Konflik Agraria dan Kuasa Oligarki

Memimpikan negara yang bebas dari cengkeraman oligarki adalah keinginan kita semua sebagai rakyat. Namun jalan ke sana masih sangat panjang. Yang jelas harapan mesti dipelihara, perjuangan mesti dijalankan.

Konflik Agraria dan Kuasa Oligarki
Sumber gambar: kalteng.antaranews

MONDAYREVIEW.COM – Nasib malang menimpa Hermanus, seorang aktivis agraria asal Sampit yang memperjuangkan kepemilikan lahannya. Nyawanya harus melayang di tengah penahanan yang dilakukan polisi. Selama berada di tahanan, Hermanus menerima beragam siksaan fisik yang tubuhnya semakin lemah. Hermanus sudah mengeluh sakit selama proses peradilan. Dia bahkan sudah memakai kursi roda karena tidak bisa lagi berjalan. Dia harus meregang nyawa di RSUD Sampit pada 26 April 2020 yang lalu.

Tersisa dua orang kawan dari Hermanus, Dilik dan James Watt namanya. Mereka berdua divonis 8 bulan untuk Dilik dan 10 bulan untuk James Watt atas dakwaan pencurian kelapa sawit. PT. Hamparan Masawit Bangun Persada (HMBP) menjadi pihak yang dirugikan oleh para petani tersebut. Di luar kasus pencurian tersebut, sudah terjadi konflik agraria antara petani dan PT. HMBP.

Menurut Bama Adiyanto penasehat hukum Dilik dan James Watt yang mengawal kasus ini sejak awal, sengketa lahan terjadi saat PT HMBP menggarap lahan melampaui hak guna usaha (HGU). Sengketa lahan terjadi di Desa Penyang, Kecamatan Telawang, Kabupaten Kotawaringin Timur Provinsi Kalimantan Tengah. HMBP memperoleh izin konsesi dari pejabat pelaksana Bupati Kotawaringin Timur, Suandi seluas 8.200 hektar pada 13 September 2003. Ketika izin sudah keluar, HMBP mulai melakukan pembersihan lahan (land clearing), kebetulan salah satu yang terkena pembersihan lahan adalah milik warga Desa Penyang seluas 117 hektar.

Warga Penyang menolak lahannya diambil alih oleh HMBP. Mereka mendorong panitia khusus yang disebut oleh DPRD Kotawaringin Timur melakukan pengukuran ulang. Setelah diukur, ternyata didapati 1.726 hektar tanaman sawit di luar HGU, 117 hektar milik masyarakat Desa Penyang. Hasil gelar kasus yang diadakan Badan Pertanahan Nasional juga menyatakan bahwa tanah Desa Penyang di luar tanah garapan HMBP. Oleh karena itu HMBP harus mengembalikan tanah milik masyarakat Desa Penyang yang selama ini telah digarap. Keputusan ini didukung oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM).

Pada 2 September 2019, warga memberikan kuasa tertulis kepada James Watt dan tiga orang lainnya untuk pengambilan 117 hektar itu. Pada 15 Oktober 2019, pihak perusahaan mengeluarkan surat yang berisi bersedia untuk menyerahkan atau memitrakan 117 hektar tanah tersebut. Surat ini menurut warga menjadi pernyataan resmi bahwa warga sudah bisa mengambil kembali lahan mereka.

Menariknya, sebelum mendampingi warga Penyang, James Watt pernah juga mendampingi warga Bangkal Kabupaten Seruyan. Karena kemampuannya mengkonsolidasikan massa, maka warga Penyang percaya James dapat membantu mereka. Persoalan terjadi tatkala James Watt dan masyarakat mengadakan panen massal di lahan mereka. Aksi panen massal ini bentuk aksi perlawanan kepada HMBP yang tak kunjung menyerahkan lahan mereka. HMBP melaporkan James dengan tuduhan memprovokasi masyarakat.

Menyusul James, dua petani Sampit yang bernama Hermanus dan Dilik ditangkap polisi. Awalnya kasus ini masuk ranah perdata, namun akhirnya bergeser ke ranah pidana. Sebelum ditangkap, James sempat pergi ke Jakarta untuk mengadukan kasus sengketa lahan kepada WALHI. Namun polisi menyusulnya ke Jakarta untuk ditangkap. Yang menarik polisi mengubah tuduhan perdata menjadi pidana, James dan kawan-kawannya dituduh mencuri buah sawit! Pada akhirnya hasil peradilan memvonis James dan Dilik harus dihukum tahanan penjara.

PT. Hamparan Masawit Bangun Persada (HMBP) merupakan anak perusahaan milik Best Agro International, sebuah perusahaan sawit raksasa milik keluarga Tjajadi yang tinggal di Surabaya. Perusahaan itu dipimpin oleh Winarto dan Winarno Tjajadi dengan Robby Zulkarnaen sebagai direkturnya. Saking kayanya, sebagian masyarakat menjuluki Tjajadi sebagai “Crazy Rich Surabaya”, sebuah plesetan dari film yang booming di Indonesia “Crazy Rich Asian”. Namanya mendadak populer karena pesta pernikahan anaknya yang super mewah.

Apa yang dialami oleh James Watt dan Dilik merupakan resiko saat berhadapan dengan oligarki. Sudah bukan rahasia lagi, negara kita hari ini berada dalam cengkeraman tangan-tangan oligarki yang mampu berbuat sesuka hati. Yang paling banyak menjadi korban dari oligarki ini adalah rakyat kecil yang mengalami perampasan atas apa yang menjadi haknya. Pemerintah sebagai pemegang otoritas seharusnya berpihak kepada rakyat yang memberikannya mandat. Namun praktiknya seringkali pemerintah lebih berpihak kepada oligarki yang mengguyuri dengan uang.

Memimpikan negara yang bebas dari cengkeraman oligarki adalah keinginan kita semua sebagai rakyat. Namun jalan ke sana masih sangat panjang. Yang jelas harapan mesti dipelihara, perjuangan mesti dijalankan.