Mengapa Partai NasDem, Ridwan Kamil?
Sedangkan pernyataan Emil tentang menguasai Kejaksaan, serta kemungkinan dikriminalisasi menjadi tersangka tentu layak untuk menjadi fokus perhatian.

MONDAYREVIEW.COM – Ridwan Kamil kembali menjadi buah bibir pro dan kontra. Hal itu tak terlepas dari video yang mempersepsikan Ridwan Kamil merapat ke Partai NasDem karena kepemilikan media dan menguasai Kejaksaan. Video tersebut terlihat diambil secara candid dalam acara deklarasi dukungan komunitas Pesantren se-Jawa Barat, 23 April 2017, di Kabupaten Subang.
Dalam video tersebut sosok yang akrab dipanggil Emil ini mengaku sudah menemui PKS, Gerindra, PKB, PDIP dan Demokrat. Namun komunikasi lintas partai itu mandek dengan alasannya masing-masing. Dengan PKS tak bisa berlanjut karena partai ini akan mengusung kader sendiri. Dengan Gerindra, Emil diminta menjadi kader partai besutan Prabowo Subianto terlebih dahulu. Sedangkan di PDIP dan Demokrat, Wali Kota Bandung ini diminta mendaftar, sembari menunggu keputusan Megawati dan SBY.
Yang kemudian menjadi fokus polemik yakni pernyataan Ridwan Kamil menerima pinangan Partai NasDem.
“Tiba-tiba NasDem tidak banyak mikir di pos yang sama itu. Langsung saja mendeklarasikan. NasDem ini Pak, dia punya media. Dia punya Kejaksaan,” ujar Emil dalam video tersebut.
“Jadi kalau saya tolak, kemungkinan lebih banyak mudharatnya, Pak. Kepada saya atau pembangunan kota Bandung,” imbuh Emil.
“Jadi sebenarnya, ini mah rahasia kita, ya. Saya menerima itu menyelamatkan agar kota Bandung tidak terganggu. Karena kalau saya tolak mohon maaf pak, hari ini orang besar tidak salah pun bisa disalah-disalahin. Orang benar pun bisa dikri[minalisasi]…(terpotong)…ngerti pak tiba-tiba jadi TSK (tersangka),” beber Emil.
Ridwan Kamil sendiri ketika dikonfirmasi menyatakan bahwa pria di dalam video itu adalah dia. Emil menyesalkan mengapa video tersebut dipotong-potong. Karena, sebenarnya dalam kesempatan itu Emil sedang menjelaskan posisi partai-partai politik dengan dirinya.
“Itu tuh mengedukasi para ulama terkait politik. Jadi, para ulama itu bertanya. ‘Masing-masing partai itu bagaimana? Lalu saya jelaskan’,” kata Emil pada Ahad (14/5) seperti dilansir Republika.
“Jadi, konteksnya itu sedang mengedukasi karena ulama-ulama tanya sebaiknya independen, kalau tidak, tolong terangkan partai-partai plus minusnya apa,” imbuh Emil.
Video dan Analisa yang Tercipta
Jika menilik dari rangkaian informasi tersebut, maka beberapa analisa bisa diungkapkan. Yang pertama adalah jarak antara pernyataan dengan tersebarnya via You Tube. Ridwan Kamil mengungkapkan pernyataannya pada 23 April 2017 dan kali pertama video itu muncul di akun You Tube D’Channel pada 11 Mei 2017.
Ridwan Kamil sebenarnya sudah mewanti-wanti agar pernyataannya tidak keluar di publik melalui kalimat ‘Jadi sebenarnya, ini mah rahasia kita, ya’. Dari video yang tersebar pun terlihat diambil secara candid. Mungkin saja timbul pertanyaan mengapa ada jarak waktu sekian hari sebelum pertanyaan ini teramplifikasi di publik. Mungkinkah karena di bulan April, perhatian publik sedang begitu masif pada Pilkada DKI Jakarta? Sehingga jika dipublikasi akan teredam gaungnya dengan hingar bingar Pilkada DKI Jakarta?
Yang kedua, Ridwan Kamil yang menyesalkan mengapa video tersebut dipotong-potong. Sebagai tokoh publik, Ridwan Kamil memang seharusnya sudah lebih mawas diri dan bersiap dengan segala sikap kontra ataupun serangan politik.
Yang jelas video tersebut asli dan benar perkataannya diungkapkan Ridwan Kamil. Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) juga pernah berkelit video pidato penistaan agama yang dilakukannya di Pulau Pramuka pada September 2016 sebagai dipotong dan tidak utuh. Dalam kasus Ahok, akhirnya perkara itu berbuntut panjang hingga majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara memvonisnya dengan hukuman dua tahun penjara.
Yang menjadi concern sebenarnya bukanlah perkara apakah video tersebut dipotong, namun lebih substansial adalah apa yang diungkapkan. Dalam hal ini Ridwan Kamil sudah selayaknya untuk memilah dan memilih perkataannya. Dikarenakan ketika sudah terpublikasi, maka persepsi, framing dapat terjadi.
Yang ketiga, tentang Partai NasDem yang memiliki media dan menguasai Kejaksaan. Memiliki media dalam konteks politik memang berarti. SBY dalam bukunya Selalu Ada Pilihan misalnya mengeluhkan pernyataan-pernyataannya yang dipotong, di-framing. SBY juga merasa dirinya tidak memiliki media saat dirinya menjabat sebagai Presiden.
Kepemilikan media sendiri berperan dalam mengendalikan opini. Opini positif dapat dibangun dengan meliput aktivitas dengan berbagai genre. Opini negatif dapat ditangkal dengan klarifikasi. Maka elektabilitas Ridwan Kamil yang sudah cukup baik dapat terus ditingkatkan melalui “serangan udara” dengan kanal media.
Sedangkan pernyataan Emil tentang menguasai Kejaksaan, serta kemungkinan dikriminalisasi menjadi tersangka tentu layak untuk menjadi fokus perhatian. Indonesia sebagai negara hukum tentu tidak menginginkan hukum dipakai sebagai pemukul bagi tokoh yang berseberangan secara politik. Hukum memiliki kedaulatannya tersendiri yang tidak layak diintervensi kekuasaan politik.
Ridwan Kamil sendiri boleh dibilang memang menghadapi arus balik yang cukup kencang ketika setuju diajukan oleh Partai NasDem sebagai calon Gubernur Jawa Barat. Ridwan Kamil yang semula mendapatkan apresiasi positif di media sosialnya, kini mendapatkan sentimen negatif terutama dari kalangan umat Islam. Ridwan Kamil disoalkan mengapa setuju diusung oleh Partai NasDem yang mendukung Ahok yang menurut keputusan hukum pun telah ditetapkan menista agama.