Mudik & Kue Pembangunan Ekonomi
Sesungguhnya format 'gula-gula' ekonomi yang terpusat di Jakarta ataupun kota besar lainnya telah coba direduksi dengan adanya dana desa ataupun otonomi daerah.

MONDAYREVIEW.COM – Menjelang Lebaran, laman pemberitaan tv, koran nasional memiliki pola serupa yakni mengungkap arus mudik. Mudik memang telah menjadi tradisi sejak dahulu. Yang menjadi pertanyaan dan dapat menggelitik ketika mudik dikaitkan dengan kue pembangunan ekonomi. Jangan-jangan mudik dapat terus langgeng dikarenakan tata kelola ekonomi dan politik dari negeri ini ada yang keliru. Dalam artian kue ekonomi lebih banyak tersedot di kota-kota besar, sehingga hanya remahan yang tersisa di daerah asal para pemudik.
Sesungguhnya format “gula-gula” ekonomi yang terpusat di Jakarta ataupun kota besar lainnya telah coba direduksi dengan adanya dana desa ataupun otonomi daerah. Masing-masing daerah dapat berkreativitas, memproduksi sesuai kekhasan, keahlian warganya. Maka dengan demikian “gula-gula” ekonomi akan menyebar dan pertumbuhan ekonomi akan bermunculan di daerah. Kota-kota besar pun akan tiada terlampau kelimpungan dengan serbuan arus pendatang tiap kali. Sedangkan di daerah-daerah pun dapat berkembang perekonomian, daya kreasi warganya, sehingga buat apa meninggalkan daerah asalnya jika telah berkembang perekonomian dan lini lainnya.
Bermunculannya sosok-sosok pemimpin daerah yang prospektif dan memiliki kompetensi juga memunculkan harapan bahwa Indonesia dapat lebih berdaya dan kaya dengan caranya tersendiri. Para pemimpin daerah ini mengelaborasi potensi, mengarahkan, serta menyerap aspirasi dari warganya.
Jika saja mekanisme ini berjalan dengan baik, maka bisa jadi di Lebaran-lebaran mendatang berita mudik tidak akan terlalu mendominasi. Bisa jadi varian berita mengoptimalisasi hari-hari akhir Ramadhan serta kreativitas di daerah menjadi hal yang mengisi laman pemberitaan di masa mendatang.