Stimulus Ekonomi Dunia Melawan Covid-19
Covid-19 berdampak serius terhadap perekonomian, hampir semua negara memberikan dukungan stimulus fiskal dan moneter untuk menjaga stabilitas ekonomi.

PANDEMI COVID-19 telah menimbulkan korban kemanusiaan yang amat besar dan angkanya masih terus meningkat di seluruh dunia. Sejumlah langkah penting telah diambil oleh berbagai pemerintahan untuk melindungi kehidupan manusia dan merancang sistem kesehatan terpadu untuk mengatasi pandemi seperti melakukan isolasi, penguncian (lockdown) atau menutup suatu wilayah untuk memperlambat laju penanganan virus.
Hingga saat ini, memang belum ada satu pihak pun yang berani menyatakan kapan Covid-19 akan hilang, namun penanganan wabah di beberapa negara sudah terlihat mengalami kemajuan, terutama dengan menurunnya jumlah penderita. Meskipun tidak berarti hilang sama sekali, karena resiko kasus baru dan terjangkit kembali juga masih sangat besar.
Krisis ini tidak hanya merusak satu aset penting dalam kehidupan manusia, yaitu kesehatan. Tetapi juga memiliki dampak yang parah pada kegiatan ekonomi. Banyak analis mengatakan dampak ekonomi dari krisis Covid-19 ini akan mengakibatkan resesi ekonomi dunia yang belum pernah terjadi di masa lalu.
Tidak berlebihan jika Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres mengatakan ini merupakan krisis terburuk setelah perang dunia kedua. Hal ini dapat dilihat dari jatuhnya sektor industri Amerika yang mengalami penurunan produksi yang tajam, terbesar sejak perang dunia kedua. Lonjakan pengangguran warga negara AS yang begitu besar, hingga mencapai 30 juta pada awal Mei 2020 (berdasarkan angka pendaftaran tunjangan pengangguran sejak pertengahan Maret 2020).
Begitu juga dengan kondisi ekonomi negara-negara di Eropa seperti di Perancis dan Jerman yang mengalami kondisi yang buruk pada kwartal pertama 2020, bahkan situasi ini diprediksi akan mengarah pada resesi ekonomi.
Kondisi saat ini berbeda dengan kerusakan ekonomi yang ditimbulkan dari perang dunia kedua. Sejarawan Tony Judt dalam bukunya: Postwar: A History of Europe Since 1945, menggambarkan bahwa kerusakan ekonomi akibat dampak perang saat itu sangat terlihat pada terjadinya kelangkaan rumah tinggal akibat kerusakan yang parah di sejumlah negara.
Kerusakan terparah dialami oleh Jerman (40%), Inggris (30%) dan Perancis (20%). Selain tempat tinggal, kerusakan juga terjadi pada sejumlah infrastruktur transportasi seperti jalur kereta api, jembatan, jalan raya, dan kanal, dimana kerusakan ini memberi dampak yang serius pada pasokan kebutuhan pokok seperti batubara dan makanan.
Krisis Covid-19 ini karenanya memiliki dampak yang parah pada kegiatan ekonomi. IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global mengalami kontraksi tajam hingga -3 persen pada 2020, jauh lebih buruk daripada selama krisis keuangan 2008-09.
Parahnya, situasi bisa bertambah buruk dikarenakan unsur ketidakpastian yang ekstrem pada kondisi perekonomian dunia. Dampak ekonomi akan sangat tergantung pada faktor-faktor yang sulit diprediksi. Seperti misalnya sejauhmana tingkat penyebaran virus dapat dikendalikan, intensitas dan kemanjuran upaya-upaya pembatasan sosial, dampak pada gangguan pasokan, dan sebagainya.
Pandemi virus corona juga berdampak besar pada perdagangan dunia. Penurunan tajam dalam output industri memukul perdagangan barang dan jasa dengan sangat tajam. Oxford Economics memperkirakan perdagangan barang dan jasa dunia akan mengalami penurunan hingga 10-15% pada 2020, lebih besar bila dibandingkan dengan penurunan yang terjadi pada 2009 ketika krisis keuangan global berlangsung. WTO memiliki prediksi yang jauh lebih pesimis dengan membuat perkiraan penurunan dalam ekspor-impor barang dunia yang mencapai 13 – 32 persen.
Krisis Covid-19 diprediksi akan meningkatkan jumlah orang miskin di seluruh dunia. Bank Dunia memperkirakan terdapat 49 juta orang akan terlempar ke dalam kemiskinan ekstrem akibat pandemi covid-19 ini. Sebagian besarnya berada di negara-negara miskin dan berkembang, rumah besar bagi jutaan orang yang hidup di bawah garis kemiskinan dalam standar internasional.
Pada tingkat negara, India, Nigeria dan Republik Demokratik Kongo diperkirakan mengalami peningkatan jumlah orang miskin yang paling banyak, masing-masing 12 juta orang, 5 juta orang, dan 2 juta orang. Negara-negara seperti Indonesia, Afrika Selatan, dan Cina juga diperkirakan terdapat lebih dari 1 juta orang yang masuk dalam kondisi kemiskinan ekstrem akibat Covid-19.
Bagi negara yang memiliki struktur ekonomi yang lebih lemah, mereka harus menghadapi berbagai krisis yang berlapis-lapis yang terdiri dari goncangan kesehatan, gangguan ekonomi domestik, penurunan permintaan eksternal, pembalikan aliran modal, dan jatuhnya harga komoditas.
Negara yang mengandalkan perekonomiannya pada ekspor komoditas, merebaknya pandemi menyebabkan memburuknya prospek ekonomi global yang tercermin dari terus melemahnya permintaan eksternal dan menyebabkan turunnya harga. Kondisi ini akan menguntungkan negara-negara pengimpor, tapi sebaliknya merupakan kerugian besar bagi negara-negara pengekspor. Seperti terlihat pada tren penurunan harga komoditas minyak dunia, minyak sawit dan beberapa komoditas lain.
Perlindungan Kelompok Rentan
Dampak corona virus disease 2019 (Covid-19) terhadap perekonomian membuat semua negara memberikan dukungan stimulus fiskal dan moneter untuk menjaga stabilitas ekonomi. Bagi negara-negara yang memiliki kapasitas institusi dan persediaan dana darurat yang kuat, tersedia ruang bagi pengalokasian anggaran untuk mestimulus ekonomi.
Tetapi bagi negara-negara miskin yang berpendapatan rendah dan menengah, kondisinya menjadi lebih buruk. Mereka pada umumnya memiliki peluang yang lebih kecil untuk menggelontorkan dana besar demi menjaga stabilitas ekonomi dan mengatasi gelombang besar kemiskinan dan pengangguran.
Padahal Negara-negara ini mengalami dampak yang lebih besar dari memburuknya ekonomi oleh sebab terjadi pelarian modal oleh investor yang mencari tempat yang lebih aman, penurunan pendapatan dari kunjungan turis dan perdagangan internasionalnya serta mandeknya roda ekonomi di dalam negerinya.
Tidak bisa dihindari adanya kebutuhan dana yang sangat besar mengatasi situasi ini. Hal ini telah ditangkap oleh lembaga-lembaga kreditor internasional seperti IMF dan Bank Dunia yang menyediakan fasilitas pinjaman untuk mengatasi memburuknya ekonomi di banyak negara. IMF misalnya, pada akhir Maret 2020 telah menerima permintaan fasilitas pendanaan darurat dari 50 negara berpendapatan rendah dan 31 negara berpendapatan menengah.
IMF sendiri memprediksi dibutuhkan dana untuk mengatasi krisis ini hingga USD2,5 triliun, sementara Bank Dunia telah bersiap dengan skema pendanaan jangka panjang sebesar USD160 miliar hingga 15 bulan ke depan.
Meskipun harus menjadi catatan penting, kedua lembaga ini memiliki reputasi yang buruk atas operasi keuangan yang dilakukan di banyak negara pada saat krisis berlangsung. IMF dan Bank Dunia banyak dituding memanfaatkan situasi krisis untuk mendesakkan lebih jauh agenda-agenda liberalisasi ekonomi dalam paket pinjamannya.
Pemerintah Indonesia sendiri telah menyiapkan paket stimulus ekonomi pada kebijakan fiskalnya dengan menyediakan alokasi anggaran sebanyak Rp405,1 triliun, atau sebesar 2,6% dari PDB. Posisi Indonesia sedikit lebih besar dibandingkan China yang mengguyur stimulusnya sebesar 2,5% terhadap PDB nya. Sejumlah negara memberikan stimulus yang lebih besar, diantaranya Jepang (21,1%), Amerika Serikat (11%), Australia (9,9%), Canada (8,4%), Brazil (6,75%), Jerman (4,9%), Argentina (3,5%) dan Rusia (2,8%).
Anggaran sebesar Rp405,1 triliun akan dialokasikan oleh pemerintah untuk sejumlah pos, yaitu pertama, Jaring Pengaman Kesehatan sebesar Rp75 triliun, berupa pengeluaran layanan kesehatan termasuk insentif tenaga medis.
Kedua, Jaring Pengaman Sosial Rp110 triliun untuk program keluarga harapan, program makanan pokok/sembako, pembebasan biaya listrik untuk pelanggan 450 VA selama tiga bulan, insentif perumahan, dan program padat karya.
Ketiga, Jaring Pengaman Ekonomi Rp 70,1 triliun; untuk ekspansi stimulus fiskal kedua dan subsidi bunga kepada debitur KUR, PNM dan Pegadaian. Keempat, Program pemulihan ekonomi nasional Rp 150 triliun; untuk paket stimulus di bidang keuangan.
Program Jaring Pengaman Sosial merupakan instrumen kunci untuk menjaga agar penurunan ekonomi tidak berdampak terlalu besar bagi kehidupan masyarakat, terutama yang berpendapatan rendah. Pendapatan 40% masyarakat Indonesia dengan pendapatan terendah (40% terbawah) diperkirakan mencapai minus 8,2% - 8,6%.
Pada masa sekarang ini, mereka umumnya banyak kehilangan pekerjaan atau pendapatannya menurun drastis akibat kebijakan pembatasan yang diterapkan pemerintah. Kelompok ini yang amat rentan masuk ke dalam kemiskinan yang ekstrem. Umumnya mereka juga tidak bersiap dengan tabungan yang cukup untuk menghadapi krisis, pendapatannya seringkali habis untuk kebutuhan sehari-hari. Sebagian besar masyarakat dalam kelompok 40% terbawah ini bahkan tidak memiliki rekening tabungan atau belum sama sekali mengakses lembaga perbankan.
Stimulus jaring pengaman sosial sendiri terbagi kepada tujuh bidang program. Pertama, penyediaan kartu pra kerja bagi 5,6 juta penduduk; Kedua, program sembako bagi 20 juta Keluarga Penerima Manfaat (KPM). Ketiga, Program Keluarga Harapan dengan target 10 juta KPM. Keempat, program subsidi listrik untuk 31,4 juta KPM. Kelima, Bansos sembako presiden untuk DKI Jakarta 1,3 juta KPM, Botabek 600 ribu KPM. Keenam, Bansos Tunai di Luar Jabodetabek untuk 9 juta KPM. Ketujuh, Bantuan Langsung Tunai Dana Desa untuk 12,3 juta KK penerima manfaat.
Di antara sekian banyak paket kebijakan stimulus ekonomi di atas, belum ada yang mengarah secara spesifik pada perlindungan pasokan dan akses pangan, baik pertanian maupun perikanan. Kesehatan tak bisa disangkal harus menjadi yang utama, tetapi kesehatan yang baik akan sulit dicapai tanpa akses kepada makanan bergizi dan sehat, terutama bagi kelompok yang paling rentan. Kebijakan untuk melakukan penguncian (lockdown) dan karantina sudah pasti akan membatasi rantai pasokan makanan, belanja konsumen, dan daya beli.
Langkah-langkah stimulus ekonomi harus melindungi semua pilar ketahanan pangan (ketersediaan, akses, pemanfaatan, dan stabilitas). Jika selama krisis pandemi COVID-19 ini langkah-langkah stimulus ekonomi tidak memastikan bahwa semua orang setiap saat memiliki akses fisik, sosial dan ekonomi ke makanan yang cukup, aman dan bergizi yang memenuhi kebutuhan makanan mereka dan preferensi makanan untuk kehidupan yang aktif dan sehat, pandemi tidak hanya akan membunuh orang karena penyakit virus, tetapi nyawa akan hilang dan kesehatannya sangat terganggu karena kelaparan.