Menyepakati Kriteria Ekstremisme

Menyepakati Kriteria Ekstremisme
Sumber gambar: antaranews.com

MONITORDAY.COM - Perbincangan publik mengenai Perpres No 7 Tahun 2021 mengenai ekstremisme mulai menghangat. Argumen pro dan kontra sudah dimuat oleh berbagai media. Diskusi-diskusi terkait hal ini sudah mulai banyak digelar. Satu hal yang belum disepakati mengenai perpres ini adalah kriteria ekstremisme. Hal ini menjadi titik seteru yang belum menemukan kesepakatan di dalamnya. 

Salah satu kriteria yang ditetapkan sebagai ekstremisme oleh pemerintah adalah intoleransi, yakni menganggap diri paling benar dan yang lain salah. Hal ini menurut perpres tersebut walaupun bukan tindakan ekstremisme, namun merupakan tahapan menuju ekstremisme. Hal ini menjadi problematis bagi banyak pihak. Mengingat truth claim atau klaim kebenaran nyaris ada dalam setiap agama dan ideologi. Bahkan menjadi pondasi dari agama itu sendiri. Menghilangkannya artinya meruntuhkan keyakinan sebuah agama atau ideologi. 

Memang seorang ekstremis pasti mempunyai sikap merasa diri paling benar. Namun persoalannya tidak semua sikap merasa paling benar melahirkan ekstremis. Sikap merasa paling benar juga spektrumnya luas. Ada yang merasa agamanya paling benar. Ada yang merasa mazhabnya paling benar. Bahkan ada yang merasa dirinya saja paling benar. Saat kematian Syaikh Ali Jabir beberapa waktu yang lalu, kelompok salafi khawarij malah mengkafir-kafirkan beliau. Kelompok ini bisa dibilang ekstremis yang dimaksud perpres. 

Namun banyak juga yang merasa agamanya paling benar, tapi tidak mengkafir-kafirkan yang lain. Merasa mazhabnya paling benar tapi masih toleran dengan yang lain. Bagaimana kelompok ini? Apakah masuk ke dalam ekstremis juga? 

Merasa diri benar itu sah-sah saja, hal ini tidak realistis untuk dihilangkan. Yang perlu dipahami adalah bahwa kita tidak boleh menafikan kebenaran yang juga ada pada orang lain. Agar kemudian kita tidak terjebak pada ekstremisme. Jadi sulit jika klaim kebenaran dimasukan ke dalam kriteria ekstremisme. Lebih baik perpres tidak menyentuh pada hal keyakinan, namun pada tindakan masyarakat. Misalnya menghalang-halangi umat agama lain beribadah. Atau menyebarkan kebencian SARA di depan umum. Ini lebih realistis. 

Selanjutnya yang menjadi sorotan adalah instruksi agar sesama warga saling mengawasi satu sama lain. Lagi-lagi ini problematis karena akan menimbulkan berbagai kecurigaan di masyarakat. Kenapa tidak pejabat setempat saja yang memang diminta untuk lebih mengawasi warganya? Pejabat yang paling bawah adalah Ketua RT, bisa diserahkan tugas ini kepada beliau. Ini pun berlaku bagi masyarakat yang memang mencurigakan saja. 

Namun dibanding saling mengawasi, lebih baik masyarakat didorong untuk meningkatkan solidaritas sosialnya dengan memperbanyak kumpul-kumpul. Hal ini akan memudahkan masyarakat untuk mengetahui keadaan satu sama lain tanpa perlu saling mengawasi. Potensi adanya ekstremisme dalam model masyarakat seperti ini relatif kecil. 

Terlepas dari kritik yang ada, kita patut mengapresiasi ikhtiar pemerintah guna mencegah ekstremisme yang akan melahirkan terorisme di masyarakat. Istilah eksremisme juga lebih baik dibanding dengan istilah radikalisme. Ekstremisme relatif mempunyai satu makna yang disepakati. Sementara radikalisme multi makna dan bisa menimbulkan polemik. Ke depan pemerintah diharapkan bisa menampung aspirasi masyarakat mengenai persoalan ini.