Gotong Royong dalam Kedaruratan

“Gotong royong di luar sebuah konsep masyarakat. Adalah sebuah kekayaan Indonesia. Begitu kayanya, sehingga definisi dari gotong royong tidak bisa dibakukan dalam satu arti.”
“Sebagai sebuah nilai, bakti gotong-royong bukan hal yang melulu dibebankan pada struktur pemerintahaan yang sedang berjalan. Jauh sebelum terbentuknya pemerintahan modern baik era-kolonialisme maupun pasca kemerdekaan, gotong royong sudah hadir dalam setiap nafas dan jeda pikiran kita.”
Tentu mendekatkan makna gotong-royong bukan semata-mata menggunakan teori instrumentalis. Di mana memaknai tubuh masyarakat seperti organisasi modern yang setiap aktornya bekerja atas perintah rezim hukum yang berlaku.
Maka tersesatlah mereka, yang sejak awal mendogmakan bahwa segala bentuk aksi gotong-royong adalah kewajiban sekaligus tanggung jawab negara. Dan masyarakat diposisikan sebagai subjek pasif penerima hak. Ini cara pandang yang usang yang tanpa bobot. Dalam konsep antropologis justru gotong-royong adalah cikal bakal yang tumbuh dalam kehidupan masyarakat bahkan keluarga. Lebih jauh, gotong-royong bukan saja berbasis aktivitas praktis, melainkan juga terbentuk dalam kesadaran magis.
Meminjam pandangan Clifford Geertz misalnya, bagaimana nasionalisme Indonesia dijelaskan sebagai bentuk Komunitas Imajiner (Imagine Community). Berbeda dengan nasionalisme Perancis pada abad-18 pertengahan, mereka melawan bangsanya sendiri hanya berbeda kasta. Sekaligus membatalkan banyak diktum Ernest Renan soal nasionalisme Eropa.
Kembali pada Indonesia, meminjam komunitas imajiner ala Geertz menandakan bahwa nasionalisme gotong-royong adalah agregasi perjuangan praktis yang direkatkan pada kesadaran magis. Di sini boleh kita simpulkan bahwa gotong-royong adalah nilai inti peradaban republik Indonesia.
Sebagai sebuah nilai inti, gotong-royong terus tumbuh berlembang secara makna dan pengamalan yang kontemporer. Secara ilmu pengetahuan, dia tidak bisa dibakukan dalam sebuah batasan definisi yang sempit. Namun setidaknya, pedoman menuju gotong-royong yang kita inginkan selalu dipandu oleh konsep-konsep kerelaan, kesadaran positif bersama, dan tujuan maju di masa depan.
Kedaruratan Pandemi di Indonesia
Melompat ke Italia, Giorgio Agamben adalah salah satu filsuf yang akhir-akhir ini teorinya banyak dibincangkan. Tanpa harus menjelaskan secara teoritis yang ketat, saya coba memberikan kisi-kisi kedaruratan ala Agamben. Dirinya menjelaskan bahwa dalam situasi darurat otoritas hukum terletak pada norma person, atau diistilahkan Nomos Basileus.
Nomos Basileus berpusat pada otoritas individu yang seiring dengan kehendak moral. Sehingga, dalam kedaruratan, posisi hukum tidak diabaikan namun dianggap belum tentu efektif untuk mengatasi kegentingan yang terjadi. Bahkan, dalam situasi darurat penundaan atas hak (derogasi) juga dimungkinkan terjadi. Hal ini bukan dikarenakan negara abai atau bangkrut sepanjang darurat. Namun dimaksudkan karena semua instrumen legal yang beroperasi sedang pada batas limitasi. Oleh karenanya pemenuhan standar hak sebagaimana dalam situasi normal sangat berat untuk dipenuhi.
Agamben juga memberikan komentar pesimis, bahwa negara akan cenderung abai kepada warga negara dalam menghadapi krisis. Namun, apa yang dijelaskan Agamben berlatar krisis politik yang disulut oleh sebuah invasi bersenjata hingga beranjak pada inflasi ekonomi.
Berpijak pada pandangan Agamben, memandang masa krisis pandemi di Indonesia supra strukturnya justru ada pada masyarakat, bukan semata-mata negara. Gagal dan suksesnya perlawanan terhadap Covid 19 secara mayoritas ditentukan oleh kesadaran magis masyarakat kemana akan berlabuh.
Upaya Maksimal Pemerintah
Sejak awal pandemi pemerintahan Presiden Jokowi telah dan masih berlangsung melakukan proteksi kerakyatan. Dari mulai pemberlakukan PSBB, PPKM Mikro dan Darurat, Bantuan Sosial Pangan, Insentif Pekerja, Vaksinasi Gratis hingga ketersediaan obat-obatan penunjang selama isolasi mandiri.
Semua kebijakan itu dilaksanakan atas nama penyelenggaraan pemerintah di masa pandemi. Meski yang kita hadapi bukan saja virus mematikan. Departisipasi publik dan jebakan paradoks kelompok tertentu juga semakin memberatkan perjuangan kolektif antara masyarakat dan pemerintah.
Sebagai contoh niat upaya penyelenggaraan vaksinasi gotong-royong individu. Jika secara positif, ini membuka partisipasi masyarakat dalam membangun kekebalan kelompok (herd immunity). Seharusnya, program ini bisa mempercepat kekebalan kelompk jika terselenggara. Oleh karena, secara gotong-royong aktif masyarakat yang memiliki daya bayar vaksin mandiri juga mempercepat kekebalan kelompok dalam sektor masyarakat.
Implementasi vaksinasi gratis juga belum berjalan maksimal, dikarenakan banyak faktor. Baik keterbatasan nakes, inden vaksin maupun apriori masyarakat terhadap vaksinasi. Masih banyak dikalangan masyarakat kita yang masih ragu terhadap kualitas dan cara kerja vaksin covid-19.
Berkaca pada kondisi hari ini, ada banyak laporan dan berita yang melegakan. Bahwa kebijakan PPKM Darurat yang berlangsung sejak 3 Juli lalu sudah membuahkan hasil. Melalui siaran berita, Presiden Jokowi juga mengapresiasi dari trend penurunan Covid-19. Meskipun Peesiden Jokowi memberi catatan jika trend menurun ini bisa diterapkan secara konsisten. Maka, pada tanggal 26 Juli kedepan pemerintah akan melakukan pembukaan secara bertahap.
Sikap ini menandakan bahwa pada situasi pandemi pemerintah dan masyarakat berada pada posisi yang sama. Kembali lagi pada penerapan gotong-royong di awal, bahwa penekanan gotong-royong berpusat pada masyarakat.
Saat dimana, kerelaan untuk menahan diri selama peraturan pembatasan masih berlaku. Kesadaran yang kuat untuk bisa sehat bersama-sama seperti sediakala. Disamping pemerintah secara seksama dan segala daya memenuhi kebutuhan pangan masyarakat melaui bantuan-bantuan yang terus didistribusikan. Dalam agenda vaksinasi yang terus dijalankan.
Gotong-royong yang kita maksudkan adalah satu upaya sinergi antara masyarakat dan pemerintah dalam mengatasi kedaruratan pandemi. Selain peningkatan fasilitas dan bantuan dari pemerintah. Dukungan dan kerjasama masyarakat juga tak kalah urgensinya. Gotong-royong seperti itulah yang boleh kita idamkan. Yang mana kesukarelaan dan kebersamaan diikat dalam niat dan tujuan masa depan yang lebih baik. Tanpa hal itu semua, yang ada bukan hanya kesia-siaan. Kendati masa ketidakpastian yang semakin panjang.