Menangkal ‘Virus’ Transnasional dengan Nasionalisasi
Corona dan terorisme meski tak serupa namun keduanya sama saja, adalah produk transnasional yang berlanjut menebar horor ke penjuru dunia.

APA betul semua berawal dari transnasional? Coba kita ambil kasus teranyar, yaitu wabah virus corona. Berawal dari Wuhan, lalu menyebar ke beberapa negara termasuk Indonesia. Banyak negara yang lalu kelabakan melawan virus yang penyebarannya melalui medium dengan menempel ini. Korban yang berjatuhan pun kian hari kian meningkat. Di negeri kita skalanya makin menanjak dengan jumlah yang sudah terpapar corona berjumlah ratusan. Ini ditengara masih terus menanjak. Berbagai cara dilakukan seperti melalui kebijakan kuncitara (lockdown). Beberapa negara bahkan sudah mendahului mewujudkan strategi itu secara total. Akhirnya, Corona ditetapkan sebagai pandemi global dan dunia menyerukan untuk war againts corona.
Kasus sebelumnya yang juga bersifat transnasional adalah keberadaan ISIS yang dideklarasikan pada tahun 2014 oleh Abu Bakar Al-Baghdadi di Suriah. Munculnya ISIS ini telah menyita banyak perhatian masyarakat dunia. ISIS dalam perkembangannya tak hanya bersifat lokal tapi telah menyedot hawa panas bagi masyarakat dunia lain. Berbondong-bondonglah warga dari berbagai negara untuk masuk ke Suriah. ISIS saat jayanya kala itu menjanjikan kehidupan yang Islami dan kemakmuran. Banyak warga dunia yang tersilap, sehingga tanpa banyak pikir mereka berdatangan dengan berbagai cara, baik secara kelompok maupun perseorangan serta biaya mandiri. Termasuk warga Indonesia yang jumlahnya ratusan, bahkan ada yang mensinyalir ada seribuan datang ke sana. Maka slogan war againts terrorism yang dikampanyekan sejak paska serangan WTC di New York 2011 hingga detik ini masih terus bergema.
Ya terbuktilah corona dan terorisme adalah produk transnasional yang berlanjut menebar horor ke penjuru dunia. Serbuan kedua ‘virus’ tersebut telah membuat dunia panik. Masyarakat tak urung lagi menjadi was-was. Saat ini, kita saksikan betapa corona telah merengsek kenyamanan negeri kita. Pendekatan social distancing menjadi pilihan yang strategis dengan menghindar dari kerumunan dan mengisolasi diri di rumah.
Selayak corona, jauh-jauh hari masyarakat kita merasakan pedihnya serangan terorisme yang berkali-kali menghantam ketenangan masyarakat. Negeri yang damai dan tempat berhimpunnya berbagai etnis, agama dan kepercayaan yang selama ini hidup dalam toleransi dan kedamaian, tiba-tiba dihentak dengan beragam aksi terorisme. Dari serangan bom bunuh diri (isytsyhad) hingga senjata kunai (ightiyalat) telah mempertontonkan kengerian tiada tara. Keadaan makin ngilu dengan munculnya ISIS di Timur Tengah yang lalu menjelajah pengaruhnya di negeri kita. Bagi pendukungnya, mesianisme munculnya kembali kekhalifahan telah menampang di ambang pintu dan karenanya harus disambut dengan militan. Seiring waktu, kelompok-kelompk garis keras yang berafiliasi ke ISIS seperti Jamaah Anshorud Daulah (JAD) melancarkan aksi terornya secara independen melalui pembentukan sel-selnya yang berserakan dan tanpa komando (bi ghoiri tandzim).
Namun kini, ISIS telah runtuh. Runtuhnya kekhalifahan ISIS di Irak dan Suriah selain membuat lega masyarakat dunia, juga membuat kelimpungan banyak negara. Pasalnya, tidak sedikit warga negara di belahan barat dan timur yang ketimpa dilema, memulangkan atau membiarkan. Termasuk Indonesia yang warganya masih terlunta di Suriah. Belum tuntas pemerintah memutuskan kebijakannya, tetiba serangan corona melantakkan kedamaian masyarakat. Terlupakan sejenak kasus pemulangan WNI eks Suriah ini, negeri kita masih harus bertarung melawan ‘terorisme baru’ berwujud ‘virus transnasional’ yaitu corona.
Menasionalisasi Wabah
Lalu bagaimana dengan WNI eks Suriah yang sudah kadung mukim di Indonesia? Untuk yang masih di Suriah dan menjadi pengungsi yang jumlahnya ada 600-an sejenak kita lupakan. Kita menunggu kebijakan pemerintah. Sebagaimana data yang ada, sudah ratusan jumlahnya WNI eks Suriah yang pulang ke Indoensia selama beberapa tahun ini. Jumlah yang tak bisa dibilang sedikit. Fakta ini tentu memerlukan pemikiran dan tindakan yang serius.
Upaya yang perlu digencarkan adalah ‘menasionalisasi’ WNI eks Suriah yang sudah pulang di Indonesia. Model lazimnya adalah dengan deradikalisasi. Memang ada beberapa tipologi WNI eks Suriah ini. Tidak bisa disamaratakan bahwa semuanya menjadi petempur. Ada yang tujuannya ‘sekuler’ seperti mencari penghidupan ekonomi yang lebih baik, belajar dan kepentingan pragmatis lainnya. Bagi tipe seperti mereka ini, tentu ada pembedaan dalam terapinya.
Tipe ‘korban’ rayuan ISIS tak sedikit jumlahnya yang menimpa WNI eks Suriah. Mereka ini tadinya ‘perindu mimpi kekhalifahan’, kemudian setelah hijrah dari negerinya, terbelalak dengan keadaan yang sebenarnya. Ternyata tak seindah mimpi yang pernah dibayangkan. Mereka termakan bujukan maut tentang indahnya negeri berdaulat kekhalifahan sembari merujuk pada teks yang mereka pahami dengan sangat sempit. Ayat-ayat ‘akhir zaman’ yang begitu militan didakwahkan oleh para dai semakin membuat ‘mata gelap’ untuk segera bersimpuh ke pangkuan kekhalifahan yang semu.
Bila disidik, hingga kini pun, memang masih tak sedikit warga negara kita yang masih penasaran dengan ‘Bumi Syam’. Mereka ini ada yang berstatus ‘deportan’, yaitu mereka yang ingin pergi ke Suriah semasa ISIS namun terhadang dan akhirnya terdampar di Turki dan lalu dipulangkan paksa ke Indonesia. Padahal mereka sudah menjual harta bendanya bahkan rumahnya harus rela dijual demi bekal eksodus ke Suriah. Ada juga yang belum sempat pergi dan hanya termangu mendengarkan pengajian-pengajian dari ustadz-ustadz yang terus menggelorakan untuk hijrah ke ‘negeri impian’ dengan mengudar tafsir piciknya tentang ayat-ayat akhir zaman.
Sementara, bagi mereka yang sudah menginjakkan kakinya di Suriah dan hidup bersama ISIS hingga bertahun-tahun, tersadarkan oleh kondisi nyata yang penuh tragedi dan trauma. Terlebih setelah ISIS lintang pukang dihajar pasukan koalisi, para serdadunya mencari tempat lain untuk melakukan serangan kecil-kecilan, bahkan ada yang direkrut al-Qaeda yang kini kembali bangkit di Suriah. Mereka ini yang biasa disebut ‘returnis’ dan mereka banyak yang sadar atas kekeliruannya.
Tak pelak, dalam kasus wabah terorisme, telah menyingkapkan ulang betapa ‘idiologi’ transnasional telah membuat masyarakat negeri lain kalang kabut. Idiologi yang berbalur kekerasan seirama sebagai ‘virus’ yang bila menjangkiti seseorang perlu dengan sigap dinetralisasi. Seperti halnya wabah corona yang memunculkan alternatif pendekatan. Di negeri kita, misalnya ada tawaran untuk lebih banyak mengkonsumsi kudapan jamu tradisional. Kalau di India, warga Hindu sampai harus meminum air kecing sapi untuk menangkal corona. Demi mengisolasi, juga dilakukan berbagai cara tak hanya standar ilmiah, tapi juga pendekatan agama. Arab Saudi misalnya menutup sementara umrah, melarang jamaah di masjid dan lainnya. Di Indonesia, warga muslim juga mendapatkan panduan MUI untuk sementara waktu bisa tidak berjamaah di masjid, bahkan untuk shalat jumat. Semua ini demi menghindari interaksi masyarakat yang rawan terjadinya penularan corona. Tentu ini sah-sah saja sebagai bagian dari resielence dan survive manusia melawan pagebluk yang tengah mendera. Begitupun dalam menetralisasi radikalisme, ada berbagai ‘ramuan’ yang disiapkan. Maka ada metode deradikalisasi dan disangagement yang masing-masing menititikfokuskan pada strategi penyembuhan idiologi maupun melepas sejenak idiologi melalui aktivitas bantuan ekonomi dan lainnya.
Terkait WNI eks Suriah tentu semua pihak perlu kerja ekstra. Program yang perlu dilakukan sepatutnya perlu lebih inovatif. Menasionalisasi mereka diantaranya perlu pendekatan literasi. Mereka yang tersihir oleh ISIS lalu berangkat ke Suriah tak bisa dilepaskan oleh faktor kurangnya pendalaman literasi. Mereka mudah termakan promosi di internet yang digencarkan oleh ISIS. Mereka lebih banyak membaca narasi-narasi dangkal dan instan, tanpa pendalaman sehingga hilang daya kritis. Buku-buku babon tentang keislaman yang mencerdaskan tidak pernah dijamah oleh mereka. Tehnologi internet yang bisa dibaca cukup dengan memencet gawai membuat mereka ini tambah enggan untuk menggeluti kajian keislaman yang lebih holistik melalui pembacaan buku-buku yang mu’tabar (otoritatif). Fakta memprihatinkan ini memang tidak kasuistik terjadi pada mereka yang WNI eks Suriah, tetapi menjadi fakta umum masyarakat kita. Terbukti, banyak dari berbagai kalangan masyarakat yang mudah sekali terpapar radikalisme. Ditengah situasi ‘post truth’ dimana fakta bisa dibolak-bali dan ‘digoreng’ demi kepentingan tertentu, radikalisme menjadi mudah melesak pesat dan menancap. Sementara itu, para mentor radikal baik offline maupun online berhasil memainkan kedangkalan pengetahuan audiennya dan lalu dicekoki dengan ‘pengetahuan picik’ yang mendorong pada kebencian.
Menderadikalisasi para WNI eks Suriah yang sudah mukim di beberapa daerah ini diharapkan tidak sekedar berpangku pada kelaziman. Kita perlu melakukan pendekatan yang out of the box. Menyimak hasil penelitian James M. Lutz dan Brenda Lutz dalam Global Terrorism (2004) mengungkapkan bahwa dalam menangani terorisme tidak ada teknik atau pendekatan counterterrorist yang tunggal, oleh sebab radikalisme jauh lebih kompleks dari sekedar satu pendekatan. Ini menjadi tantangan sekaligus peluang bagi Indonesia untuk terus mengembangkan inovasi deradikalisasi yang tepat guna dalam mencari solusi terhadap penanggulangan radikalisme.
Sinergi Bersama Masyarakat
Disisi lain, perlu pula adanya sinergi yang tidak hanya dengan institusi pemerintah terkait. Masyarakat sangat penting diberikan pemahaman untuk mau menerima dan kemudian terlibat aktif dalam upaya mengembalikan WNI eks Suriah ini pada pangkuan NKRI. Dalam penelitian, WNI eks Suriah yang sudah tinggal di negeri kita lebih banyak mereka yang motivasinya ke Suriah dulunya untuk tujuan praktis bukan idiologis. Mereka inilah yang bisa lebih mudah diluruskan pemahamannya dan lalu diperkuat kebangsaannya. Ratusan WNI eks Suriah ini kebanyakan juga masih menyembunyikan diri. Ini lantaran ‘kecemasan’ mereka dari kecaman atau bahkan aksi dari masyarakat. Mereka sebenarnya bukan Isiser, tapi justru penyintas yang dirusak oleh ISIS. Disinilah perlunya masyarakat menerima mereka dan terlibat untuk ‘memasyarakatkan’ kembali mereka.
Menyitir Ian Chalmers dalam Countering Violent Extremism in Indonesia: Bringing Back the Jihadists (2017), deradikalisasi yang sukses lebih mungkin dimana penekanan ditempatkan pada tindakan berbasis masyarakat. Masyarakat lebih ‘bertaring’ dibanding aparat atau instansi pemerintah. Deradikalisasi yang dilakukan oleh kekuatan masyarakat oleh sebab bisa lebih mudah mendekati eks jihadis dan lalu mengajak mereka berkawan selanjutnya melakukan kegiatan yang bermanfaat.
Nah, upaya menjinakkan ‘virus transnasional’ bersosok radikalisme ini bisa dilakukan melalui pencegahan, penangkalan dan moderasi. Inilah upaya menasionalisasi kembali terhadap pengaruh paham transnasional yang merasuk ke sebagian masyarakat. Dulu begitu mereka terjangkiti, hilang sudah ingatan mereka terhadap Bumi Pertiwi. Mereka lupa kalau mereka lahir, tumbuh, beraktifitas bahkan mungkin mati di Bumi Pertiwi. Jadilah mereka ‘anak durhaka’ terhadap Ibu Pertiwi yang mengandung dan membesarkannya. Kini saatnya kita ‘nasionalisasi’ dengan mengembalikan mereka untuk berbakti pada Ibu Pertiwi.