Menyelami Kembali Eksistensialisme Hidup

Menyelami Kembali Eksistensialisme Hidup
Ilustrasi foto/Net

MONITORDAY.COM - Istilah Eksistensialisme mungkin terdengar jadi pilihan kata yang berat. Terkadang istilah tersebut diasosiasikan dengan tradisi pemikiran filsafat beberapa filsuf Eropa abad ke-19 dan ke-20. Namun catatan kali ini, saya  tidak akan menjabarkan berbagai macam teori filsafat. Toh, saya pun juga tak terlalu mahir dalam pembahasan tersebut.

Namun istilah Eksistensialisme berhasil menggelitik saya belakangan hari ini. Terutama ketika saya mendengarkan sesi inspirasi Ramadhan dari Prof Komaruddin Hidayat dalam acara HUT Indonesia Financial Group pada 23 April 2021 silam.

Sebagai seorang cendekiawan atau intelektual dari Muhammadiyah, ia berhasil membawa saya menyelami kembali eksistensialisme hidup dan membangkitkan Kesadaran maknawi atas tujuan hidup yang mungkin saat ini sudah mulai pudar ditimbun rutinitas keduniawian.

Dunia yang bergerak sangat aktif dan dinamis dengan segudang list pekerjaan terkadang membuyarkan esensi. Membuat kita terjebak dengan menganggap hal mendesak sebagai hal penting, Padahal belum tentu bisa jadi demikian.

Meskipun pada intinya, Prof Komaruddin Hidayat lebih banyak berbicara tentang membangun karakter bangsa lewat Pancasila. Namun penjelasannya soal tiga macam eksistensi hidup, menyadarkan untuk  hidup dalam kebijaksanaan.

Sebelum lebih jauh membahas kebijaksanaan, terlebih dulu saya akan menyadur 3 macam eksistensi hidup yang diungkapkan oleh Prof Komaruddin. Sejatinya Ia mengatakan hidup manusia pada dasarnya terbagi dalam tiga  macam eksistensi yaitu pertama natural state. Kedua cultural state dan terakhir spiritual state.

Natural state atau natural being ialah hidup dalam pengertian dunia alami. Dalam natural being, manusia mengandalkan insting indrawi untuk bertahan hidup. Orientasi hidup pada level ini hanya ada 2, yaitu pertama menghindari apa pun yang menyakiti diri kita. Dan kedua mencari kesenangan hidup atau looking for pleasure.

Jika hidup semata hanya mengejar kesenangan dan menghindari penderitaan, menurut prof Komaruddin, maka kita tidak ubahnya dengan dunia hewani dan nabati. Hanya mencari kesenangan dan menghindari penderitaan.

Sebagai manusia, Tuhan memberkati manusia lewat penalaran. Dengan penalaran ini lah kemudian manusia naik level dari yang natural stated menjadi cultural stated atau rational being.  Lewat penalaran ini lah manusia menjadi berbeda dengan hewan maupun tumbuhan.

Kemampuan melakukan penalaran membawa manusia membangun science dan teknologi yang pada akhirnya membuat manusia bisa memberikan solusi atas keterbatasan-keterbatasan yang ia miliki. Contohnya manusia tidak bisa berlari cepat layaknya cheetah, namun manusia bisa menciptakan kendaraan mobil untuk mempersingkat waktu tempuh di darat. Manusia tidak bisa terbang layaknya burung, namun bisa membuat pesawat untuk terbang dari satu wilayah ke wilayah lain dengan waktu yang singkat. Manusia tidak memiliki ingatan sebaik Gajah, namun bisa memembangkan big data dan kecerdasan artificial (AI) dan sebagainya.

Selain memberikan kontribusi terhadap science dan teknologi, penalaran manusia juga membantu dalam membangun pranata sosial. Negara merupakan salah satu contoh pranata sosial terbesar. Semua negara hadir untuk menciptakan kedamaian, kesejahteraan, dan keadilan bagi masyarakatnya.

Meskipun rational being atau cultural state ini sangat bermanfaat, namun sejatinya tidak dapat memberikan jawaban mengenai untuk apa kita hidup dan makna apa yang terkandung dalam hidup. Di sinilah kita akan menyadari kekuatan lain dalam hidup, yaitu aspek spiritual stated atau spiritual being.

Spiritual being yang kemudian akan mengantarkan dan mendidik rational dan natural being mencapai sebuah kebijaksanaan dalam hidup. Pada tataran spiritual stated manusia dipandang bukan hanya sebuah mesin yang bekerja otomatis tanpa motif dan nilai-nilai yang menjadi acuan dalam setiap geraknya. Manusia senantiasa bertanya dan mempertanyakan eksistensinya. Makanya agama selalu hadir dan diperlukan sepanjang zaman, karena agama memberikan acuan makna serta tujuan hidup.

Dari penjelasan tersebut saya semakin tercerahkan bahwa aspek spiritual being sangat lekat dengan sebuah kebijaksanaan dalam hidup. Namun sayang dewasa ini banyak yang salah tafsir dari arti kebijaksanaan itu sendiri. Banyak orang memahami bahwa jika seseorang itu memiliki pengetahuan atau wawasan yang luas maka sudah pasti mampu berpikir bijaksana. Ini sungguh disayangkan karena pada dasarnya itu tak mesti demikian. Lebih banyak pengetahuan dapat menuntun kita menjadi lebih rasional, namun belum tentu menjadi lebih bijaksana bahkan mungkin sebaliknya membuat kita menjadi lebih tidak bijaksana karena terlalu banyak tahu dan keliru memaknai pengetahuan.

Pengetahuan itu adalah sesuatu yang dimiliki atau diketahui, sedangkan kebijaksanaan itu sesuatu yang diperbuat. Pengetahuan itu mengetahui bahawa buah durian itu buah, namun kebijakasanaan itu ialah tidak menggunakan durian untuk menimpuk orang lain.

Dari Spiritual being menjadi hal yang sangat penting dalam membangun peradaban yang lebih baik dan bangsa yang kokoh. Spiritual stated idealnya akan membimbing  kita ke dalam hidup dalam  “kebijaksanaan yang benar”. Materi yang dibawakan oleh Prof Komaruddin Hidayat telah membawa saya kembali mengukur segala sesuatu dalam aspek kacamata kebijaksanaan.

Ia pun sempat memberikan contoh aspek kebijaksanaan antara lain, dalam mengukur materi dan jabatan. Materi mungkin bisa menjadi hal yang penting, namun jauh lebih penting ialah bagaimana materi tersebut digunakan. Jabatan bisa menjadi penting, namun jauh lebih penting  ialah untuk apa jabatan tersebut digunakan.

Terlepas dari agama yang dianut. Bila semua orang bertindak dan berperilaku dengan kacamata kebijaksanaan tentunya peradaban yang dibangun akan menjadi peradaban yang kokoh dan kuat. Karena pada dasarnya semua agama mengajarkan hal kebaikan dan kebajikan. Semoga generasi ke depan dapat menjadi generasi pembangun, tidak sekedar generasi penikmat, bahkan generasi perusak.