Memaknai Kemenangan Iedul Fitri di Tengah Pandemi
Perayaan Hari Raya Iedul Fitri atau Lebaran tahun ini terasa begitu berbeda dibandingkan lebaran di tahun-tahun sebelumnya. Lebaran kali ini terpaksa kita rayakan di tengah pandemi virus corona (Covid-19).

PERAYAAN Hari Raya Iedul Fitri atau Lebaran tahun ini terasa begitu berbeda dibandingkan lebaran di tahun-tahun sebelumnya. Lebaran kali ini terpaksa kita rayakan di tengah pandemi virus corona (Covid-19).
Semenjak pertengahan Maret hingga saat ini, berbagai upaya pencegahan dan pemutusan rantai penyebaran Covid-19 telah dilakukan. Salah satu upaya tersebut adalah kebijakan Pembatasan sosial Berskala Besar atau PSBB. Akibatnya, semua orang terkunci di rumahnya, banyak tradisi ‘khas’ Ramadhan dan lebaran tetiba hilang.
Sholat Iedul Fitri dan tarawih yang biasanya dilakukan berjamaah di masjid, akhirnya hanya bisa dilakukan di rumah saja. Tak ada lagi takbir keliling untuk menyambut lebaran, open house yang menandai permohonan maaf, apalagi ‘Mudik’ yang memang sudah jelas-jelas dilarang sejak PSBB diberlakukan.
Dengan segala keterbatasannya, Lebaran kali ini ternyata mengingatkan kita tentang arti lain sebuah kemenangan. Bahwa kemenangan tak mesti harus kita maknai dan rayakan dengan hingar bingar; baju yang serba baru, makanan melimpah, atau kembang api yang meletup-letup untuk memaknai kemenangan.
Hari Raya, Lebaran, atau Kemenangan ternyata bisa dirasakan dalam situasi paling sederhana sekalipun, yaitu dengan hati yang penuh syukur. Dalam situasi dan kondisi seperti sekarang, mungkin kita bisa bercermin kepada Sayyidina Ali bin Abi Thalib yang merayakan Lebaran secara sederhana.
Syahdan, suatu hari pada saat Hari Raya Iedul Fitri seseorang berkunjung ke rumah Sayyidina Ali. Betapa kagetnya sang samu, karena mendapati Sayyidina Ali sedang memakan sepotong roti nan keras. Lantas si tamu pun berkata, “Dalam suasana hari raya kenapa engkau memakan roti yang keras ini?”
“Sesungguhnya hari ini adalah hari Ied (Lebaran) orang yang diterima puasanya, yang bersyukur atas usahanya, dan diampuni dosa-dosanya. Hari ini adalah Lebaran bagi kami, demikian juga esok. Bahkan setiap hari pun engkau juga bisa Lebaran seperti ini,” ucap Sayyidina Ali.
“Bagaimana bisa aku Lebaran setiap hari?” ucap sang tamu.
“Jika seorang hamba tidak bermaksiat sedikit pun kepada Allah di hari itu, sesungguhnya ia sedang berlebaran,” jawab Sayyidina Ali.
Ya, Iedul Fitri memang seharusnya menjadi perjalanan transendental bagi kita; sarana untuk meningkatkan ketaqwaan kepada Allah Swt. Hikmah besar yang diraih oleh orang-orang yang melaksanakan Puasa Ramadhan atas dasar keimanan adalah memperoleh derajat takwa.
Apakah Sayyidina Ali tidak mampu menghidangkan berbagai makanan dan membeli baju baru untuk Lebaran? Tentu saja tidak begitu. Namun lebih karena beliau tak hanya melihat realitas Lebaran secara eksplisit, namun juga implisit.
Kondisi saat ini memang telah membuka mata kita atas banyak hal dan mengembalikan fokus kita kepada hal-hal yang esensial bukan aksesori semata. Jadi tak mengapa bila silaturrahim hanya bisa dijalin secara virtual, lewat bertukar pesan atau video call, toh pertemuan fisik hanya sekedar aksesoris, namun esensinya adalah momen maaf memaafkan itu sendiri.
Tidak mengapa juga bila ibadah hanya di rumah saja. Esensi ibadah adalah bukan pada tempatnya melainkan kepatuhan kita terhadap Allah Swt.
Karena sesungguhnya di balik sebuah ujian pasti akan ada hikmah yang bisa dipetik. Semoga kita dapat menjadi pribadi yang senantiasa meningkatkan derajat ketakwaan kepada Allah Swt. seperti tersirat dalam dua rangkaian kata yang menjadi penutup ayat tentang puasa.
“Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana yang diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (al-Baqarah [2]: 183).