Menunggu Pemerintahan Inklusif di Afghanistan 

Menunggu Pemerintahan Inklusif di Afghanistan 
dialog Hamid Karzai dengan Taliban

MONITORDAY.COM - Antara Saigon dan Kabul jelas ada kesamaan. Kedua kota ini menjadi simbol kekalahan Amerika Serikat. Suasana kalut untuk menghindari ancaman keselamatan jiwa akibat musuh yang akan segera masuk kota menjadi salah satu drama paling memilukan dalam sejarah. Komunis Vietnam tak terbendung dan memaksa AS hengkang di 1975. Sementara Taliban memaksa AS pergi setelah perang panjang 20 tahun yang berbiaya sangat tinggi. 

Kala itu, dalam Perang Vietnam, AS menghadang pengaruh komunis di Asia Tenggara. Kini mereka berhadapan dengan kekuatan dan faham yang mereka definisikan sebagai Islam radikal atau jihadis. Taliban yang berkuasa dari 1996 melindungi Osama bin Laden yang diburu AS pasca serangan 9 September yang meruntuhkan menara kembar WTC. Meski pergi dari Afghanistan, para prajurit AS masih ada di garis depan di Suriah dengan situasi yang lebih kompleks.   

Lantas dalam waktu yang tak terlalu lama Vietnam dan AS seakan menjadi teman akrab. Hingga 1986 atau satu dekade Vietnam terisolasi dan ekonominya tidak berkembang. Reformasi besar pun terjadi. Politik Vietnam tetap sosialistik dan sentralistik ala komunis, sementara ekonomi mereka menjadi sangat terbuka. Seakan tak ada tanda-tanda yang membedakannya dengan ekonomi liberal kapitalis. Vietnam sangat ramah investasi dan menjadi salah satu pemain kunci dalam pertumbuhan di Asia Tenggara.

Kini dunia menunggu keputusan politik di negara berpenduduk antara 30 juta hingga 40 juta jiwa itu. Pemerintahan yang diprakarsai Taliban diharapkan lebih inklusif dengan mengakomodasi kekuatan politik di luar Taliban. Tokoh-tokoh seperti Hamid Karzai, Abdullah Abdullah, dan Gulbuddin Hekmatyar diharapkan ikut mewarnai pemerintahan Imarah Islam Afghanistan. Tanpa pemerintahan yang terbuka dan inklusif, Afghanistan sulit mendapatkan dukungan internasional. 

Kemungkinan bagi Afghanistan di bawah Taliban menjadi negara yang lebih terbuka bukan tidak mungkin. Saudi Arabia yang dipandang sangat konservatif dalam pemahaman dan penerapan hukum Islam pun kini telah semakin progresif dalam membuka dirinya. Berbagai perubahan mendasar dilakukan oleh Putra Mahkota Muhammad Bin Salman. 

Meski begitu keprihatinan dan kecemasan komunitas internasional juga terlihat. Ekonomi Afghanistan porak poranda. Selama ini sebagian besar anggaran negara disokong negara lain khususnya AS. GDP negara ini sangat rendah. Mayoritas masyarakatnya ada di bawah garis kemiskinan. Sepertiga dari populasi negara itu terancam kelaparan. 

Di sisi lain SDM yang berkualitas banyak yang pergi dari Afghanistan. Padahal dibutuhkan sangat banyak tenaga ahli dan profesional untuk menggerakkan antara lain sektor finansial, layanan kesehatan, pendidikan, transportasi, dan energi. Meski dibangun dalam prinsip syariat, negara modern membutuhkan manajemen modern. Saling ketergantungan dan keterlibatan dalam komunitas internasional juga niscaya.

Dukungan Qatar dan Turki membuka jalan bagi komunitas internasional untuk menyelamatkan Afghanistan. Tiongkok dan Rusia tentu akan ikut menjalin kerjasama, namun keterlibatan mereka akan sangat ditentukan oleh kalkulasi kepentingan ekonomi dan politik. Karena pada saat yang sama Tiongkok dan Rusia berhadapan pula dengan ancaman radikalisme.