pengadaan buku paket tahun ajaran 2003/2004 senilai Rp 4,7 miliar dan kasus penggunaan dana APBD untuk perjalanan ke luar negeri.
Pasangan suami-istri ini menjadi sampel buruk dari buramnya politik dinasti. Arena pemilihan langsung di sejumlah daerah Indonesia menjadi mekanisme legal formal menguatnya politik dinasti. Ketika masa jabatan penguasa telah berakhir, estafet kepemimpinan biasanya beralih ke dinastinya – entah itu istri, anak, dan sebagainya.
Politik dinasti sendiri dikritisi karena membatasi akses kekuasaan. Dan jabatan publik seakan beredar di dinastinya sendiri. Hal tersebut tentu bertentangan dengan nilai positif demokrasi serta meritokrasi – dimana siapa saja dapat menjadi pemimpin publik sepanjang memiliki prestasi yang bagus.
Politik dinasti sendiri sebenarnya memiliki dimensi positif berupa pewarisan nilai kepemimpinan. Seperti diketahui pelatihan dan transfer ilmu memungkinkan antar mereka yang berada di dalam dinasti. Politik dinasti tersebut dalam spektrum positif dapat ditemui di Amerika Serikat dalam keluarga Kennedy.
Dengan demikian politik dinasti sesungguhnya bisa ber-tone positif jika diarahkan ke tempat yang benar. Bukankah kita mengenal adanya dinasti di ranah ekonomi pula. Disana bagaimana yang senior mengajarkan dan melatih sang junior untuk menjadi kompeten di ranah ekonomi. Hal semacam itu pun semoga dapat berlaku dalam politik dinasti di Indonesia. Yang senior memberikan pengetahuan, pengalamannya untuk membina yang junior.