Kesenjangan Pembiayaan UMKM

MONITORDAY.COM - Struktur pelaku usaha di Indonesia sejak lama berada dalam kondisi ketimpangan yang lebar. Sekitar 5000 unit usaha besar dengan aset lebih dari 10 miliar yang berada di puncak piramida ekonomi, menerima nilai PDB lebih tinggi dan nilai ekspor delapan puluh kali lipat lebih besar dibandingkan 63 juta lebih unit usaha mikro yang berdesakan di kaki piramida. Proporsinya tidak banyak berubah dalam sepuluh tahun terakhir. Persoalan krusial ini perlu segera dicari jalan keluarnya, mendorong agar UMKM naik kelas, dengan demikian dapat berkontribusi lebih besar dalam perekonomian nasional.
Pemerintah harus didorong untuk bekerja keras mengurai persoalan ini. Berbagai ikhtiar kebijakan mulai terlihat serius digarap dari hulu hingga hilir. Undang-undang Cipta Kerja menjadi andalan dari sisi regulasi untuk memperbesar peran negara mengakselerasi perkembangan UMKM ke depan. Penguatan aspek regulasi ini terutama menyasar perluasan akses UMKM pada permodalan, pendampingan usaha, akses pasar, peningkatan sumber daya manusia, hingga mendorong kemitraan dan kolaborasi dengan sektor usaha besar. Kesadaran baru mengenai ini berlipat jumlahnya ketika menyadari bahwa sektor ini mengalami pukulan paling keras akibat pandemi COVID-19.
Perhatian utama pembiayaan UMKM harus ditujukan bagi pelaku usaha mikro yang jumlahnya sangat besar. Mereka umumnya memilki karakteristik jenis usaha yang sederhana. Jenis barang/komoditi tidak selalu tetap, tempat usaha tidak selalu menetap, belum melakukan administrasi keuangan yang sederhana sekalipun, tidak memisahkan keuangan keluarga dengan keuangan usaha, SDM yang kurang memadai, tingkat pendidikan relatif rendah, umumnya belum memiliki akses perbankan, dan belum memiliki izin usaha atau persyaratan legalitas lain termasuk NPWP.
Berbagai kerumitan ini jelas akan menjauhkan mereka dari rangkulan lembaga keuangan modern yang menuntut aspek kehati-hatian yang tinggi. Tetapi jika ditinggalkan, mereka dengan mudah jatuh ke pangkuan rentenir. Kemudahan, kecepatan, dan terkadang kedekatan emosional menjadi keunggulan rentenir. Meskipun dampak negatifnya telah merusak sendi-sendi sosial-ekonomi rakyat kecil. Tepat di persoalan ini negara harus hadir. Menyediakan kebijakan pembiayaan yang lebih inklusif dan ramah bagi usaha mikro dan ultra mikro, termasuk di dalamnya petani, nelayan, dan pembudidaya kecil.
Sejauh ini terdapat tiga skema yang disediakan pemerintah untuk mengatasi pembiayaan bagi UMKM. Pertama, Kredit Usaha Rakyat (KUR). Sejak pertama kali diluncurkan pada 2007, program ini telah mengalami berbagai kemajuan, mulai penurunan suku bunga hingga memperluas segmen usaha super mikro sebagai penerima KUR. OJK mencatat, total realisasi KUR dari Agustus 2015 sampai 30 September 2020 sebesar Rp604,10 triliun dengan outstanding Rp189,22 triliun, dan NPL 0,70%. KUR masih didominasi skema KUR Mikro (64,05%), diikuti skema KUR Kecil (35,24%), KUR TKI (0,43%) dan KUR Super Mikro (0,32%).
Kedua, Pembiayaan Non-KUR yang disediakan oleh BUMN maupun Badan Layanan Umum (BLU). Skema ini menyediakan fasilitas kemudahan bagi usaha mikro untuk mengakses dana meskipun suku bunganya yang relatif masih tinggi. Misalnya pembiayaan Ultra Mikro (UMi) yang disediakan oleh Pusat Investasi Pemerintah (PIP) yang juga disalurkan melalui PT Pegadaian, PT Bahana Artha Ventura, dan PT Permodalan Nasional Madani. Total nasabah PNM Mekaar, UMi, dan Pegadaian saat ini sangat besar, mencapai 18 juta orang. Dalam kategori ini kita bisa memasukkan keberadaan BLU LPMUKP di bawah Kementerian Kelautan dan Perikanan yang menyediakan pembiayaan murah bagi pelaku usaha perikanan dan kelautan.
Ketiga, Penjaminan UMKM. Pada skema ini dua perusahaan negara Jamkrindo dan Askrindo berperan memberikan penjaminan atas kredit yang diberikan kepada usaha kecil. Penjaminan kredit dimanfaatkan sebagai pendukung akses untuk mendapatkan status layak kredit bagi sektor UMKM. Jamkrindo misalnya, mencatat volume penjaminan dari Januari-Desember 2020 sebesar Rp156,19 triliun yang terdiri dari penjaminan KUR, Non-KUR, dan Program PEN. Jumlah UMKM yang dijamin pada periode yang sama mencapai 8.377.975 individu atau usaha. Semakin banyak operasi penjaminan, tentu akan berdampak positif bagi keberlanjutan usaha UMKM di Indonesia.
BUMN Ultra Mikro
Pemerintah saat ini sedang menggagas pembentukan holding BUMN Ultra Mikro. Idenya adalah melakukan sinergi dan penggabungan tiga perusahaan negara: PT Bank Rakyat Indonesia, PT Pegadaian, dan PT Permodalan Nasional Madani untuk mendorong penetrasi pembiayaan ultra mikro secara lebih ekspansif ke depan. Pertanyaan pentingnya, apakah pembentukan holding ini akan mempeluas dan mempermudah akses pembiayaan ultra mikro ke depan?
Hal tersebut sangat tergantung bagaimana desain kelembagaan yang akan dibangun ke depan. Dua perusahaan negara PT PMN dan PT Pegadaian selama ini berperan penting dalam melayani segmen usaha mikro dan ultra mikro. Norma, aturan dan budaya kerja kedua perusahaan ini relatif lebih ramah bagi usaha-usaha yang banyak digeluti rakyat kecil di bawah. Sementara BRI, merupakan institusi perbankan yang melekat aturan-aturan rigid lembaga keuangan formal yang terkadang membuat sesak pelaku UMKM. Persoalan ini mesti dicarikan solusinya. Keinginan untuk memperluas akses dan penetrasi kredit perbankan kepada UMKM, harus sejalan dengan desain kelembagaan yang adaptif, mudah, dan ramah bagi UMKM, bukan membuat perangkap kesulitan baru.
Pemerintah juga perlu mencari terobosan untuk mengatasi kesenjangan antara kebutuhan pembiayaan usaha mikro dan kecil dengan pasokan kredit yang diberikan oleh perbankan. Kebijakan dan pengaturan kredit perbankan harus memiliki orientasi kepentingan ekonomi nasional yang lebih luas dan memperhatikan kondisi dan karakteristik usaha pada segmen ini. Kemudahan akses, keringanan suku bunga, hingga pendampingan mutlak menjadi prasyarat utama yang mesti disadari oleh pelaku perbankan. Target RPJMN 2020-2024 untuk meningkatkan rasio kredit UMKM terhadap total kredit perbankan dari 19,75% di 2020 menjadi 22% di 2024 harus diawasi secara ketat oleh OJK dan pemerintah agar implementasinya berjalan di lapangan. Meskipun target ini dirasa masih rendah jika melihat kebutuhan riil kesulitan permodalan yang dialami UMKM.
Kesenjangan distribusi kredit juga menjadi persoalan yang harus diatasi. Secara spasial, sebagian besar kredit UMKM masih terpusat di pulau Jawa dengan porsi sebesar 59,18%, terutama terpusat di wilayah Jawa Timur, DKI Jakarta, dan Jawa Barat. Sementara itu, kredit UMKM di wilayah Indonesia bagian tengah dan timur (Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Bali, Maluku, dan Papua) masih relatif kecil yaitu hanya sebesar 22,62%. Distribusi kredit yang lebih merata antar pulau mencerminkan orientasi untuk menyantuni kepentingan nasional yang sejalan dengan konstitusi. Sejurus dengan hal itu, kebijakan ini akan berakibat langsung pada penyebaran pertumbuhan UMKM yang lebih merata dan kuat dari sisi manajemen dan keuangan.
Singkatnya, pemberian kredit pada usaha ultra mikro, mikro dan kecil memerlukan pendekatan, sistem serta mekanisme yang berbeda dengan pemberian kredit kepada usaha skala besar dan menengah. Semua itu harus dimulai dengan kesadaran yang penuh untuk menjalankan amanat UUD 1945 untuk mencapai masyarakat adil dan makmur. Meletakkan prinsip-prinsip untuk menjalankan roda perekonomian nasional dalam mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat melalui peranan dan keberpihakan negara dalam meningkatkan taraf hidup rakyat. []