Memecah Ombak Koalisi Prabowo

Dalam sistem presidensial, koalisi adalah realitas politik.

Memecah Ombak Koalisi Prabowo
Prabowo Subianto dan sejumlah elite parpol pendukung Anies-Sandi.

SEUMPAMA ombak, begitulah kekuatan koalisi politik yang sebetulnya bisa dibangun di luar kekuatan kubu Jokowi dari partai-partai yang saat ini belum juga menentukan sikapnya. Baik Gerindra, PKS, PAN, PKB, dan Demokrat, ditenggarai akan memiliki daya dorong yang kuat untuk menantang Sang Petahana.

Tak hanya satu penantang, dari kekuatan tersebut sebetulnya bisa muncul dua kekuatan. Gerindra dengan SBY sebagai pusaran pertama, dan Demokrat dengan SBY sebagai pusaran kekuatan politik kedua.

Seandainya dua pusaran kekuatan tersebut dapat terbentuk, maka bukan soal beragamnya pilihan sesuai visi masing-masing personal saja, namun juga soal kualitas demokrasi kita. Akan ada proses dimana potensi keterbelahan masayarakat sedikit memudar. Pun demikian dengan dinamika kontestasinya, niscaya lebih kreatif dan sportif.

Sayangnya, kemungkinan itu mulai kecil. Lantaran ada upaya-upaya yang disebut Sun Tzu, bahwa “Keunggulan Agung terdiri dari memecah perlawanan musuh tanpa pertempuran.” Meski baru sebatas analisa dangkal, namun cukup menggelitik nalar.

Belum hilang dalam ingatan publik, bagaimana kemudian pertemuan Tim 11 Alumni 212 dengan Presiden Jokowi ternyata bocor ke tengah publik. Tim 11 Ulama 212 pun sampai harus menyampaikan klarifikasinya dalam sebuah konferensi pers di Restoran Larazeta, Jakarta, rabu (25/4/2018).

Tim 11 Ulama Alumni 212 pun membenarkan telah melakukan pertemuan tertutup dengan Presiden Joko Widodo di Istana Bogor pada Minggu (22/4/2018). Ketua Tim 11 Ulama Alumni 212, Misbahul Anam mengungkapkan, pertemuan itu bertujuan untuk menyampaikan informasi akurat terkait kasus-kasus kriminalisasi para ulama dan aktivis alumni 212.

“Pertemuan tersebut diharapkan agar Presiden mengambil kebijakan menghentikan kriminalisasi ulama dan aktivis 212, serta mengembalikan hak-hak para ulama dan aktivis 212 korban kriminalisasi sebagai warga negara,” ujar Misbahul dalam konferensi pers di Restoran Larazeta, Jakarta, Rabu (25/4/2018).

Menurut Anam, para ulama dari Tim 11 yang hadir pada waktu itu juga telah menyampaikan berbagai harapan dan penjelasan terkait masalah kriminalisasi ulama dan aktivis 212 secara apa adanya. Ia menyesalkan bocornya foto dan berita pertemuan itu. Anam menduga ada pihak ketiga yang ingin mempertentangkan Presiden Jokowi dengan alumni 212.

Tak lama setelah itu, giliran para petinggi PKS yang dikabarkan bertemu Presiden Jokowi. Kabar pertemuan ini muncul ke permukaan justru diungkapkan Presiden Jokowi sendiri dalam acara Mata Najwa di Trans 7, Rabu (25/4) malam. Jokowi mengaku pernah bertemu dengan PKS secara tertutup.

Ketua DPP PKS, Al Muzzamil Yusuf, membenarkan pertemuan antara petinggi PKS dengan Presiden Jokowi sebanyak dua kali secara informasl. Namun Al-Muzzamil tidak menjelaskan waktu pertemuan itu berlangsung.

“Benar Presiden Jokowi bertemu dengan ketua Majelis Syuro PKS Salim Segaf Al-Jufri, kalau tidak salah pertemuan informal dua kali,” kata Al Muzzamil di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (26/4).

Pertemuan tersebut, menurut Al Muzzamil merupakan hal biasa karena Jokowi sebelumnya juga melakukan pertemuan dengan para petinggi partai politik termasuk Partai Gerindra. Menurutnya, pertemuan tersebut membicarakan arah koalisi ke depan. Namun PKS menyatakan dalam posisi sebagai oposisi dan hal ini pun seudah dibicarakan dengan Gerindra.

Kalau pun pertemuan-pertemuan itu benar terjadi, sesungguhnya tidak selamanya juga menjadi preseden buruk. Sebaliknya, manuver-manuver tersebut dapat pula menjadi penanda bahwa, penguatan sistem presidensial memberi efek yang positif. Yakni runtuhnya ‘sekat-sekat ideologis” yang selama ini menghambat kemajuan demokrasi.

Dalam sistem presidensial, koalisi adalah realitas politik. Dengan partai apa pun koalisi menjadi mungkin direaliasikan. Yang terpenting, suara konstituen tak dilupakan. Karena suara rakyat, adalah suara Tuhan. Di posisi manapun, baik pemerintahan maupun oposisi pemerintahan, suara rakyat menjadi acuan.

[Mrf]