Mengerek Daya Tarik Mobil Listrik

Mengerek Daya Tarik Mobil Listrik
Ilustrasi foto/Net

PERHELATAN Gaikindo Indonesia International Auto Show atau GIIAS 2021 di tengah pandemi Covid-19 secara mengejutkan berhasil menyedot animo masyarakat. Sejak pertama digelar, Jum’at (12/11) pameran otomotif ini selalu dipadati pengunjung.

Antrean yang mengular terlihat di pintu masuk ICE, BSD City, Tangerang Selatan. Begitu juga di dalam area pameran, para pengunjung terlihat antri untuk masuk sejumlah booth pabrikan Jepang hingga Eropa.

Pesta otomotif ini pun tak ubahnya menjadi panggung sejumlah merek, seperti Toyota, Daihatsu, Mitsubishi, Honda, Suzuki, hingga Audi dan Lexus yang memamerkan mobil baru dan mobil listrik.

Soal mobil listrik, bisa jadi ini lantaran trennya yang mulai merangkak naik. Terutama pasca gelaran KTT G20 di Roma, dan COP26 di Glasgow kemarin yang juga menyedot perhatian publik. Ada sejumlah kesepakatan, termasuk soal mobil listrik.

Ada lebih dari 100 pemangku kepentingan, termasuk negara, kota, negara bagian, dan perusahaan besar menandatangani Deklarasi Glasgow, dimana mereka bersepakat akan mengakhiri penjualan kendaraan dengan pembakaran internal (internal combustion engines) pada tahun 2035 di pasar utama, dan pada tahun 2040 di seluruh dunia.

Para pemimpin dunia, termasuk Presiden Jokowi bertemu di Konferensi COP 26 Glasgow untuk melakukan negosiasi penurunan emisi global karbondioksida. Menurut Satryo Soemantri Brodjonegoro, Ketua Tim Percepatan Industri nasional KBL berbasis baterai, salah satu cara untuk memenuhi tujuan tersebut, adalah melalui dukungan penuh terhadap infrastruktur kendaraan listrik.

“Transportasi yang selama ini menggunakan kendaraan berbahan bakar fosil, menyumbang emisi yang sangat besar. Oleh karena itu kendaraan listrik menjadi solusi, pastiya akan mengurangi emisi di Indonesia,” kata Satryo dalam keterangan tertulisnya, Jum’at (12/11).

Satryo mengatakan, Indonesia memang memiliki garis pantai yang sangat panjang, serta hutan yang luas. Dua hal itu adalah modal besar untuk karbon. Namun, kata dia, dengan mengakselerasi program mobil listrik, diyakini dampaknya akan lebih signifikan. Bahkan bukan tidak mungkin target net zero karbon pada 2060 bisa dicapai.

 Mobil listrik solusi perubahan iklim?

Septian Hari Seto adalah Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan di Kementrian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenkomarves), dalam sebuah acara diskusi virtual Kopi Pahit bertajuk ‘Mobil Listrik dan Perubahan Iklim’, dia mengungkap urgensi penggunaan kendaraan listrik sebagai teknologi disruptif bagi mayoritas industri otomotif.

Perlu diingat, kata Seto, di tengah dunia yang masih didominasi oleh kendaraan bermesin bahan bakar yang sangat tergantung konsumsi BBM, kendaraan listrik hadir dengan terobosan baru, menggunakan tenaga listrik.

Tanpa konsumsi BBM, kendaraan listrik tidak akan menghasilkan emisi. Karenanya, kendaraan listrik menjadi kendaraan yang ramah lingkungan dan menjadi salah satu solusi mengatasi perubahan iklim.

Seto manyampaikan bahwa Pemerintah menargetkan paling tidak 20% kendaraan listrik sudah mengaspal di jalanan Indonesia di tahun 2050. Nah, untuk mencapai target itu, kata Seto, Pemerintah kini kian getol menarik investor luar negeri agar mau berinvestasi mobil listrik di Indonesia.

“Hingga saat ini setidaknya ada dua produsen yang konfirmasi bakal membangun pabrik di Indonesia. Namun, tidak menutup kemungkinan jumlahnya akan bertambah banyak,” katanya.

Seto juga memaparkan bahwa  mobil yang akan ditawarkan masing-masing city car, multi-purpose vehicle (MPV), sport utility vehicle (SUV), dan pikap. Harganya di kisaran Rp75 juta untuk pikap, Rp150 juta untuk SUV, lalu Rp130 juta untuk MPV, dan terakhir mobil sport di harga Rp150 juta.

“Untuk tiap jenis mobil tersebut akan dipasarkan masing-masing 100 unit di Pulau Jawa. Ini lantaran perakitan mobil masih berpusat di Pulau Jawa. Kapasitas produksi bisa mencapai 20.000 unit kendaraan dalam setahun,” ujar Seto.

Perlu diingat, ungkap Seto, mobil ini merupakan produksi nasional karena memanfaatkan komponen lokal 40%, sisanya memanfaatkan komponen impor.

Mobil listrik dan sepeda motor listrik pun ke depan, menurut Seto menjadi senjata andalan subsektor transportasi untuk menurunkan emisi karbon sebesar 29% pada 2030. Sebab, kata dia, mobil listrik terbukti mampu mengurangi emisi karbon dari kendaraan.

Indonesia sendiri, ungkap Seto, telah menandatangani Paris Agreement pada 2015, yang merupakan kesepakatan global untuk mengurangi gas rumah kaca (GRK) agar pada abad ini suhu bumi tidak meningkat lebih dari 1,5%. Perjanjian itu, kemudian diratifikasi melalui UU No. 16 tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement to The United Nations Framework Convention on Climate Change.

Perlu diketahui, jika setiap negara yang ikut menandatangani Paris Agreement wajib menyampaikan National Determined Contributions (NDC) yang berisi langkah-langkah penurunan emisi GRK masing-masing. Itulah mengapa, di Eropa saat ini sudah menerapkan aturan ambang batas emisi bagi kendaraan.

Misalnya saja, kata Seto, jika mobil-mobil baru yang dijual memiliki emisi di atas 95 gram per kilometer/liter, akan dikenakan biaya tambahan yaitu 95 Euro pergram. Misalnya jika kita beli Corola Cross seharga 300 jutaan, maka di Eropa akan dikenakan biaya tambahan lagi sebesar 80 jutaan.

Karena itu, kata Seto, penjualan mobil listrik Eropa meski di tengah Pandemi mengalami peningkatan yang signifikan. Hampir di atas 40-an persen. Upaya tersebut sekaligus untuk mendorong elektrifikasi di sektor transportasi. Membuat orang harus mengeluarkan biaya tambahan untuk punya kendaraan yang menggunakan combustion engine dan masih menggunakan bbm.

Dalam NDC Tahap I, Indonesia sendiri menargetkan penurunan emisi GRK sebesar 29% secara mandiri atau 41% jika mendapat bantuan internasional. Itulah mengapa, kata Seto, untuk melangkah ke situ, Indonesia memerlukan investasi yang tak sedikit.

 Pentingnya Bauran Energi

Praktisi Ekonomi Digital M. Muchlas Rowi punya pandangan yang sama soal peran mobil listrik untuk perubahan iklim. Menurut dia, pengembangan mobil listrik harus kita dukung.

"Kita lihat bahwa adanya alternatif mobil listrik itu menjadi bagian penting yang tentu harus kita dukung. Apalagi ada begitu banyak studi penelitian yang menyebut mobil listrik dapat berkontribusi terhadap pengurangan emisi karbon," kata Muchlas.

Menurut Komisaris PT Jamkrindo ini, sejumlah penelitian tersebut menyebut ada pengaruh mobil listrik terhadap pengurangan emisi karbon. Misalnya saja, penelitian dari Universitas Redboud, Belanda, Muchlas mengungkapkan, mobil listrik dapat menghasilkan emisi yang lebih rendah. Bahkan kata dia, pada tahun 2050 akan dapat mengurangi emisi karbon global 1,5 giga ton seluruh negara dunia setiap tahunnya.

Hanya saja, menurut Muchlas, peralihan ke mobil listrik juga berpotensi tidak akan berdampak apa-apa pada pengurangan emisi karbon, apabila tidak dibarengi dengan bauran energi baru terbarukan.

"Beberapa penelitian menemukan bahwa banyak pembangkit listrik di dunia saat ini masih sangat bergantung pada energi batubara. Jika Pembangkit masih memakai sumber energi fosil, itu sama saja hanya memindahkan emisi dari hilir ke hulu," tegas dia.

Di samping itu, kata Muchlas, produsen mobil pabrikan Jepang yang menjadi market leader dunia, juga terkesan tidak begitu antusias dalam bersaing mengembangkan mobil listrik. Padahal, pabrik-pabrik mobil lain tengah gencar berlomba merancang mobil yang biasa disebut EV ini.

"Hal ini bisa jadi karena mereka belum percaya bahwa mobil listrik merupakan solusi terbaik untuk membantu mengurangi emisi gas buang. Di samping memang mereka juga belum melihat kebutuhan pasar yang signifikan terhadap mobil listrik," kata Muchlas.

Jadi, kata Muchlas, pengembangan mobil listrik harus dibarengi dengan upaya mempensiunkan sejumlah pembangkit listrik yang masih menyumbang emisi karbon cukup tinggi, seperti PLTU batubara. Agar mobil listrik punya dampak besar terhadap perubahan iklim.

Barangkali, ide untuk membuat semacam pilot project yang diungkap Deputi kampanye Publik SAS Institute, Endang Tirtana, menarik untuk dipertimbangkan. Kata dia, ini dilakukan agar masyarakat makin antusias menggunakan mobil listrik.

“Saat ini saya lihat diskusi kita masih di seputar fasilitas pengisian baterai mobil listriknya. Sedikit sekali yang punya inisiatif untuk mendorong antusiasme masyarakat terhadap mobil listrik. Meski ada pilot projectnya,” ujar Endang kepada monitorday pada Kamis (18/11).

Komisaris Semen Batu Raja menyebut piloting Ini sangat penting, karena kita sendiri tahu, jika salah satu alasan kenapa aturan emisi karbon di Jakarta batal dilakukan November ini adalah karena rendahnya minat masyarakat untuk melakukan uji emisi. Artinya, antusiasme masyarakat terhadap mobil listrik ini juga masih sangat rendah.

Penulis: Ma’ruf Mutaqin
Editor: Taufan Agasta
Reporter: Faisal Ma’arif, Natsir Amir
Disain: Deni Irawan