Jejak Gula dan Nasib Bangsa Dalam Kuasa Pemburu Rente (Bagian 1)

Kebanyakan orang suka rasa manis. Itulah mengapa gula laku di pasaran. Meski dari sisi kesehatan gula semakin diwaspadai. Kadar gula yang berlebihan dalam darah manusia dapat menyebabkan hipertensi, diabetes, bahkan gagal jantung. Molekul pada gula yang disebut glukosa 6-fosfat menyebabkan perubahan otot jantung yang berujung pada gagal jantung.

Jejak Gula dan Nasib Bangsa Dalam Kuasa Pemburu Rente (Bagian 1)
pabrik gula/ net

MONDAYREVIEW.COM –  Kebanyakan orang suka rasa manis. Itulah mengapa gula laku di pasaran. Meski dari sisi kesehatan gula semakin diwaspadai. Kadar gula yang berlebihan dalam darah manusia dapat menyebabkan hipertensi, diabetes, bahkan gagal jantung. Molekul pada gula yang disebut glukosa 6-fosfat menyebabkan perubahan otot jantung yang berujung pada gagal jantung.

Toh gula tetap dicari baik untuk konsumsi kalangan rumah tangga maupun industri. Bersamaan dengan pandemi virus corona gula terasa langka. Harganya pun melonjak naik. Di bulan Maret dan April 2020 menjadi puncaknya.  

Baru pada medio Mei Pemerintah menjanjikan harga gula akan turun. Di pekan kedua Mei 2020 Menteri Perdagangan Agus Suparmanto mengatakan harga gula sudah turun ke level Rp 14.000-15.000/kg di pasaran. Tentu saja dengan membuka kran impor. Hingga ketersediaan mengimbangi permintaan. Yang penting harga segera terkendali.

Data di lapangan tak demikian. Tak serta merta harga turun. Ketua Umum Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (Ikappi) Abdullah Mansuri mengatakan harga gula di DKI Jakarta saja belum ada yang turun ke level di bawah Rp 17.000/kg. Angka tersebut diperkuat oleh Pusat informasi harga pangan strategis nasional (PIHPSN), harga gula rata-rata nasional masih tembus Rp 17.700/kg, sementara di DKI Jakarta Rp 18.900/kg.

Gula Pasir Tembus Rp18 Ribu, Pemda/Pemkot Siap OP | Metro

Industri makanan dan minuman yang mestinya bertahan dari terpaan krisis harus merasakan dampak kelangkaan gula.  Industri harus berebut stok dengan jatah konsumsi rumah tangga. Apalagi kebutuhan meningkat seiring datangnya bulan Ramadan.  

Di balik sengkarut masalah gula ada segudang problema. Di balik rasa manis gula tersimpan kisah pahit para petani tebu dan buruh pabrik gula. Dari hulu hingga hilir nasib industri gula masih belum beranjak baik. Bahkan mungkin semakin buruk.  

Ujung-ujungnya para importir pemburu rente yang menangguk untung. Sementara nasib buruh dan industri gula berada dalam keprihatinan.

Masyarakat Indonesia tidak mengenal gula sebelum bangsa Cina datang ke Nusantara. Pada abad ke-15, warga Tionghoa mengajari masyarakat Jawa mengolah tebu menjadi gula secara tradisional.

Pembuatan gula dari tebu tradisional menggunakan alat penggiling yang terdiri atas dua buah silinder batu atau kayu yang diletakkan berhimpitan. Di bawah silinder diletakkan kuali besar.

Tonggak dipasangkan pada silinder. Untuk memutar silinder, tonggak didorong, biasanya menggunakan tenaga manusia atau hewan ternak, kadang juga digunakan kincir air sungai.

Tebu dimasukkan ke rongga di antara dua silinder. Hasilnya adalah cairan nira, yang ditampung pada kuali. Nira inilah yang diolah menjadi gula. Perdagangan gula oleh warga Tionghoa menarik perhatian persekutuan dagang dari Belanda, Vereeningde Oost-Indische Compagnie (VOC), yang dikenal dengan sebutan Kompeni, yang berlabuh di Banten pada 1596.

VOC menilai Banten kurang strategis dan aman. Gubernur Jenderal Kompeni Pieter Booth memindahkan markas dagangnya ke Jayakarta atau Jakarta. Daerah inilah yang selanjutnya diberi nama Batavia, sesuai dengan nama etnik asli Belanda, Bataaf.   Batavia makin ramai dan menjadi bandar besar di Asia Tenggara. Akibatnya, makin banyak warga Tionghoa yang bermigrasi ke Jawa. Warga yang baru datang ini meniru bisnis rekannya, salah satunya gula.

Maraknya perdagangan gula membuat VOC mengekspor komoditas ini ke Eropa. Awalnya, tujuan utama VOC hanya berdagang rempah-rempah. Pada 1637, VOC berhasil mengekspor 10 ribu pikul atau setara dengan 625 ribu kilogram gula per tahun. Gula ini dibeli dari warga Tionghoa.

Makin lama VOC makin kalap, yaitu ingin mengendalikan harga gula. Akibatnya, warga Tionghoa ogah memproduksi gula sehingga perdagangannya bertambah lesu. Pada 1799, VOC dinyatakan bangkrut oleh Kerajaan Belanda karena praktek korupsi yang subur. Kerajaan Belanda membentuk pemerintahan Hindia-Belanda menggantikan VOC. Kendala pertama pemerintah Hindia-Belanda adalah perang Diponegoro.

Meski menang, pemerintah Belanda tekor. Untuk mengisi kas negara yang defisit, Gubernur Jenderal Johanes van den Bosch mengeluarkan kebijakan tanam paksa atau cultuurstelsel. Bosch juga mengganti tanaman padi dan palawija dengan tebu. Hasilnya luar biasa. Dalam tempo 10 tahun, volume ekspor gula meningkat dari 6.710 ton pada 1830 menjadi 61.750 ton pada 1840.

Tiga puluh tahun kemudian, jumlah ekspor gula meningkat lebih dari 100 persen menjadi 146.670 ton. Selain tanam paksa, keberhasilan ini didukung oleh mesin penggiling tebu dan pembangunan infrastruktur perdagangan gula milik perusahaan dagang dari Belanda, Nederlandsche Handel Maatchappij.

Peraturannya lain tanam paksa adalah mewajibkan rakyat membayar pajak dalam bentuk hasil pertanian (inatura) khususnya kopi, tebu dan nila. Dengan demikian Belanda akan memperoleh barang ekspor dan kemudian dijual ke Eropa serta Amerika sehingga dapat menghasilkan banyak uang.

Tanam paksa berhasil menutup defisit dan meningkatkan kemakmuran bangsa Belanda. Bagi Belanda sistem ini telah memberi keuntungan yang besar karena meningkatnya tanaman ekspor, seperti gula, kopi, teh kopra dan kina. Keuntungan Belanda berkisar 151 juta gulden pada tahun 1877.

Kebijakan ini meliberalisasi perdagangan, termasuk industri gula. Mulai 1870, industri gula boleh dijalankan oleh swasta. Dua perusahaan swasta terbesar kala itu adalah Oei Tiong Ham Concern di Semarang dan milik Kanjeng Gusti Adipati Aryo Mangkunegara IV di Surakarta. Lantaran liberalisasi, Hindia-Belanda tercatat sebagai eksportir gula kedua setelah Kuba.