Menaikkan Daya Tawar Petani
Petani tidak memiliki posisi tawar yang menguntungkan saat bertransaksi karena harga komoditas yang mereka hasilkan sangat bergantung pada pasar.

MONDAYREVIEW.COM – Indonesia adalah negara agraris, begitu ajaran yang kita dapat sejak kecil. Agraris artinya sektor pertanian menjadi sumber utama pendapatan negara dan profesi petani menjadi profesi yang banyak dipilih. Seiring dengan adanya industrialisasi, lahan-lahan pertanian mulai tergerus, profesi petani pun banyak tidak diminati dan diteruskan oleh anak-anaknya. Segudang permasalahan pertanian pun masih menumpuk. Hari Tani Nasional menjadi momentum guna membahas beragam problem pertanian yang ada di Indonesia. Hari Tani Nasional diperingati setiap tanggal 24 September.
Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (Mentan SYL) membuka rangkaian acara peringatan Hari Tani Nasional 2020 yang diperingati setiap tanggal 24 September 2020. Kegiatan ini dilatar belakangi penetapan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang mengatur tentang dasar-dasar dan ketentuan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumber daya agraria nasional di Indonesia.
Mentan SYL mengatakan peringatan Hari Tani Nasional merupakan momentum untuk mengkonsolidasi secara emosional bagi Bangsa Indonesia khususnya seluruh jajaran Kementerian Pertanian (Kementan), para Gubernur dan para kepala daerah bahwa pertanian menjadi penting dimana sektor ini sangat stategis bagi Negara ini. Menurutnya kemajuan sebuah daerah, kabupaten, provinsi bahkan kemanjuan nasional sangat ditentukan oleh akselerasi pertanian yang mampu dioptimalkan untuk lebih kuat karena hal ini turut menandai kekuatan suatu Bangsa.
SYL juga menambahkan bahwa pertanian Indonesia bisa menyumbang hasil kinerja yang lebih dari capaian yang sudah ada selama ini. Pertanian menjadi pilar utama Negara dimana Negara bisa kuat jika lahir kekuatan ekonomi yang baik dan ekonomi yang baik ditandai dengan pertanian yang maju.
SYL menambahkan pihaknya terus mendorong juga petani muda atau kaum millenial bahwa pertanian itu menjanjikan kehidupan. Pertanian kini sudah bertransformasi dengan berbagai teknologi, mekanisasi yang akan terus ditingkatkan sesuai arahan Presiden RI Joko Widodo dimana sektor pertanian harus berinovasi dengan berbagai akselerasi dibidang pertanian.
Sementara itu, Massa aksi yang tergabung dalam Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA) menggelar aksi dengan pemasangan boneka petani di depan Gedung DPR dan Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (24/9/2020). Aksi tersebut dilakukan tepat di tengah momentum perayaan Hari Tani Nasional (HTN) 2020. Pemasangan boneka petani sendiri sebagai langkah antisipasi terhadap penyebaran Covid-19.
Juru Bicara KNPA, Dewi Kartika mengatakan, pemasangan boneka petani tersebut juga sebagai simbolisasi, bahwa sejauh ini pemerintah belum bisa menjalankan reforma agraria kepada petani. Abainya pemerintah terhadap reforma agraria ini terlihat dengan berbagai permasalahan pelik yang dihadapi petani sejauh ini. Terutama pengakuan atas tanah bagi petani karena ini masih ada ratusan ribu keluarga petani yang masih alami konflik agraria dan perampasan tanah, penggusuran, bahkan kriminalisasi.
Adapun aksi ini digelar secara serentak di 60 kabupaten di Indonesia, yang meliputi Jawa Timur (4 kabupaten), Jawa Tengah (6 kabupaten), Jawa Barat (4 kabupaten), Bali (1 kabupaten), Sumatera Selatan (3 kabupaten), Jambi (3 kabupaten), dan Sumatera Utara (6 kabupaten). Kemudian Sulawesi Utara (2 kabupaten), Sulawesi Tenggara (2 kabupaten), Sulawesi Tengah (4 kabupaten), Sulawesi Selatan (5 kabupaten), Banten (1 kabupaten), Lampung (1 kabupaten), Kalimantan Barat (1 kabupaten), Bengkulu (1 kabupaten), dan NTT (1 kabupaten).
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Galuh Octania menilai peran petani dalam rantai pasok beras sebagai pemasok utama komoditas tersebut perlu ditingkatkan. Dalam memperingati Hari Tani Nasional yang jatuh pada 24 September ini, CIPS menyatakan posisi petani sebagai pihak yang menjual dan memasarkan beras, seharusnya bisa menguntungkan dan lebih memiliki posisi tawar yang menguntungkan. Pada kenyataannya, rantai pasok beras memang panjang dan seringkali posisi petani tidak menguntungkan karena mereka tidak memiliki kuasa untuk harga Gabah Kering Panen (GKP) dan Gabah Kering Giling (GKG).
Selain itu petani tidak memiliki posisi tawar yang menguntungkan saat bertransaksi karena harga komoditas yang mereka hasilkan sangat bergantung pada pasar. Alhasil, petani hanya bertindak sebagai price taker dan bukan price maker. Beras lokal dari petani setidaknya melalui empat hingga enam pelaku distribusi sebelum sampai di tangan konsumen. Dalam rantai distribusi beras lokal, margin laba terbesar justru dinikmati para tengkulak, pemilik penggilingan padi, atau pedagang grosir.
Penelitian yang dilakukan oleh Hizkia Respatiadi mencontohkan yang terjadi di Pulau Jawa, margin laba ini berkisar antara 60-80 persen per kilogram. Sebaliknya, margin laba yang didapat pedagang eceran hanya berkisar antara 1,8-9 persen per kilogram. Meski demikian, rantai distribusi yang panjang ternyata bukan satu-satunya penyebab harga pangan di Indonesia terbilang mahal. Jika dilihat dari ongkos produksi, penelitian yang dilakukan oleh International Rice Research Institute (IRRI) pada tahun 2016 menemukan bahwa ongkos produksi beras di Indonesia 2,5 kali lebih mahal dari Vietnam dan 2 kali lebih mahal dari Thailand.
Studi ini juga menunjukkan rata-rata biaya produksi satu kilogram beras di Indonesia adalah Rp4.079, hampir 2,5 kali lipat biaya produksi di Vietnam (Rp1.679), hampir 2 kali lipat biaya produksi di Thailand (Rp2.291) dan India (Rp2.306). Biaya produksi beras di Indonesia juga lebih mahal 1,5 kali dibandingkan dengan biaya produksi di Filipina (Rp3.224) dan China (Rp 3.661). Walaupun berperan sebagai tulang punggung sektor pertanian, kesejahteraan petani juga terbilang masih jauh dari yang diharapkan.
Dari data BPS di tahun 2018, terdapat total 27,2 juta rumah tangga usaha pertanian pengguna lahan. Dari jumlah total tersebut, sekitar 15,8 juta tergolong rumah tangga petani gurem atau rumah tangga pertanian dengan lahan kurang dari 0,50 hektare.