Bendera Itu dan Momentum Transformasi Tauhidi

Ketauhidan mestinya mampu mentransformasikan setiap muslim menuju ummatan wahidah yang memiliki sifat-sifat mulia yang membebaskan dirinya dari belenggu yang memasungnya dalam kenistaan dan kejahiliyahan.

Bendera Itu dan Momentum Transformasi Tauhidi
Peserta mengikuti aksi protes pembakaran bendera berkalimat Tauhid di depan Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Jumat (26/10/2018). Foto: Antara

LAGI-LAGI video yang serupa, membuat cemas dan akhirnya si pelaku pun bernasib naas. Sambil memegang kain berwarna hitam seukuran bendera, beberapa pemuda berseragam Banser dengan penuh semangat memantikan api dan membakar dua lembar kain berwarna hitam bertuliskan ‘Lailahaillallah Muhammadarrasulullah’.

Polemik pun kembali muncul, masyarakat turun ke jalan, beberapa tokoh agama kembali bersuara lantang. Mereka beranggapan, atas nama dan alasan apa pun membakar ‘bendera tauhid’ adalah keji dan tak dapat ditolerir.

Sementara beberapa tokoh agama lainnya, menyebut pembakaran tersebut justeru merupakan upaya untuk memurnikan ‘bendera tauhid’ dari upaya kelompok tertentu untuk membelokan makna agung di balik dua kalimat syahadat yang dibubuhkan dalam bendera berwarna hitam dan putih tersebut.

Tak bermaksud masuk dalam perdebatan soal validitas keterangan tentang sejarah dan bentuk bendera tersebut, namun penting kiranya untuk mencermati beberapa hal terutama cara kita memaknai simbol dan ketauhidan kita.

Sekilas, nampak sekali bila eks kelompok HTI, atau orang-orang yang memanfaatkan isu ini telah berhasil memainkan simbolisasi secara visual. Menggiring ummat Islam dalam kubangan makna bahwa HTI menjadi bagian dari kita, sehingga perlu dibela. Padahal, sudah jelas-jelas HTI telah dinyatakan sebagai ormas terlarang.

Mestinya, polemik ini dilokalisir baik secara territorial maupun struktural. Biarkan persoalan tersebut menjadi persoalan lokal dan tak mesti ditarik-tarik secara nasional. Menjadi sangat aneh, ketika peristiwa pembakaran dilakukan di daerah Garut, namun aksi dan demonstrasinya dilakukan di depan Istana Negara.

Lebih aneh lagi, ketika peristiwa yang sebetulnya dilakukan oleh oknum Banser, dan mereka sudah meminta maaf, namun para demonstran yang datang ke Jakarta seperti lupa dengan permasalan utama, dan malah meneriakan #2019GantiPresiden.

Melihat beberapa kerancuan tersebut, maka penting kiranya kita kembali melakukan pemaknaan terhadap pemahaman kita akan ketauhidan, dus juga melakukan transformasi tauhidi.

Salah satu pemikiran berharga yang banyak dilupakan orang, adalah gagasan Pak Amien Rais mengenai ‘Tauhid Sosial’. Pak Amien, mengemukakan gagasannya itu sebelum masa reformasi 1998.

Setiap orang memiliki masanya, dan setiap orang mengalami perjalanan sejarah. Dalam hal ini, kita pahami konteks ‘tauhid sosial’ Pak Amien ketika itu. Namun, ini penting. Kita ingat ketika itu, Pak Amien amat getol mengkampanyekan gagasan tersebut sebagai respon terhadap pembangunan Orde baru. Namun, menurut hemat penulis, gagasan tersebut masih sangat relevan.

Menurut Pak Amien, Islam bukan hanya ‘Agama Tauhid’ yang meng-Esa-kan Allah semata, namun lebih dari itu. Di dalam ajaran Tauhid terdapat nilai-nilai sosial yang tinggi seperti keadilan, demokrasi, persamaan, dan pemerataan.

Islam bukan hanya agama langit yang tidak membumi. Sebaliknya Islam membawa keselamatan di dunia dan akhirat. Tauhid sosial berarti Islam bukan hanya agama yang melulu mementingkan ritualitas kosong, melainkan agama yang berinteraksi dengan masalah-masalah sosial seperti kemiskinan, penindasan, kezalian, kediktatoran dan lainnya.

Makanya, jika ada pemimpin yang sering marah-marah, namun miskin kerja yang nyata, hanya pandai beretorika, dan seringkali malah bikin blunder dengan kata-kata, maka sudah barang tentu tak sesuai dengan konsepsi tauhid sosial yang dimaksud Pak Amien.

Karena menurut Pak Amien, ajaran tauhid sosial juga berarti umat Islam harus berinteraksi dengan berbagai permasalahan sosial dan menanggulanginya. Al-Qur’an dan Al-Hadist tidak melulu bicara soal ibadah ritual, dan simbol, namun juga bicara soal masalah-masalah sosial. Karena itu, seorang muslim yang baik bukanlah sekadar yang gemar berteriak ‘bela agamanya’ dan mengusung panji-panji bendera, melainkan harus juga turun ke masyarakat dan ikut berkontribusi menanggulangi berbagai persoalan sosial.

Dengan kata lain, Pak Amien hendak mengatakan, bila ketauhidan mestinya mampu mentransformasikan setiap muslim menuju ummatan wahidah yang memiliki sifat-sifat mulia yang membebaskan dirinya dari belenggu yang memasungnya dalam kenistaan dan kejahiliyahan.

Sifat-sifat tersebut, yaitu pertama, ia memiliki komitmen utuh pada Tuhannya. Berusaha semaksimal mungkin agar tingkah lakukanya sesuai dengan aturan Tuhan. Kedua, bersikap progressif membaca dalam realitas, tidak kaku dalam menghadapi setiap perubahan yang positif. Ketiga, tujuan hidupnya jelas hanya untuk Sang Ultimate Reality. Amal ibadah, kerja kreatif, hidup dan matinya tiada lain adalah lillahi rabbil ‘alamin. Puncaknya, transformasi tauhidi membentuk konsepsi dan visi bahwa melakukan perubahan sosial adalah misu utama dan profetis yang harus diemban oleh setiap ego yang mengaku ummatan wahidah.