Mendorong Gerakan Zakat Lebih Inklusif Terhadap Kompleksnya Problem Sosial

Gerakan filantropi Islam perlu terbuka untuk menjawab problem sosial yang semakin kompleks.

Mendorong Gerakan Zakat Lebih Inklusif Terhadap Kompleksnya Problem Sosial
Acara Publikasi “Islamic Philanthropy and Sustainable Developments Goals (SDGs) Program Peace and Justice”

TRADISI mempublikasikan hasil penelitian di kalangan akademisi sebagai bentuk pengabdian kepada masyarakat tidak terbatas pada dunia akademis untuk mewujudkan tri darma perguruan tinggi. Ada banyak ruang untuk melakukan penelitian, satu di antaranya adalah dengan melibatkan komunitas masyarakat sipil dan lembaga amil zakat.

Jangkauan topik penelitian bisa digali dengan melibatkan banyak aspek. Misalnya dengan memberikan kesempatan kepada peneliti-peneliti muda potensial yang sedang kuliah strata satu di beberapa perguruan tinggi. Hal itu diwujudkan  Maarif Institute yang bersinergi dengan Lazismu melalui program Maarif Fellowship (MAF) 2017.

Dari 100 lebih proposal penelitian yang masuk, diputuskan ada 6 peneliti muda yang dinyatakan lolos dan berhak memeroleh dana hibah penelitian dari Lazismu. Para nominasinya terdiri dari: Husna Yuni Wulansari mahasiswi UGM, MK Ridwan mahasiswa IAIN Salatiga, Naomi Resti Aditya mahasiswi UGM, Nurhasanah mahasiswi Universitas Tanjungpura Pontianak, Nurul Iffakhatul Sholihah mahasiswi IAIN Surakarta dan Waskito Wibowo mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Dari enam nominasi itu, dua diantaranya: MK Ridwan mahasiswa IAIN Salatiga, Naomi Resti Aditya mahasiswi UGM, mendapat kesempatan pertama untuk memublikasikan hasil penelitiannya di Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA, Pasar Rebo, Jakarta (11/4/2018) yang didukung oleh Lembaga Kewirausahaan, sosial dan filantropi Islam (LKSFI) FEB Uhamka. 

Publikasi hasil penelitian ini bertajuk “Islamic Philanthropy and Sustainable Developments Goals (SDGs) Program Peace and Justice”. Ketua Lembaga Pengkajian dan Pengembangan al-Islam dan Kemuhammadiyahan (LPP-AIKA), Uhamka, Muhammad Dwi Fajri, mengatakan, hasil dari dua penelitian ini menarik, karena memotivasi mahasiswa-mahasiswi untuk terus berkarya, sehingga dapat ditularkan kepada civitas akademik yang lain untuk menambah wawasan dan pengalaman.

“Wacana ke-Islaman dan perubahan sosial memang perlu mendapat perhatian serius terutama gerakan filantropi Islam secara teori dan praktik,” tuturnya. Fajri menilai, persoalannya sekarang adalah bagaimana memahami Islam dengan cara pandang yang konstruktif agar sumber-sumber rujukan Islam klasik dalam filantropi Islam dapat dikembangkan melalui wacana Islam kontemporer.

Sementara itu, Ketua Badan Pengurus Lazismu, Hilman Latief, sangat mengapresiasi tema-tema penelitian yang digali para nominasi terkait filantropi Islam. Dalam pidato kuncinya, Hilman mengatakan wacana filantropi Islam selalu bersentuhan dengan keadilan sosial. “Akhir-akhir ini, telah menjadi wacana yang kembali menarik, termasuk kesadaran masyarakat sendiri untuk mempertanyakan tentang rasa keadilan sosial yang sampai detik ini terus bergulir,” pungkasnya.

Hilman menambahkan kuatnya kajian tentang keadilan sosial adalah fakta bahwa kesenjangan itu masih ada di sekitar kita. Ini juga pekerjaan rumah bagi gerakan filantropi Islam. Ia menyontohkan ketika seminggu yang lalu Lazismu berkesempatan melakukan Kick Off kegiatan filantropi kesehatan di kepulauan Maluku yang minim akses.

Di lapangan ada kenyataan jika akses kesehatan masih belum bisa dinikmati masyarakat di Kepulauan Mauluku. Puskesmanya ada, tapi tenaga kesehatannya tidak mencukupi, lanjut Hilman. Ada semacam ketidakadilan sosial yang masih dirasakan sebagian masyarakat di sana. 

Sementara isu SDGs tidak hanya kesehatan saja, ada 17 isu utama yang perlu didiskusikan kembali. Dalam temuan penelitian yang dilakukan Hilman Latief beberapa tahun belakangan ditemukan bahwa kemiskinan tidak tunggal. Justeru kemiskinan itu multidimensi, tidak hanya dilihat dari seberapa besar penghasilan seorang individu, tapi seberapa nyaman keluarga menikmati akses kebutuhan dasar. “Masih ada masyarakat yang bisa sekolah, tapi sebagian lain masih ada yang tidak bisa ke dokter,” pungkasnya.

Jadi problemnya masih kompleks, karena itu diperlukan reinterpretasi terhadap pemahaman Islam. Adapun hasil penelitian yang disuguhkan MK Ridwan soal narapidana teroris (napiter) digolongkan menjadi mustahik, adalah salah satu contohnya.

Bagaimana dengan napiter yang tidak memiliki pekerjaan, sedangkan keluarganya dikucilkan. “Maka konsep-konsep kesejahteraan juga menjadi luas. Gerakan filantropi Islam perlu terbuka untuk menjawab problem sosial yang semakin kompleks, karena penerima manfaat zakat juga beragam dan akan terus berkembang,” jelasnya.

Direktur Eksekutif, Maarif Institute, Muhamamd Abdullah Darraz, menuturkan, proses penelitian ini waktunya panjang. Program dua tahunan ini bertujuan untuk memberikan bantuan kepada peneliti muda. Baik yang belum lulus atau baru lulus.

Maarif Institute mengucapkan terima kasih atas bantuan dan dukungan Lazismu. “Tahun ini bisa memperbanyak jumlah penerima peneliti muda yang lolos seleksi,” ungkapnya.

Mereka melakukan riset selama 6 bulan. Kemudian kenapa Maarif Institute mengangkat tema ini terkait SDGs untuk keadilan dan perdamaian. Karena kasus-kasus yang menjadi fokus kali ini menurut amatan kami belum tersentuh oleh gerakan filantropi yang ada. Salah satunya, para napi yang dihukum atas kasus terorisme, jelas Darraz.

Initinya bagaimana kita melihat peluang isu-isu filantropi dapat digali sesuai dengan perkembangan yang ada. Ada banyak gerakan filantropi Islam, hampir semua belum memiliki konsen yang sama untuk melakukan gerakan filantropi sebagai respon atas gerakan radikalisme dan ekstrimisme. “Ketidakadilan sosial yang melatarbelakangi mereka menjadi gerakan radikal, ini perlu dilihat dalam kacamata filantropi Islam,” bebernya.

 [Na/Mrf]