Pesan ‘Politik Progresif’ Puasa
Puasa pada hakikatnya meniscayakan kesamaan perasaan dan realitas politik (egalitarianisme), kaya atau pun miskin dituntut untuk dapat mampu menahan lapar dan haus akan dahaga material (moralitas zuhud) serta dahaga berita bohong (hoax).

IBADAH puasa merupakan salah satu titian anak tangga menuju rumah Allah. Ia adalah ibadah mahdah yang memiliki nilai dasar yang sangat penting dan mendasar, yaitu raihan takwa. Hikmah utama tersebut tersirat dalam dua rangkaian kata yang menjadi penutup ayat tentang puasa,”Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana yang diwajibkan atas orang-orang sebelum kami agar kami bertakwa.” (al-Baqarah [2]: 183)
Kata la’alla (mudah-mudahan) biasa digunakan untuk tarajji, yakni mengharap sesuatu yang sangat mungkin terjadi. Artinya dengan puasa ini diharapkan terbangun ketakwaan, rasa takut, dan ketaatan kepada Allah.
Raihan Takwa
Hubungan antara puasa dengan ketakwaan terlihat dari empat aspek, sebagaimana dikemukakan Dr. Ali Abdul Wahid Wafi dalam kitabnya Buhuts fi al-Islam. Pertama, puasa menuntut orang yang menjalankannya untuk menahan diri dari hasrat-hasrat biologis kebutuhan vital tubuh demi menjalankan perintah Allah dan mendekatkan diri pada-Nya. Tuntutan ini jelas tak akan bisa terpenuhi tanpa peran ketakwaan, rasa takut, dan ketaatan kepada Allah.
Kedua, puasa tercermin dalam hal-hal negatif yang diketahui Allah, tidak terlihat oleh orang lain. Dengan demikian, orang yang berpuasa ini benar-benar tulus demi mencari ridha Allah tanpa dikotori noda-noda riya’.
Ketiga, karena mencakup menahan diri dari makanan dan minuman, maka puasa dapat menurunkan kekuatan tubuh sekaligus melemahkan pengaruh kekuatan ini pada seorang hamba. Manakala kekuatan dan pengaruh kekuatan ini melemah dalam diri seseorang, maka hawa nafsunya melemah dan jiwanya bersih. Sementara ketakwaannya meningkat dan jauh dari perbuatan-perbuatan maksiat. Sebab, sebagian besar perbuatan maksiat datang dari tubuh dan hawa nafsu. Rasulullah saw. bersabda, “Puasa adalah perisai dan peluruh (hawa nafsu).” (Muttafaq alaih). Dengan demikian, puasa diserupakan mengebiri, artinya, puasa mampu meredam hawa nafsu dan melemahkan kecenderungan terhadapnya.
Keempat, puasa melatih keinginan untuk menguasai hasrat dan hawa nafsu, sehingga seseorang mendapatkan kekuatan kekebalan terhadap hasrat dan hawa nafsu pada saat tak berpuasa. Saat seseorang berpuasa sebulan penuh pada bulan ramadhan, maka peranan puasa tersebut sama dengan vaksin yang mampu mencegah timbulnya penyakit.
Ada pula yang berpendapat, bahwa proses puasa merupakan ajang pelatihan pensucian diri. Karena selama satu bulan lamanya, para pelaku puasa digembleng dengan latihan yang cukup berat. Saking beratnya, maka bagi mereka yang sakit, wanita yang tengah mengandung, atau anak-anak dan sejumlah orang yang tengah dalam perjalanan jauh dibolehkan untuk tidak berpuasa di bulan Ramadhan.
Selama menjalani latihan dan pensucian di bulan Ramadhan, umat Islam selanjutnya diberikan berbagai kegiatan; mulai dari tadarus, shalat tarawih, ceramah agama, membayar zakat fitrah, dan lain sebagainya. Puasa pun kemudian menjadi semacam resolusi untuk menghadapi 11 bulan selanjutnya.
Egalitarianisme
Puasa pada hakikatnya meniscayakan kesamaan perasaan dan realitas sosial (egalitarianisme), kaya atau pun miskin dituntut untuk dapat mampu menahan lapar dan haus akan dahaga material (moralitas zuhud). Tak ada yang membedakan antara pelaku puasa yang satu dengan yang lainnya kecuali ketakwaannya (la’allakum tattaquun) karena puasa merupakan proses penyucian jiwa yang meniscayakan kembalinya manusia pada naluri dan fitrah-nya sebagai manusia yang memiliki potensi berbagai kebaikan dan kesempurnaan.
Sayyid Abl A’la Mawdudi (1982) malah lebih gamblang mengatakan, puasa itu tak lain adalah ibadah yang memberikan kesadaran bahwa hidup itu adalah pengabdian total. Puasa juga merupakan pelatihan bersama yang mengikat seorang Muslim ke dalam masyarakat. Dengan demikian, puasa itu menjadi sebuah kekuatan moral karena dilakukan secara kolektif, dalam hal apa pun, termasuk dalam tindakan politik.
Tak dapat dipungkiri, bila tindakan politik apa pun di negeri ini telah mendapat stigma yang negatif. Politik dianggapnya berasal dari angkara murka, yang penuh hasrat dan hawa nafsu. Padahal, bila kita melihat kepada asal kata dan pengertian dasarnya yang merujuk pada keputusan bersama untuk meraih kebaikan bersama.
Melihat persepsi orang tentang politik di Indonesia, M Natsir pernah mengulas tentang perlunya sebuah praktek politik adiluhung atau politik yang sangat luhur. Tipologi pemikiran Natsir ini pernah diulas Lance Castles dan Herbert Feith dalam Indonesian Political Thinking: 1945-1965.
Natsir semasa hidupnya memperjuangkan cita-cita antara lain membebaskan manusia dari segala bentuk superstisi, memerdekakannya dari segala takut kecuali kepada Allah Sang Maha Pencipta serta memegang perintah-perintahNya agar kebebasan ruhani manusia dapat dimenangkan.
Natsir juga menganjurkan segala tirani harus dilenyapkan, chauvinisme yang merupakan akar intoleransi dan permusuhan diantara manusia wajib diperangi dan Natsir yakin bahwa Islam mengajarkan cita-cita politik yang sangat luhur.
Pemikiran Natsir bersua pada satu hal, bahwa keberhasilan perjuangan politik sebetulnya bukan terletak pada kedudukan yang diraihnya, bukan pula terletak pada kemulusan melewati proses-proses demokrasi, tapi sejauhmana frekuensi pembelaan terhadap kaum mustadh’afin dilakukan.
Dari pemaknaan puasa yang tradisional-kritis soal puasa dan moralitas politik tersebut di atas, maka kita pun dapat menangkap salah satu pesan politik yang sangat progresif, yaitu; egalitarianisme.
Bagi orang miskin, menahan haus dan lapar tentu merupakan hal yang biasa dan telah menjadi perjuangan sehari-hari, mereka telah terbiasa untuk menahan hasrat sehingga jauh dari konsumerisme. Sedang bagi si kaya yang kebetulan lebih diuntungkan oleh laju pertumbuhan ekonomi, menahan hasrat konsumtif tentu bukan hal biasa, malahan mungkin dianggap sebagai zihad akbar, yaitu bagaimana melakukan perang tertutup melawan nafsu dan kerakusan sosial.
Ya, puasa pada hakikatnya meniscayakan kesamaan perasaan dan realitas politik (egalitarianisme), kaya atau pun miskin dituntut untuk dapat mampu menahan lapar dan haus akan dahaga material (moralitas zuhud) serta dahaga berita bohong (hoax).