Modus Marketing Fee dalam Perkara Rasuah Alex Nurdin

Modus Marketing Fee dalam Perkara Rasuah Alex Nurdin
Alex Noerdin di Kejaksaan Agung/ net

MONITORDAY.COM - Kali ini Kejaksaan Agung menunjukkan tajinya dalam perkara yang menyita perhatian publik. Orang kuat dalam perpolitikan Indonesia Alex Noerdin ditetapkan sebagai tersangka. Nama Alex sangat populer tak hanya di daerah asalnya. Ia lama malang melintang sebagai politisi dan pejabat. Alex merintis karir di pemerintahan sejak muda. Sejak dari posisinya sebagai PNS hingga menjadi tokoh yang dikenal luas secara nasional. 
 
Sayang seribu sayang di ujung karier politiknya kini Alex harus berhadapan dengan perkara rasuah. Sebagai politisi senior Alex sebenarnya sudah mulai mempersiapkan anaknya sebagai calon pemimpin daerah. Setiap pejabat publik harus menyadari bahwa ia bisa jatuh dan akan tetap dimintai pertanggungjawaban pada kasus yang sudah lama terjadi.  

Kerjasama antara Perusahaan Milik Daerah dengan Swasta bukan pelanggaran hukum. Namun ada celah yang membuat korupsi dapat terjadi. Kasus yang dihadapi Alex terkait sangkaan korupsi pembelian gas bumi oleh BUMD Perusahaan Daerah Pertambangan dan Energi (PDPDE) Sumsel periode 2010-2019.  Saat itu Alex menjabat sebagai Gubernur Sumatera Selatan (Sumsel). 

Peran dan modus Kepala Daerah dalam proyek-proyek strategis sangat klasik. Kejaksaan Agung menjelaskan peran Alex yang kini duduk sebagai anggota DPR dari Fraksi Golkar dalam kasus dugaan korupsi ini adalah meminta alokasi gas bagian negara dari BP Migas.

Tersangka menyetujui kerja sama antara PDPDE Sumsel dengan PT Dika Karya Lintas Nusa (DKLN) membentuk PDPDE gas dengan maksud menggunakan PDPDEnya untuk mendapatkan gas alokasi bagian negara. Demikian menurut Kepala Humas Kejaksaan Agung Leonard Eben Ezer. 

Sumatera Selatan adalah wilayah yang kaya dengan gas bumi. Kasus dugaan korupsi ini berawal saat Pemprov Sumsel memperoleh alokasi untuk membeli gas bumi bagian negara dari JOB PT Pertamina, Talisman Ltd, Pasific Oil and Gas Ltd, Jambi Merang (JOB Jambi Merang) sebesar 15 Juta Standar Kaki Kubik per Hari (MMSCFD).

Alasan pelibatan swasta dalam kerjasama atau proyek karena keterbatasan kapasitas perusahaan daerah menjadi celah korupsi. Keputusan Badan Pengelola Minyak dan Gas (BP Migas) atas permintaan Alex selaku Gubernur Sumsel kala itu. BP Migas menunjuk BUMD PDPDE Sumsel sebagai pembeli gas bumi. Namun, PDPDE berdalih tak memiliki pengalaman teknis dan dana.

Dalam kerjasama inilah diduga terjadi sejumlah penyimpangan. PDPDE Sumsel kemudian bekerja sama dengan investor swasta yakni PT Dika Karya Lintas Nusa dengan membentuk perusahaan patungan PT PDPDE Gas. Perusahaan patungan ini memiliki komposisi kepemilikan saham 15 persen untuk PDPDE Sumsel dan 85 persen untuk PT DKLN.

Jika tidak dilakukan audit keuangan bisa jadi perkara semacam ini tidak akan terungkap. Berdasarkan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) kasus ini diduga merugikan keuangan negara sebesar US$30 juta atau sekitar Rp426,4 miliar. Jumlah ini berasal dari hasil penerimaan penjualan gas dikurangi biaya operasional selama kurun 2010-2019, yang mana seharusnya diterima oleh PDPDE Sumsel.

Setiap rasuah mengakibatkan kerugian negara. Tercatat kerugian negara sebesar US$63.750 dan Rp2.131.250.000 yang merupakan setoran modal yang tidak seharusnya dibayarkan oleh PDPDE Sumsel.