Menjaga Kemurnian Reformasi

Menjaga kemurnian reformasi berarti menjaga kemurnian pancasila.

Menjaga Kemurnian Reformasi
foto: F. Aristama

DI penghujung Mei 1998, saat pagi masih menyisakan gigit dingin, telepon redaksi sejumlah media tanah air berdering, pihak Istana meminta mereka untuk segera meliput secara langsung proses pengunduran Soeharto sebagai presiden di Credentials Room, Istana Negara. Presiden Soeharto berdiri tegap dengan safari hitamnya. Sambil sesekali menghela nafas, sebagai upaya untuk mengatur bahasa tubuhnya agar tidak terlihat emosional di depan mata kamera.

Pagi itu, Soeharto pun membacakan surat pengunduran dirinya di hadapan para wartawan. Kata demi kata ia ucapkan dengan lirih, kekecewaan tampak tergambar dalam pidato singkatnya itu. “… Saya telah menyatakan rencana pembentukan Komite Reformasi dan mengubah susunan Kabinet Pembangunan ke-7, namun demikian kenyataan hingga hari ini menunjukkan Komite Reformasi tersebut tidak dapat terwujud, karena tidak adanya tanggapan yang memadai terhadap rencana pembentukan komite tersebut.” Ungkap Soeharto saat itu, lirih. Wakilnya, Professor Ing, BJ. Habibie segera diambil sumpah sebagai Presiden ketiga Indonesia.

Sementara di luar Istana, di jalan-jalan, di kampus-kampus di seluruh tanah air, ribuan mahasiswa, pemuda dan eksponen gerakan 98 lainnya tumpah ruah, merayakan apa yang mereka sebut sebagai kemenangan gerakan reformasi. 

Setelah itu, kehidupan sosial masyarakat Indonesia mengalami dinamisasi yang sangat dramatis dan dilematis. Setiap aspek kehidupan terutama politik berkembang dalam kecepatan yang tak pernah diduga sebelumnya. Bahkan orang sekelas R. William Lidle, yang telah menghabiskan waktu 40 tahun untuk meneliti kehidupan sosial masyarakat Indonesia pun tak pernah menyangka bila perkembangan politik Indonesia kala itu bisa berjalan dalam hitungan detik.

Itulah kali terakhir para aktivis, mahasiswa, pemuda, petani dan eksponen gerakan reformasi lainnya terlihat bergandengan tangan dan meneriakan hal yang sama, ‘reformasi’. Gerakan reformasi ketika itu, mengalir jernih dalam jiwa para aktivis.

Setelah kekuasaan tumbang, dan pemimpin baru ditentukan, persoalan pun muncul. Meminjam istilah O’Donnell dan Schmitter yang dikutip Fedi R Hadiz dalam bukunya “Dinamika Kekuasaan”, bahwa transisi dari rezim otoriter malah menuju “suatu yang lain”. Entah apa namanya. Hasilnya, seperti yang kita rasa dan saksikan saat ini; intoleransi yang mencuat, korupsi yang merajalela, kepala daerah banyak dicokok KPK, kisruh pilkada, serta kesenjangan sosial-ekonomi.

Reformasi memang menjanjikan terjadinya perubahan di berbagai sisi kehidupan politik dan pemerintahan. Hanya saja di sisi lain, reformasi yang tidak terkelola dengan baik bisa menjadi sesuatu yang sangat menyeramkan. Perjalanan reformasi pun pada akhirnya menemui jalan terjal.

Itulah sebabnya, semangat reformasi, kebebasan, keterbukaan dan demokratisasi tak terlalu cukup membuat bangsa Indonesia berangsur lebih baik. Alih-alih melahirkan kesejahteraan, euphoria kebebasan dan reformasi malah membuat masyarakat mengalami trauma untuk menggerakan kebebasan dan keterbukaan pada orang lain. Tuntutan reformasi dan kebebasan secara sporadis telah membuat  identitas ke-Indonesian kita menjadi abu-abu.

Sementara itu, ketika kita belum juga siap dan memiliki skema baru identitas ke-Indonesiaan dalam menghadapi tuntutan tersebut, masyarakat terpencar dan identitas diri tak terselesaikan. Menjelma menjadi sejenis fragmentasi yang sangat berbeda (menggerogoti) dan menyebabkan identitas menutup diri lalu pergi sepenuhnya ke lain arah menuju dogma dan paksaan keyakinan iman, spirit primordialisme, parochial dan xenocentrisme, etnocentrisme, radikalisme atau bahkan materialisme.

Dalam konteks inilah kehadiran kembali para aktivis 98, yang akhir pekan kemarin menggelar Rembuk Nasional Aktivis (RNA) menjadi penting. Mereka berkumpul untuk melakukan konsolidasi menyikapi maraknya intoleransi, radikalisme, dan terorisme yang merebak belakangan ini.

Apa pun isu yang diusung, tentu saja yang terpenting seperti dikatakan Presiden Jokowi, agar para aktivis bisa melakukan konsolidasi gerkan dan organiasi yang masif, serta berpolitik dengan menjaga kemurnian gerakan dari sikap-sikap yang pragmatis dan sempit. Dalam konteks yang lebih luas, upaya ini mungkin tepat kita letakan dalam narasi ‘memurnikan pancasila’.

Pengamalan Pancasila mesti seiring dengan semangat reformasi dalam perubahan menuju tatanan masyarakat yang berkemajuan. Kemurnian reformasi dengan demikian akan ditentukan keberhasilan mengembailkan kemurnian dan keutuhan serta kekuatan Pancasila itu sendiri.

Karena itu, dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, maka menjaga kemurnian reformasi berarti menjadi tak sekadar soal intoleransi, radikalisme, dan terorisme ansich. Namun juga soal mengarusutamakan moderatisme, modernisasi demokrasi, kedaulatan bangsa, dan keadilan sosial.

Dengan narasi seperti itu, maka reformasi pun tak hanya berhasil kita jaga kemurniannya. Namun juga betul-betul bisa kita tuntaskan.

[Mrf]