Mengurai Kelangkaan Minyak Goreng di Negeri Penghasil Sawit Terbesar Dunia

Mengurai Kelangkaan Minyak Goreng di Negeri Penghasil Sawit Terbesar Dunia

MONITORDAY.COM - Di Sabtu petang yang tidak terlalu sibuk, Lika, seorang ibu rumah tangga yang tinggal di kawasan Jagakarsa, Jakarta Selatan. Bersama suaminya mengitari Pasar Jaya Lenteng Agung untuk berburu minyak goreng. Namun, setelah mengitari penjuru pasar tradisional itu, minyak goreng tidak tersedia.

Perburuan kemudian dilanjutkan ke pasar ritel modern, kenyataanmya sama. Minyak goreng sudah diserbu pembeli, ketersediaannya cuma bertahan 15 menit dari rak perbelanjaan. Lika dan suami, jelas kebingungan kemana hilangnya minyak goreng itu, sudah sejak akhir tahun lalu, minyak goreng langka.

Maklum, selain mengurusi keperluan domestik rumah, dirinya juga turut membantu keuangan keluarga dengan berjualan gorengan. Pertanyaan Lika dan suami, barangkali sama dengan ibu rumah tangga di manapun di negeri ini.

Kusut masai penyaluran minyak goreng untuk kebutuhan pokok masyarakat itu perlu diagnosa yang tepat. Beberapa informasi mengungkapkan ini adalah ulah dari pengepul, di mana Kementerian Perdagangan yang harus bertanggungjawab merapikan persoalan ini.

Memang Kementerian BUMN yang dikomandoi Erick Thohir juga sudah bertindak cepat dengan mengintervensi pasar, melalui perusahaan BUMN Holding Pangan sebanyak 3.7 juta liter minyak goreng disalurkan ke pasar hingga Mei 2022. Sehingga ketersediaan terjamin. Namun, itu belum cukup manjur. Minyak goreng toh, masih langka di akhir Februari 2022 ini.

Formula kedua juga coba dikerahkan, pemerintah melalui Kemendag menetapkan kebijakan Harga Eceran Tertinggi sebesar Rp11.500 per liter per 1 Februari lalu. Sementara HET untuk minyak goreng kemasan sederhana Rp 13.500 per liter dan minyak goreng kemasan premium seharga Rp 14.000 per liter. Meski, realita di pasar harga minyak goreng tembus sampai Rp28.000 per liter.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, harga minyak goreng pada Desember 2021 naik 34 persen dibandingkan Desember tahun sebelumnya. Pada Desember 2020 harga eceran minyak goreng Rp15.792 per liter, sedangkan pada Desember 2021 sudah mencapai Rp21.125 per liter.

Sebelumnya Menteri Perdagangan Muhammad Luthfi mengeluarkan produk kebijakan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 3 Tahun 2022 tentang Penyediaan Minyak Goreng Kemasan untuk Kebutuhan Masyarakat Dalam Kerangka Pembiayaan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).

Isi dari peraturan itu tak lain merupakan siasat pemerintah mencukupi ketersediaan stok minyak goreng agar tidak terjadi kelangkaan. Pemerintah mewajibkan eksportir CPO dan produk olahannya untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik atau domestic market obligation (DMO). Kuota DMO ditetapkan 20% dari volume ekspor.

Selain itu, melalui permedag itu pemerintah menerapkan kebijakan satu harga sebesar Rp14.000 per liter untuk operasi pasar agar harga stabil. Harga itu tentu saja adalah harga subsidi, karena produsen minyak goreng tidak mau merugi atau terpangkas labanya. Dana subsidi berasal dari (BPDPKS).

Dengan dikeluarkannya Permendag Nomor 3/2022, berarti bertambah satu lagi tugas BPDPKS untuk mendukung kebijakan pemerintah menstabilkan harga minyak goreng dalam negeri. Seperti diketahui, BPDPKS adalah Badan Layanan Umum yang berada di bawah Kementerian Keuangan.

Sebab dana yang dihimpun ke lembaga ini berasal dari pungutan atas ekspor komoditas perkebunan kelapa sawit dan atau turunannya. Dari pungutan ekspor atas CPO dan produk turunannya tahun 2020, BPDPKS mendapatkan penerimaan yang mencapai Rp 20,3 triliun. Dalam APBN, penerimaan ini masuk ke dalam pos Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

Dana yang dihimpun oleh BPDPKS bersumber dari pelaku usaha perkebunan kelapa sawit, dana lembaga pembiayaan, dana masyarakat, serta sumber dana lain yang sah. 

Akan tetapi, meski sudah tiga pekan bergulir kebijakan kewajiban pemenuhan kebutuhan pasar domestik (domestic market obligation/DMO) minyak kelapa sawit mentah (CPO) dan CPO olahan atau olein itu minyak goreng masih sulit dicari.

Ekonom senior, Faisal Basri menengarai kebijakan mandatori biodisel untuk kebutuhan energi mempengaruhi alokasi CPO yang sedianya diperlukan untuk industri pangan. 

Pangkal dari masalah ini adalah pergeseran besar dalam konsumsi CPO di dalam negeri. Menurut Faisal Basri, sejak pemerintah menerapkan kebijakan mandatori biodiesel, alokasi CPO untuk campuran solar berangsur naik. 

Peningkatan tajam terjadi pada tahun 2020 dengan diterapkannya Program B20. Akibatnya, konsumsi CPO untuk biodiesel naik tajam dari 5,83 juta ton tahun 2019 menjadi 7,23 juta ton tahun 2020 atau kenaikan sebesar 24%.

Dari laman websitenya, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) memperkirakan tahun 2022 ini porsi CPO untuk industri biodiesel akan mencapai sekitar 43% dari konsumsi CPO dalam negeri, padahal pada tahun 2019 masih sekitar 37%. Dalam satu sampai dua tahun ke depan boleh jadi porsi untuk biodiesel akan melampaui porsi untuk industri pangan.

Pengusaha lebih cenderung menyalurkan CPO-nya ke pabrik biodiesel karena pemerintah menjamin perusahaan biodiesel tidak bakal merugi karena ada kucuran subsidi jika harga patokan di dalam negeri lebih rendah dari harga internasional.

Sedangkan jika dijual ke pabrik minyak goreng tidak ada insentif seperti itu. Hingga kini sudah puluhan triliun mengalir subsidi ke pabrik biodiesel dari dana sawit yang dikelola oleh BPDPKS.

Sejak tahun 2020, BPDPKS memang mendukung pembiayaan program B30 yang ditujukan untuk pengujian mesin dan bahan bakar biodiesel, termasuk pula program sosialisasi biodiesel kepada masyarakat.

Tugas lain dari BPDPKS antara lain ikut memberikan dukungan finansial untuk berbagai program pemerintah, seperti penyaluran dana dukungan program biodiesel guna mengurangi ketergantungan terhadap impor solar dan minyak mentah.

Di masa lalu, pengguna CPO yang sangat dominan di dalam negeri adalah industri pangan (termasuk minyak goreng). Kebijakan mandatori biodisel itu jelas memengaruhi amat dalam kenapa minyak goreng sulit ditemukan oleh Lika, si ibu rumah tangga.

Pulang dengan tangan hampa, Lika dan suami mesti berpikir bagaimana esok hari bisa mendapatkan minyak goreng itu. Padahal tugas berpikir itu bukan tugas seorang ibu rumah tangga seperti dirinya. Melainkan tugas pemerintah.

Yang jelas, perlu ada kesinambungan kebijakan antara kementerian terkait, baik itu Kementerian Perdagangan, BUMN, Kemenkeu, dan Kementerian ESDM supaya kelangkaan ini tidak lagi berlanjut. 

Ironis, ketika lahan sawit terus bertambah dari tahun ke tahun, Pengusaha dan korporasi sawit terus mendapatkan izin pembukaan lahan dari negara. Justru negara sulit menyediakan minyak goreng untuk kebutuhan pokok masyarakat.