Mendorong UMKM Naik Kelas

Mendorong UMKM naik kelas ke tingkat global adalah pekerjaan rumah yang berat, namun sekaligus menarik. Indonesia butuh treatment khusus.

Mendorong UMKM Naik Kelas
Presiden Joko Widodo bertemu dengan pelaku UMKM di Jakarta. - Instagram @jokowi

SAAT memperkenalkan jajaran kabinet terbarunya, Presiden Jokowi menyampaikan jika tugas utama menteri koperasi dan UKM adalah membawa UMKM naik kelas ke tingkat global. Tentu saja arahan presiden ini menjadi pekerjaan rumah yang berat, namun sekaligus menarik.

Berat, karena melihat kondisi perekonomian global yang kurang baik. Banyak yang saat ini tengah melakukan wait and see dalam menjalankan bisnisnya. Bahkan sejumlah lembaga internasional, seperti disinggung Menkeu Sri Mulyani, telah melakukan revisi laporan dan menyebut ada penurunan ekonomi global.

Menarik, karena nyatanya ekonomi domestik kita dalam kondisi baik. Pertumbuhannya diprediksi berkisar di angka 5 persen. Daya tahan ini diantaranya berkat pasar domestik yang besar. Ini menjadi semacam asuransi yang mampu menopang ekonomi domestik di tengah global environment yang berada di tengah ketidakpastian.

Tentu ada banyak persoalan yang terlebih dahulu mesti diselesaikan agar UMKM kita bisa naik kelas. Namun jangan sampai berhenti pada kebanggaan saja. Bahwa kita bisa bertahan dari krisis karena keberadaan UKM dan koperasi.

UMKM maupun koperasi memang seringkali dikatakan sebagai tulang punggung perekonomian. Namun sejatinya, semua sektor ekonomi itu merupakan sebuah kesatuan. Seumpama sebuah bangunan, maka pondasinya adalah ekonomi mikro, lantainya usaha kecil, dindingnya usaha menengah, dan atapnya adalah usaha besar.

Lalu, jika angin pelambatan menerpa, ataplah yang pertama kali terkena. Lambat laun, jika tidak ada treatment khusus, maka dinding, lantai, bahkan pondasi pun goyah. Oleh sebab itu, jika ingin membangun gedung lebih tinggi, maka perkuat pondasinya, bukan atapnya saja. Persoalannya, mereka yang bergerak di sektor ini punya problem pada standar produk, konsistensi, kelembagaan dan pembiayaan. Ini harus diselesaikan.

Pada saat krisis 1998, Indonesia dihadapkan dengan tantangan yang sangat berat, namun saat itu masyarakat bisa bertahan dengan guliran para pelaku Usaha Kecil Menengah (UKM). Dan oleh karena itu bila para pelaku ekonomi kreatif saat ini bisa mengambil pelajaran dari krisis 1998 silam, niscaya ekonomi kreatif  (UMKM) dapat mengembangkan cara-cara modern, dan menjadi tulang punggung perekonomian nasional.

Rumusan sederhananya adalah untuk memulai usaha ekonomi kreatif, diperlukan adanya kemampuan yang cukup untuk memulai usaha. Kemampuan yang tak hanya berupa modal usaha, melainkan juga kreativitas. Sebagai modal yang tak terhingga, kreativitas diyakini akan menjadi kekuatan yang mendobrak ketidakberdayaan negara, dan membawa kita pada kemakmuran.

Oleh karena itu, sebelum resesi dan stagflasi merontokkan bangunan ekonomi negeri ini, fondasi ekonomi harus diperkuat, sementara lembaga keuangan mikro didorong untuk fokus kepada sektor riil.

Salah satu problem klasik yang seringkali menjadi perdebatan panjang dalam dunia perbankan maupun lembaga keuangan lainnya adalah sulitnya kalangan usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi (UMKMK) untuk mengakses pembiayaan. Berbagai upaya pun dilancarkan untuk menanggulangi problem tersebut, mulai dari mendorong lembaga keuangan bank maupun non bank untuk memberikan akses pembiayaan, peningkatan kapasitas UMKM, hingga mendirikan beberapa lembaga keuangan yang lebih berkonsentrasi memberikan pembiayaan untuk kalangan UMKM.

Sesaat, problem tersebut mulai terasa dapat ditanggulangi. Namun, setelah masyarakat dan kalangan usaha kecil mulai mendapatkan kemudahan untuk mengakses pembiayaan, ternyata mulai muncul persoalan baru, yang disebut sebagai credit booming. Kondisi dimana kredit menjadi primadona dalam kehidupan ekonomi masyarakat. Baik orang per orang, maupun pelaku usaha demi mempercepat dan mempermudah dalam memenuhi kebutuhannya.

Entah kebutuhan yang sifatnya produktif maupun konsumtif, kredit menjadi pilihan utama; lembaga keuangan bank maupun non bank (bank keliling atau bahkan renternir) seolah menjadi pihak yang dicari orang per orang maupun kalangan usaha.

Pihak perbankan maupun lembaga keuangan lainnya yang menyalurkan kredit pun mulai merasa kesulitan untuk menjangkau UMKM sebagai sasaran kreditnya. Sulit, karena minimnya informasi tentang kinerja dan kemampuan UMKM, karakter pengusaha yang mengajukan kredit, serta azas kehati-hatian yang tetap menjadi prioritas. Kalau pun riwayat kredit saat ini dapat diakses dari Sistem Infomasi Debitur (SID) dari Bank Indonesia, namun jumlahnya tentu masih terbatas.

Dalam konteks inilah Jamkrindo diharapkan dapat memainkan peranannya. Jamkrindo sebagai satu-satunya Perusahaan BUMN Penjaminan yang dapat berperan terkait geliat dan animo masyarakat yang cukup tinggi terhadap pembiayaan kredit. Kecenderungan yang di satu sisi cukup menggembirakan, karena masyarakat mulai mengenal jalur pembiayaan tersebut. Namun di sisi lain, bila tidak dikelola secara baik akan berdampak kurang baik dan mengganggu pertumbuhan ekonomi nasional.

Perum Jamkrindo hadir untuk memperkenalkan layanan yang tak hanya membantu calon debitur untuk mengakses pembiayaan, namun juga membantu calon kreditur untuk menyalurkan kredit. Dalam hal ini misalnya, hingga September 2018, total kredit yang dijamin Perum Jamkrindo adalah sebesar Rp126 triliun. Porsi terbesar 80% atau Rp 85,18 triliun diperoleh dari penjaminan Non KUR dan sisanya Rp 41,30 triliun merupakan penjaminan KUR.

Usaha penjaminan kredit yang dijalankan Perum Jamkrindo saat ini memang tak dapat dipungkiri memiliki potensi risiko yang tinggi. Risiko tersebut dapat timbul sebagai akibat dari kegagalan nasabah perbankan dalam memenuhi kewajibannya. Karena itulah Jamkrindo mendorong UMKM untuk melakukan reformasi total baik di bidang UMKM maupun koperasi. Mereka harus naik kelas, lebih modern, dan go internasional.

Ini bisa dilakukan dengan membangun kedua-duanya, UKM juga kewirausahaannya. Kita ada pelatihan, kewirausahaan, teknis operasional, kemudian pelatihan perkoperasian. Kemudian managerial itu kita lakukan. Supaya mereka memiliki daya saing yang lebih tinggi.

Cara lainnya, bisa dengan memperbaiki regulasi atau bagaimana mengalokasikan bagian, supaya tepat sasaran, efisien dan efektif. Bisa juga dengan mendorong pendapatan negara dari pajak itu bisa optimal. Lalu juga diupayakan bagaimana kemudian yang sudah maju bisa menolong yang kecil dan baru merangkak.

Jadi ada semacam kesetiakawanan sosial. Semua pihak, baik pemerintah, swasta, perguruan tinggi dan masyarakat secara keseluruhan juga bisa saling bekerjasama. Ya, di era disrupsi kolaborasi memang menjadi keniscayaan. Dengan kolaborasi, maka peluang UMKM naik kelas bisa lebih besar dan cepat. [ ]