Menanti Gebrakan 100 Hari Mahathir
Mahathir Mohammad terpilih menjadi perdana menteri, setelah koalisi partai oposisi berhasil unggul dalam Pemilu Malaysia. Apakah suksesi politik akan berjalan mulus setelah Anwar Ibrahim keluar dari penjara?

MONDAYREVIEW- Terpilihnya Mahathir Mohammad sebagai Perdana Menteri Malaysia mencuri banyak perhatian. Selain sebagai perdana menteri tertua di dunia, berusia 92 tahun, Mahathir bukan orang baru di Malaysia. Ia menjadi ikon modernisasi Malaysia dan pernah menjabat sebagai perdana menteri terlama dari tahun 1981 hingga 2003.
Sebelum bergabung dengan kelompok oposisi, Mahathir adalah pendiri UMNO, bagian dari koalisi Barisan Nasional, partai penguasa yang telah mengantarkannya pada puncak kekuasaan lebih dari 20 tahun. Tapi, Mahathir meninggalkannya dan memilih menjadi oposisi bergabung dengan Pakatan Harapan, yang dimotori oleh Anwar Ibrahim, mantan seteru politiknya.
Pemilu ke-14 Malaysia pada Rabu lalu, mengakhiri kekuasaan koalisi Barisan Nasional, yang telah berkuasa selama enam dekade. Koalisi oposisi Pakatan Harapan menguasai mayoritas parlemen dengan meraih 113 dari totoal 222 kursi. Kemenangan oposisi juga menandai berakhirnya masa jabatan Nazib Razak, yang telah berkuasa sejak 2009.
Skandal korupsi yang mencuat selama tiga tahun ini, yang diduga melibatkan Perdana Menteri Nazib Razak, salah satu yang melemahkan kepercayaan rakyat Malaysia terhadap partai penguasa ini. Ini pula yang memicu kerenggangan hubungan antara Mahathir dan Najib sejak tahun 2015, sehingga Mahathir meninggalkan partai yang didirikannya, UMNO dan mendirikan partai politik sendiri, yaitu Bersatu. Kemudian, bergabung dengan koalisi partai oposisi.
Sebagian bagian dari kesepakatan, Mahathir akan menjadi Perdana Menteri selama dua tahun. Kemudian, menyerahkan jabatan kepada Anwar Ibrahim, yang saat ini masih menjalani hukuman keduanya karena kasus sodomi. Jika ini terjadi, maka Malaysia akan dipimpin oleh pasangan suami istri, Anwar Ibrahim sebagai Perdana Menteri dan wakilnya adalah Wan Azizah, istrinya sendiri.
Anwar Ibrahim adalah anak didik Mahathir, dan pernah menjadi Wakil Perdana Menteri. Namun, karena perbedan visi, hubungan baik keduanya retak hingga Anwar terpental dari jabatan wakil perdana menteri. Bahkan, Mahathir ikut bertanggungjawab di balik kasus hukum yang menyeret Anwar ke penjara.
Namun, dua tokoh yang berseteru ini akhirnya bersatu untuk mengalahkan Najib Razak dari koalisi partai penguasa. Anwar dan istrinya nampaknya harus berjiwa besar demi kepentingan yang lebih besar. Mereka rela menerima Mahathir yang keluar dari Barisan Nasional dan berkoalisi dengan Partai Keadilan Rakyat.
Wan Azizah, istri Anwar bertindak realistis dan memberi panggung lebih besar kepada Mahathir untuk menjadi calon Perdana Menteri dari kubu oposisi. “Saat ini saya pikir kita harus realistis. Anwar masih berada d penjara. Kita membutuhkan seseorang yang memiliki kredibilitas dan pengalaman untuk memimpin kita,” kata Wan Azizah kepada Channel News Asia.
Sebelumnya, Mahathir juga sudah menunjukan sikap positifnya terhadap Anwar, dan meminta untuk diampuni. “Saya pikir pemerintah harusnya mendorong Raja memberikan pengampunan penuh pada Anwar,” ujar Mahathir seperti dilaporkan The Star, 7 Juli 2017. Kaena, jika Anwar dibebaskan, maka Anwar akan menggantikan posisinya sebagai perdana menteri.
Namun, apakah Anwar dan Mahathir memiliki cara pandang yang sama dalam kebijakan politik dan ekonominya?
Mahathir ketika masih menjadi Perdana Menteri dan mengendalikan UMNO, terkenal dengan politik protektifnya untuk kemajuan puak Melayu. Karena itulah, ia dinilai tokoh politik chauvinistik atas pembelaannya terhadap puak Melayu. Namun, kebijakan inilah yang mampu meredam benturan etnis di Malaysia. Meskipun dinilai diskriminatif, Mahathir mampu mengangkat kekuatan ekonomi puak Melayu, hingga bisa menjaga dan mengendalikan stabilitas sosial dan politik di Malaysia.
Namun, isu etnis ini rupanya tak lagi menjadi kekuatan politik UMNO . Skema kebijakan politik dan ekonomi berbasis etnis sudah kehilangan daya pikatnya. Terbukti, Partai Cina MCA yang menjadi salah satu backbone UMNO lebih cenderung mendukung oposisi. Begitu pula, dengan masyarakat Melayu.
Berbagai media Internasional banyak melaporkan kebijakan ekonomi Mahathir jika terpilih sebagai perdana menteri. Dalam 100 hari kerja, Mahathir berjanji akan menghapuskan pajak barang dan jasa sebesar 6 persen. Pajak yang ditetapkan tahun 2015 ini, dituduh sebagai penyebab meningkatkan beban biaya hidup masyarakat.
Mahathir juga berjanji akan memperkenalkan subsdi bensin, dan meningkatkan royalti minyak ke negara bagian penghasil minyak serta menaikan upah minimum. Mahathir juga berjanji akan meninjau ulang berbagai proyek yang bekerjasama dengan Cina, salah satunya proyek East Coast Rail Link (ECRL) yang menghabiskan dana sebesar 13 miliar dolar AS.
Tentu, masyarakat Malaysia menanti gebrakan Mahathir untuk memajukan Malaysia. Yang tak kalah penting, bagaimana peran Anwar Ibrahim baik pada saat jabatan perdana menteri dipegang Mahathir, maupun suksesi politik setelah dua tahun, yang akan diserahkan kepada Anwar Ibrahim. Lalu, apakah dua tokoh ini benar-benar bersatu dalam semua kebijakan politik dan ekonominya?