Mengelola Pendidikan di Tengah Pandemi
Jika berurusan dengan masa depan, kita harus berpikir. Tanpa berpikir kita tidak akan pernah mendapat informasi yang sempurna. Edward de Bono.

ADA banyak orang yang beranggapan bahwa kemampuan berpikir kreatif erat kaitannya dengan kecerdasan. Karena itu seorang genius secara otomatis pula memiliki kecerdasan berpikir kreatif dan kritis. Padahal, hubungan keduanya lebih seperti hubungan mobil dan pengendaranya.
Sebagus apa pun sebuah mobil, tapi jika dikendarai oleh orang yang tak berpengalaman, maka hasilnya akan buruk pula. Sebaliknya, bisa jadi mobil yang nampak tidak bagus justru bisa dikendarai dengan baik karena pengendaranya telah berpengalaman.
Pun demikian sejatinya kecerdasan, yang merupakan suatu potensi. Dimana keterampilan berpikir akan menentukan bagaimana kecerdasan itu digunakan. Edwar de Bono adalah seorang psikolog, dokter dan penulis asal Malta, ia mendefinisikan berpikir sebagai, ‘keterampilan mental yang memadukan kecerdasan dengan pengalaman.
Edward menjelaskan, banyak orang cerdas di muka bumi seringkali berpegang pada pendapat atau teori tentang subjek tertentu, lalu menggunakan kecerdasannya untuk mempertahankan pendapat tersebut. Karena merasa bisa mempertahankan pendapat itu dengan baik, lalu mereka pun tidak merasa perlu untuk mengeksplorasi subjek tersebut lebih jauh dan mendengarkan pandangan alternatif lain.
Pun demikian keyakinan banyak guru, peserta didik, insutitusi sekolah atau bahkan kementrian kebanyakan di manapun, termasuk di Indonesia. Kecerdasan tidak lantas mendorong orang untuk melakukan kajian lebih mendalam, alih-alih terjebak dalam kecerdasan yang dimilikinya.
Apalagi dalam situasi pagebluk corona seperti saat ini, dimana pendidikan terlihat banyak exuse yang sadar atau pun tidak mengancam kualitas pendidikan bangsa di masa depan.
Hasil Pendidikan
Enggartiasto Lukita adalah Mantan Menteri Perdagangan, dan Ketua Umum Alumni Universitas Indonesia (IKA UPI), dalam acara Webinar bertajuk “Pendidikan Tinggi dan Iptek: Membangun Kemandirian dan Daya Saing Bangsa, Sabtu (20/6) menuturkan lembaga pendidikan berperan memberikan solusi untuk masalah apa pun yang dihadapi.
“Sebagai tempat ilmu pengetahuan dikembangkan dan sumber daya manusia atau SDM ditempa, lembaga pendidikan berperan tidak saja memberikan solusi untuk masalah yang dihadapi, tetapi juga menyiapkan generasi unggul yang siap membawa bangsa ini keluar dari situasi sulit,” kata Enggar.
Perlu diingat, ungkap Enggar, bahwa masa depan bangsa sangat bergantung pada hasil pendidikan. Enggar juga mengatakan, jika hal itu juga berperan besar dalam menghadapi situasi sulit akibat pandemi Covid-19.
“Bagaimana kita sekarang berpikir untuk melakukan hal yang kreatif. Masa depan bangsa sangat bergantung pada hasil pendidikan kita. Saya berharap, perguruan tinggi dan lembaga pendidikan lain lebih membekali anak didik untuk masuk dan menghadapi situasi yang makin lama makin sulit,” kata Enggartiasto.
Menurut mantan Menteri Perdagangan yang akrab disapa Enggar itu, pandemi telah mengubah wajah dunia. Di hampir semua lini, keadaan tidak lagi sama dengan sebelumnya. Baik di sektor pendidikan, ekonomi, maupun budaya. Sudah tentu, kata dia, kondisi yang berubah mendatangkan masalah-masalah baru yang tidak bisa dijawab dengan pendekatan dan cara lama.
Dibutuhkan pendekatan baru, yang lahir dari kreativitas dan inovasi, dan itu harus muncul dari lembaga pendidikan. Karena dari lembaga pendidikanlah ilmu pengetahuan dikembangkan dan sumber daya manusia disiapkan.
"Satu hal yang pasti. Sebelum pandemi kita semua disibukkan dengan satu kondisi bagaimana Revolusi Industri 4.0. Sekarang akibat dari pandemi, kita melakukan percepatan digitialisasi di semua aspek. Saya ingin mengajak tidak bicara teknologi semata, tapi menjadikan teknologi itu sendiri sebagai mindsite,” kata Enggar.
Teknologi sebagai mindsite, kata Enggar, artinya tidak sekadar bicara teknik pembuatan peralatan mesin, tetapi lebih dari itu adalah bicara pemanfaatan ilmu pengetahuan untuk meningkatkan makna dan kualitas hidup karena kemajuan teknologi tidak bisa hanya dengan mengejar keterampilan teknik.
Yang paling penting justru penerapan pola pikir dan wawasan yang sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan.
“Jika kita lihat tabel dari Word Economic Forum, maka semua itu tidak ada mata kuliahnya, tidak ada pelatihannya, melainkan mindset yang terbangun dari interaksi dan atmosfer pendidikan yang kondusif,” kata Enggar.
Menurut dia, sejauh ini perguruan tinggi dan lembaga pendidikan lain di Indonesia cukup baik dalam beradaptasi dengan pandemi.
Misalnya, hampir semua sekolah saat ini melakukan proses belajar mengajar secara online atau daring. Di tingkat perguruan tinggi lebih membanggakan lagi yaitu, lahirnya sejumlah inovasi berupa alat-alat kesehatan seperti alat rapid test dan ventilator, yang diproduksi oleh perguruan tinggi bekerja sama dengan industri.
Kerja sama itu nantinya tidak sebatas menciptakan produk tetapi juga saling mengisi dalam penciptaan sumber daya manusia yang unggul.
Tentu kerja sama akan terjadi jika keduanya saling mengisi. Perguruan tinggi, misalnya mengisi sumber daya dan knowladge, yang memang dibutuhkan dalam industri. Jika perguruan tinggi tidak mampu mengisi itu, maka sudah tentu industri tidak bisa menyerap atau menjalin kerjasama dengan perguruan tinggi.
Enggar menyarankan semua perguruan tinggi punya keunggulan dalam bidang tertentu. Misalnya, Institut Pertanian Bogor unggul dalam bidang pengetahuan dan SDM pertanian. Dengan demikian industri perikanan yang butuh pengembangan SDM dan riset, maka ia tahu harus bekerja sama dengan IPB.
“Dengan adanya keunggulan dalam bidang khusus, maka ada keterkaitan dengan industri. Keterkaitan ini sangat bagus untuk pengembangan ekonomi dan menjadikan daya saing bangsa ini tinggi,” kata Enggar.
Selain itu, hal lain yang juga harus ditumbuhkan di perguruan tinggi adalah sikap kritis dan kemampuan problem solving. Sebab perguruan tinggi bukan balai latihan yang hanya memasok tenaga kerja.
Sebaliknya, ia harus mampu mencetak orang-orang cerdas yang melahirkan temuan-temuan baru, sehingga tidak saja membuka lapangan kerja baru, tapi juga membuat bangsa ini mandiri.
“Karena itu, kita jangan hanya berhenti pada kurikulum dan persoalan “link and match” dengan industri, melainkan juga membangun lingkungan untuk tumbuhnya kemapuan-kemampuan seperti complex problem solving, critical thinking, fair judgement dan creativity. Saya ambil perspektif ini karena latar belakang saya pengusaha, terus masuk politik, dan sempat di pemerintahan. Jadi lebih ke kebutuhan nyata di lapangan,” katanya.
Keterampilan Abad 21
Indonesia sendiri dalam hal ini Kemendikbud sebetulnya telah mengembangkan gagasan mengenai pentingnya pembelajaran dengan keterampilan abad 21 yang berorientasi higher order thinking skills (HOTS) yang mengacu pada kerangka konseptual sebagaimana dikemukakan oleh Partnership of 21st century skills.
Gagasan tersebut secara konseptual kemudian dituangkan ke dalam Kurikulum 2013. Dari gagasan inilah kemudian, pada tahun 2017, salah satu domain P21 yakni 4 Cs diadopsi dan melahirkan tuntutan untuk memasukan domain tersebut ke dalam rencana pelaksanaan pemeblajaran (RPP) pada implementasi Kurikulum 2013.
Tentu saja, upaya ini bukan tanpa kritik. Misalnya soal apakah hanya domain 4C ini saja yang harus diadopsi, kenapa lainnya tidak. Atau dalam konteks yang lebih luas, apakah pengadopsian model kurikulum seperti ini sesuai dengan karakteristik Indonesia dan sebagainya.
Kritik-kritik tersebut muncul, terutama setelah adanya fakta bahwa pasca pelaksanaan Ujian Nasional tahun 2017-2018, para siswa didik maupun, guru maupun tenaga pendidik lainnya merasakan ada kesulitan yang luar biasa ketika menjalani ujian. Mayoritas pelajar kita sangat tidak akrab dengan jenis soal bertipe higher order thingking skills ini.
Disinilah problem utamanya, sekolah-sekolah kita untuk sekian lama kadung terbiasa memberikan soal-soal mudah kepada peserta didiknya. Padahal, jika pekerjaan berpikir terlalu mudah, maka bukankah kita tak perlu berpikir sebetulnya. Lebih lanjut, kita tidak merasa telah mencapai level tertentu, bahkan tak merasakan belajar apa-apa.
Padalah, kita sama-sama tahu, bila di hampir semua pengembangan keterampilan (olahraga, musik, atau memasak), kita melakukan tugas dimana tingkat kesulitannya terukur. Maksudnya adalah tugas-tugas itu kita kerjakan. Tapi untuk sampai pada level keterampilan paling tinggi, atau expert kita perlu berlatih meningkatkan keterampilan yang kita miliki. Semakin kita mahir, maka semakin pula kita memiliki rasa kepercayaan diri.
Kualitas pemikiran para peserta didik dengan demikian akan ditentukan oleh kualitas kegiatan belajarnya di sekolah. Jika ia terbiasa berpikir tingkat tinggi dengan melibatkan berbagai proses berpikir yang diterapkan pada ragam situasi dengan kerumitan masing-masing, maka ia akan mampu meghadapi situasi dunia nyata yang menawarkan banyak variable.
Dalam konteks pendidikan saat ini, maka dengan model pembelajaran abad 21, yang menuntut untuk melakukan revolusi berpikir, maka peserta didik di masa depan akan mudah memecahkan masalah yang dihadapi. Kuncinya, pendidikan harus dikelola oleh orang-orang yang tak hanya cerdas, namun juga berpengalaman. Karena pengalaman adalah guru terbaik.