Kaum Miskin Baru di Masa Pandemi

MONITORDAY.COM - Pandemi COVID-19 benar-benar telah menjadi mimpi buruk bagi kelangsungan ekonomi rakyat. Bencana ini telah melempar jutaan orang dari tempat kerja atau mengalami pengurangan jam kerja secara signifikan. Sebagaimana diungkap oleh Badan Pusat Statistik, sebanyak 29,12 juta penduduk usia kerja terdampak COVID-19 pada Agustus 2020, dengan rincian sebagai berikut: 2,56 juta penduduk menjadi pengangguran, 0,76 juta penduduk menjadi bukan angkatan kerja, 1,77 juta penduduk sementara tidak bekerja dan 24,03 juta penduduk mengalami pengurangan jam kerja. Persentase pekerja setengah penganggur juga mengalami kenaikan sebesar 3,77 persen.
Dampak ekonomi pandemi telah menurunkan daya beli masyarakat akibat meningkatnya pengangguran dan kehilangan pendapatan. Survei BPS pada April 2020 juga menunjukan hal serupa. Sebesar 70,53 persen rumah tangga berpenghasilan rendah (pendapatan bulanan <Rp 1,8 juta) mengalami kehilangan pendapatan, dibandingkan dengan 30,3 persen rumah tangga berpenghasilan tinggi (pendapatan bulanan> Rp 7,2) juta). Data ini menunjukan masyarakat berpenghasilan rendah lebih rentan terhadap kehilangan pendapatan sehingga jatuh pada kemiskinan.
Seperti telah banyak diperkirakan, kondisi ini telah menyeret jutaan orang menjadi jatuh miskin. Kondisinya mungkin lebih parah jika pemerintah gagal menyiapkan skema perlindungan sosial yang tepat dan cepat. Beruntung beragam skema bantuan sosial yang dilakukan pemerintah pusat dan daerah tersebut cukup berhasil menekan peningkatan jumlah orang miskin baru yang lebih besar akibat COVID-19. Tidak hanya menyasar 40 kelompok masyarakat rendah, tetapi juga menjangkau kelompok masyarakat berpenghasilan menengah.
Meski demikian, peningkatan angka kemiskinan tetap tidak terhindarkan. Persentase penduduk miskin pada September 2020 sebesar 10,19 persen, meningkat 0,41 persen terhadap Maret 2020 dan meningkat 0,97 persen terhadap September 2019. Jumlah penduduk miskin pada September 2020 sebesar 27,55 juta orang, meningkat 1,13 juta orang terhadap Maret 2020 dan meningkat 2,76 juta orang terhadap September 2019. Kondisi ini menyebabkan angka kemiskinan Indonesia kembali mencetak double digit, setelah 2018 berhasil ditekan hingga di bawah 10 persen.
Karakteristik Baru
Perkotaan menyumbang peningkatan angka kemiskinan terbesar di masa pandemi, angkanya mencapai 876,5 ribu orang. Meningkat dari 11,16 juta orang pada Maret 2020 menjadi 12,04 juta orang pada September 2020. Sementara itu, pada periode yang sama jumlah penduduk miskin perdesaan naik sebanyak 249,1 ribu orang (dari 15,26 juta orang pada Maret 2020 menjadi 15,51 juta orang pada September 2020).
Karakteristik orang miskin baru di perkotaan pada masa COVID-19 sejalan dengan prediksi sejumlah pihak. Bank Dunia misalnya dalam laporannya yang bertajuk Poverty and Shared Prosperity 2020: Reversals of Fortune (2020) telah memperkirakan bahwa orang miskin baru mungkin berbeda dari mereka yang miskin sebelum dimulainya pandemi. Di negara yang sebagian besar orang miskin berada di pedesaan, orang miskin baru di masa pandemi cenderung tinggal di lingkungan perkotaan yang padat, yang dapat menjadi saluran penularan. Mereka adalah penduduk yang sebelumnya terlibat dalam pekerjaan di sektor informal, konstruksi, dan manufaktur — sektor di mana aktivitas ekonominya paling terpengaruh oleh penguncian wilayah dan pembatasan mobilitas sosial.
Meskipun jumlah orang miskin secara umum masih lebih besar di perdesaan, tetapi akan berbeda pada skema kebijakan, pola bantuan dan sasaran program yang akan dijalankan pemerintah ke depan. Di periode pertama Jokowi, kebijakan mengurangi angka kemiskinan merupakan pertemuan dari bauran kebijakan yang dilakukan pemerintah dalam bentuk program-program pembangunan dan perlindungan sosial yang kuat. Mobilisasi dana yang besar melalui APBN digelontorkan untuk menyasar masyarakat miskin melalui serangkaian program seperti Bantuan Pangan Non Tunai, Program Keluarga Harapan, Kartu Indonesia Sehat, Kartu Indonesia Pintar, Dana Desa, hingga program Perhutanan Sosial dan Reforma Agraria.
Semua program tersebut disantuni melalui kebijakan anggaran yang cukup besar. Kelonggaran fiskal ini salah satunya berasal dari kebijakan merestrukturisasi belanja negara dari non-produktif ke produktif, terutama belanja subsidi BBM. Realokasi anggaran subsidi yang tidak produktif dan penambahan utang diarahkan untuk anggaran prioritas, antara lain pembangunan infrastruktur, anggaran pendidikan dan kesehatan. Anggaran infrastruktur meningkat dari Rp 76,3 triliun di 2009 menjadi Rp 415 triliun di 2019. Anggaran pendidikan meningkat dari Rp 207,4 triliun di 2009 menjadi Rp 492,5 triliun di 2019 dan anggaran kesehatan meningkat dari Rp 28 triliun di 2009 menjadi Rp 123,1 triliun di 2019.
Kondisi saat ini tentu saja berbeda. Celah fiskal pemerintah relatif lebih sempit ketimbang periode pertama. Tantangannya juga semakin berat. Melemahnya kinerja perekonomian nasional menyulitkan pemerintah untuk menambal kekurangan anggaran dari menggenjot penerimaan pajak. Menambah porsi pinjaman dalam jumlah besar juga bukan pilihan bijak. Justeru pemerintah perlu hati-hati karena tren penambahan pinjaman pemerintah sudah mencapai jumlah yang sangat besar. Kebijakan pinjaman akan memberikan masalah ke depan berupa pertambahan pinjaman serta risiko nilai tukar. Hal ini akan semakin buruk apabila skema yang digunakan adalah kredit luar negeri atau pasar modal.
Pemerintah perlu lebih kreatif mengeksplorasi beragam kebijakan yang memiliki dampak ekonomi yang besar selain mengandalkan penambahan anggaran. Terobosan-terobosan untuk menciptakan lapangan pekerjaan baru melalui promosi investasi yang berkualitas memegang kunci yang penting. Investasi baru harus diarahkan untuk menciptakan sebesar-besarnya lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat, baik di perkotaan maupun perdesaan. Ala kulli hal, keseluruhan anjuran ini hanya dapat efektif dilaksanakan bilamana penanganan masalah kesehatan dapat segera ditanggulangi. Pelaksanaan program vaksinasi massal yang disertai peningkatan kinerja 3T dan 5M oleh pemerintah dan masyarakat dapat meningkatkan kepercayaan diri bangsa dalam mempercepat pemulihan ekonomi nasional. []