Matinya Kepakaran di Era Pasca Kebenaran

Pernyataan publik figure atau influencer tersebut, alih-alih mendukung pendapat para ahli, mereka malah berpendapat sendiri melawan para ahli. Hal ini sekali lagi berbahaya karena akan membuat masyarakat menjadi bingung.

Matinya Kepakaran di Era Pasca Kebenaran
Sumber gambar: antaranews.com

MONDAYREVIEW.COM - Kemajuan teknologi informasi menjadi berkah sekaligus musibah. Beberapa dekade yang lalu, informasi merupakan sesuatu yang berharga. Untuk mendapatkannya membutuhkan usaha yang tak sedikit. Misalnya pergi ke perpustakaan atau membeli koran. Selain tidak mudah didapatkan, informasi juga bersifat terbatas.

Kondisi tersebut berbanding 180 derajat dengan dekada saat ini. Kita mengalami yang disebut dengan banjir informasi. Kemajuan internet membuat informasi sangat mudah didapat dan tidak terbatas. Kita tinggal mengklik ponsel pintar kita saat ingin mengetahui tentang sesuatu. Keberlimpahan informasi ini membuat kita harus menseleksi informasi mana yang benar dan mana yang salah.

Hari ini orang sangat mudah membuat informasi palsu dan menyebarkannya. Orang-orang juga sangat mudah mempercayai informasi yang didapat tanpa mengecek validitasnya terlebih dahulu. Inilah yang disebut dengan era pasca kebenaran (post truth), dimana kebenaran sudah bukan berdasarkan fakta, namun berdasarkan viralnya suatu informasi. Kebenaran juga menyesuaikan dengan afiliasi sang penerima informasi.

Bersamaan dengan era pasca kebenaran, lahirlah yang disebut dengan matinya kepakaran (the death of expertise). Istilah yang dipopulerkan oleh Tom Nichols ini merupakan suatu fenomena dimana orang-orang awam berlagak sebagai ahli. Lagi-lagi karena mudahnya informasi didapat, maka orang awam yang sudah mendapatkan suatu pengetahuan merasa berhak untuk mengomentari suatu masalah layaknya pakar bidang tersebut.

Tentu ini menjadi masalah, bagaimanapun orang awam tetaplah awam, bukanlah ahli. Ini juga menjadi berbahaya karena masyarakat akan dapat informasi bukan dari ahlinya. Dalam kasus Covid-19 yang terjadi di Indonesia kita bisa lihat fenomena-fenomena matinya kepakaran ini. Public Figure seperti Jerinx drummer Grup Band Superman Is Dead mengeluarkan pernyataan bahwa virus covid-19 adalah sebuah konspirasi.

Hal ini diikuti oleh artis lainnya yakni Luna Maya dan Young Lex yang diberi panggung oleh Deddy Corbuzier dalam podcastnya. Dalam beberapa pekan ini, penyanyi sekaligus youtuber Anji juga memberikan pernyataan bahwa kita tidak perlu takut dengan Covid-19. Hal ini memancing reaksi warganet yang menolak pernyataan Anji tersebut. Sebelumnya, Anji juga sudah memancing kontroversi saat mengomentari foto jenazah corona yang diambil wartawan.

Pernyataan publik figure atau influencer tersebut, alih-alih mendukung pendapat para ahli, mereka malah berpendapat sendiri melawan para ahli. Hal ini sekali lagi berbahaya karena akan membuat masyarakat menjadi bingung. Memang benar bahwa kita hidup di alam demokrasi dimana kebebasan berbicara dijamin. Namun selayaknya setiap pendapat mesti bisa dipertanggungjawabkan baik secara keilmuan maupun etika.

Masyarakat juga harus tetap kritis terhadap informasi yang disampaikan agar tidak terjebak pada pernyataan oleh yang bukan pakarnya. Pernyataan Jerinx dan kawan-kawan sedikit banyak bisa membentuk mindset masyarakat. Hari ini kita tahu bahwa para penyintas positif Covid-19 sudah melampaui 100.000 jiwa. Hal ini melebihi jumlah penyintas di negara asalnya sendiri.

Kondisi ini bisa lebih parah jika masyarakat tidak segera sadar tentang bahaya virus matinya kepakaran. Masyarakat harus dibiasakan mengambil pendapat dari pakarnya, bukan pakar asal-asalan. Masyarakat juga harus tahu diri dalam memberikan pendapat. Jika memang bukan pakarnya, lebih baik tidak perlu berpendapat.