Merapikan Sengkarut Aturan Pajak 

Merapikan Sengkarut Aturan Pajak 
Merapikan Sengkarut Aturan Pajak / net

MONITORDAY.COM - Setiap negara dalam sejarah panjangnya memberlakukan pajak dalam berbagai macam bentuk. Di bumi Nusantara pun pajak telah lama berlaku. Di era prakolonial lebih dikenal istilah upeti yang lebih bermakna setoran dari wilayah yang ditaklukkan. Raja-raja kecil yang ditaklukkan harus menyetor upeti kepada sang penakluk. Nilai yang secara kultural mempengaruhi budaya korupsi dalam bentuk gratifikasi sulit dihilangkan hingga hari ini.     

Di masa kolonial pun sistem pajak modern diberlakukan. Pajak rumah, pajak usaha, sewa tanah maupun pajak kepada pedagang telah diberlakukan pada 1839. Pemerintah kolonial HIndia Belanda bahkan pernah memberlakukan pajak kepala atau Pajak Konde bagi warga keturunan Tionghoa berusia di atas 16 tahun yang tinggal di Batavia. Salah satu upaya yang digunakan Pemerintah waktu itu untuk membatasi banjir imigran dari Tiongkok. 

Aturan pajak pun berkembang seiring waktu. Undang-undang dan ketentuan di bawahnya yang menjadi dasar hukum dalam pengenaan pajak cukup banyak dan saling tumpang-tindih. Dampaknya cukup nyata, banyak potensi pajak yang hilang. Di sisi lain banyak juga yang terbebani dan tak mampu membangun bisnisnya karena ketentuan pajak yang tidak tepat. 

Dalam sektor struktural, UU HPP bertujuan meningkatkan kemudahan berusaha dan iklim investasi, memperluas lapangan pekerjaan, hingga percepatan pertumbuhan ekonomi. Boleh dikata bahwa UU HPP adalah Omnibus Law Jilid Dua. 

Reformasi ini merupakan bagian tak terpisahkan dari agenda Reformasi Struktural (Sektor Riil), Reformasi Fiskal, Reformasi Sistem Keuangan, serta Reformasi Tata Kelola Negara. 

Dalam sektor sistem keuangan, reformasi pajak diharapkan dapat sistem keuangan yang inklusif, sehat, dan mampu melayani dinamika aktivitas ekonomi sosial secara efisien.

Isi UU HPP Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan mencakup tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak, Pajak Karbon, hingga Cukai. 
Reformasi perpajakan perlu dilakukan untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara maju. 

Lahirnya Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) menjadi bagian dari proses reformasi struktural untuk mendorong sistem perpajakan yang adil, sehat, efektif, dan akuntabel. Penguatan sistem perpajakan akan memperkuat fungsi APBN dari sisi penerimaan terutama dalam pembangunan jangka panjang.

Tujuan konkret reformasi pajak melalui UU HPP ini yaitu memperluas basis pajak, meningkatkan kepatuhan, penguatan administrasi perpajakan, serta menciptakan keadilan, kesetaraan, dan kepastian hukum. Selain itu, reformasi pajak juga dimaksudkan untuk melindungi masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah dan pelaku UMKM.

Tujuan utama reformasi Pajak Penghasilan (PPh) dalam UU HPP adalah membentuk sistem PPh yang lebih berkeadilan dan berkepastian hukum sehingga dapat memperluas basis pajak serta meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Upaya ini dilakukan dengan tetap menjaga keberpihakan terhadap kepentingan masyarakat luas dan dinamika perekonomian di masa depan

Melalui UU HPP, komitmen keberpihakan kepada masyarakat menengah-bawah dilaksanakan. Di bidang PPh, perbaikan kebijakan diantaranya melalui insentif bagi Wajib Pajak (WP) UMKM, perbaikan progresivitas tarif PPh Orang Pribadi (OP), serta perbaikan administrasi salah satunya dengan penggunaan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) untuk WP OP.

UU HPP meningkatkan keberpihakan kepada WP UMKM. Hal ini dilakukan melalui pemberian insentif berupa Batasan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) atas peredaran bruto WP OP UMKM sampai Rp500 juta setahun. Artinya, WP OP UMKM yang memiliki peredaran bruto sampai dengan Rp500 juta setahun tidak membayar PPh. Demikian menurut Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo.

WP Badan UMKM tetap mendapatkan fasilitas diskon tarif PPh 50% sesuai Pasal 31E UU PPh. Dukungan perpajakan ini diharapkan dapat meningkatkan daya tahan dan daya saing usaha UMKM di Indonesia.

UU HPP juga memperbaiki progresivitas tarif PPh OP. Hal ini dilakukan dengan memperlebar rentang lapisan Penghasilan Kena Pajak (PKP) untuk tarif PPh OP terendah yaitu 5% dan menambah lapisan tarif PPh OP tertinggi yaitu 35%. PKP OP yang dikenai tarif terendah berubah dari Rp50 juta menjadi Rp60 juta. Di sisi lain, tarif PPh OP tertinggi ditujukan untuk PKP di atas Rp5 miliar.

Sementara itu, Pemerintah tetap memberikan batasan PTKP bagi WP OP yang saat ini ditetapkan sebesar Rp4,5 juta per bulan atau Rp54 juta per tahun untuk OP lajang, tambahan sebesar Rp4,5 juta setahun diberikan untuk WP kawin, dan tambahan sebesar Rp4,5 juta setahun untuk setiap tanggungan dengan maksimal 3 orang. Dengan demikian, masyarakat dengan penghasilan sampai dengan Rp4,5 juta per bulan tetap tidak terbebani dengan PPh.

UU HPP memberikan pengaturan ulang perlakuan perpajakan atas pemberian natura agar sistem PPh semakin adil. Untuk pegawai atau kalangan tertentu, pemberian natura menjadi objek pajak bagi penerima. Namun di sisi lain, pemberian natura dapat menjadi biaya dalam penghitungan pajak bagi perusahaan yang memberikan.

Beberapa jenis natura tidak dikenakan pajak meliputi penyediaan makanan atau minuman bagi seluruh pegawai, pemberian natura di daerah tertentu, penyediaan natura karena keharusan dalam pelaksanaan pekerjaan, natura yang bersumber dari dana APBN atau APBD, dan natura dengan jenis dan batasan tertentu.

UU HPP juga mengatur ulang tarif PPh Badan menjadi 22%. Tarif ini masih kompetitif serta kondusif dalam menjaga iklim investasi di Indonesia, khususnya apabila dibandingkan dengan tarif PPh negara lain seperti rata-rata negara ASEAN (22,17%), OECD (22,81%), Amerika (27,16%), dan G20 (24,17%).