Milenial Sejati Tidak Pikir Proyek Rp 4,6 Triliun di Tengah Covid-19
Inilah milenial sejati yang tidak memikirkan proyek triliunanan rupiah. Ahmad Alghozi, Milineal pencipta tracking Covid-19 yang diabadikan untuk negeri.

MONITORDAY.COM - Inilah milenial sejati yang tidak memikirkan proyek triliunanan rupiah dari pemerintah pusat. Ahmad Alghozi, Milineal pencipta tracking Covid-19 yang diabadikan untuk negeri.
"Ia tidak mengharapkan bayaran,hmhm apalagi da kabar milenial yang dapat jatah 4,6 triliun rupiah. Apalagi jabatan" tulis Dahlan Iskan dalam kolom Disway, selasa (21/4/2020)
Menurut Dahlan Iskan, awalnya Alghozi prihatin dengan penampilan data Covid-19 yang amat tradisional. Yang tiap hari disiarkan di televisi itu.
Ia sampai tidak tidur lima hari lima malam. Sampai aplikasi itu selesai. Bahkan, gajinya di perusahaannya dipotong 50 persen. Ia pun tidak peduli.
Wabah Covid-19 begitu memukul nuraninya. Terutama ketika ada berita sampai ada dokter yang meninggal dunia.
Ia ingin menciptakan aplikasi dalam bentuk peta dan data. Yang petanya bisa diklik. Lalu muncul data di balik peta.
Ia tawarkan ke mana-mana. Tidak ada yang menyambutnya.
Semua pihak rupanya sibuk dengan penanggulangan. Bukan pencegahan.
Tapi dari jerih payah memasarkan aplikasinya itu muncul ide penyempurnaan: tracking. Rupanya ia menemukan kenyataan di lapangan: tracking lebih penting dari peta dan data.
Maka Alghozi menciptakan aplikasi 'FightCovid19.id'.
Provinsi pertama yang menggunakan aplikasi itu adalah Bangka Belitung. Ada satu tokoh yang sangat peduli IT di Bangka yakni Prof.Dr.Ir. Saparudin.
"Saya yang membawa Alghozi ke Bapak Gubernur. Saya bilang ke Pak Gubernur ini gratis," ujar Prof Saparudin. Pak Gubernur langsung ok. "Bahkan beliau langsung ingin mendengar sendiri pemaparan dari Alghozi," jelasnya.
Prof Saparudin yang juga staf khusus Gubernur Babel, Erzaldi Roesman memberikan apresiasi kepada Orangtua Alghozi. Meski ayahnya adalah pekerja serabutan. Sedang sang ibu menjadi pencuci pakaian. Namun berkat aplikasi Alghozi, siapapun yang datang ke Bangka Belitung terkontrol ketat. Semua penumpang dimonitor lewat aplikasi. Baik yang lewat laut maupun udara.
Penumpang pesawat yang turun di Pangkal Pinang (Bangka) maupun di Tanjung Pandan (Belitung) dipasangi gelang elektronik. Mereka juga harus men-download aplikasi FightCovid19.id. Lalu mengisi segala pertanyaan yang ada di situ. Termasuk nomor ponsel dan alamat email.
Selesai mengisi semua itu penumpang mendapat kiriman kode --lewat email. Dengan kode itu penumpang melaporkan kondisi kesehatan mereka. Termasuk suhu badan --hasil pemeriksaan di bandara itu.
Aplikasi tersebut lantas terhubung dengan gelang elektronik. Dari sini petugas di pusat data di BNPB Provinsi Babel bisa tahu: jalan ke mana saja si pemakai gelang.
Kalau pemakai gelang itu meninggalkan rumah layar monitor di BNPB berubah warna: oranye.
Maka petugas BNPB. menghubunginya: untuk apa meninggalkan rumah. "Ada yang bilang ke rumah orang tua. Ada juga yang mengatakan belanja," ujar Prof Udin.
Sejauh ini tidak ada yang membangkang. Mereka tahu: melanggar akan dikenakan sanksi. Yakni: diisolasi beneran. Lokasi isolasi-beneran itu sudah disiapkan: di ruang Pusdiklat milik Pemprov Babel.
Lewat aplikasi itu, pemakai gelang juga bisa minta bantuan BNPB. Misalnya kalau ia merasakan tanda-tanda sakit. Tinggal klik satu tanda di aplikasi di ponselnya. Ia bisa dijemput ambulans oleh BNPB.
Dalam hal ini Babel layak diapresiasi. Aplikasi ini jauh lebih bermanfaat dari aplikasi yang dibuat oleh Pemerintah Pusat.
"Saya pernah bertanya kepada beberapa teman: apakah mau menggunakan aplikasi yang dari pusat itu. Beberapa teman merasa takut --terutama keamanan rekening bank mereka" lanjutnya kemudian.
Alghozi hanya SD di Bangka. "Saya dianggap nakal. Tamat SD dikirim ke Tasikmalaya. Diikutkan bibi," ujar Alghozi.
Ia kembali ke Bangka untuk sekolah SMA --di SMAN 3 Pangkal Pinang.
Setamat SMA ia ke Bandung. Masuk Politeknik Padjadjaran. Jurusan Perhotelan. Di situ hanya setahun. Merasa hatinya tidak tepat.
Passion-nya ternyata di dunia digital. Ia masuk D-3 STT Telkom (Telkom University) juga di Bandung. Ia pilih Jurusan Informatika.
"Saya kuliah sambil cari uang," kata Alghozi.
Ia tidak sampai hati meminta kiriman uang dari ayahnya.
"Waktu semester 5 saya ng-Gojek," katanya.
"Berarti saat itu sudah punya sepeda motor?" tanya Prof Udin ke Alghozi
"Motornya teman. Ada perhitungannya," katanya.
Selain itu Alghozi jualan donat. Ke asrama-asrama mahasiswa.
"Orang tua Anda tahu?" tanya saya.
"Tidak tahu. Ayah tahunya kuliah saya lancar," katanya.
Tahun lalu Alghozi tamat D-3. Anak nakal ini pun sudah bisa membuat beberapa program komputer. Ia menyebut beberapa nama program, tapi saya gagal memahaminya.
Begitu tamat, Ghozi melihat --di aplikasi lowongan-- ada perusahaan mencari tenaga kerja: PT Kolega Coworking Indonesia, Jakarta.
"Saya langsung diterima," kata Ghozi. "Semula jadi UI UX designer. Tiga bulan kemudian jadi project manager. Naik lagi jadi product manager," tambahnya.
Saat jabatannya naik itulah hatinya hancur: melihat begitu banyak dokter meninggal karena Covid-19. Ghozi lantas mengontak dua orang teman sekelasnya di Telkom University.
Siang malam mereka mengerjakan aplikasi untuk mengabdi. Termasuk pernah lima hari lima malam tidak tidur. Mereka berkejaran dengan virus.
Bersama timnya itu Ghozi seperti bara tersiram bensin. Ia adalah baranya. Gubernur Babel, Erzaldi Roesman, adalah bensinnya. Prof Udin adalah kompornya.
"Di depan Pak Gubernur saya bilang ke Ghozi: ayo minta apa ke Pak Gubernur," ujar Prof Udin. "Jangan tidak minta. Katakan saja," tambahnya.
Saya sempat memikir kira-kira akan minta uang berapa triliun Ghozi ini.
"Minta laptop," ujar Ghozi.
Gubernur Erzaldi pun membelikan Ghozi Macbook Air.Tidak hanya itu.
"Selama di Bangka sekarang ini Anda tidur di rumah orang tua atau di hotel?" tanya saya.
"Di rumah dinas Gubernur," jawabnya.
"Tentu orang tua Anda sangat bangga anaknya tidur di rumah gubernur."
"Alhamdulillah... Amiin," jawab si anak nakal itu.