Memahami Peristiwa Perang dalam Islam

Bagian 1
“Peperangan yang terjadi pada masa dakwah terang-terangan dalam Islam itu, adalah bentuk dari upaya difensif (melindungi diri), bukan nafsu berperang untuk merebut ghanimah”
ADA anggapan super keliru ketika Islam dikaitkan dengan peperangan. Islam secara serampangan diidentikan dengan terorisme.
Gegaranya adalah adanya sejumlah fakta kekerasan yang mengatasnamakan Islam. Di beberapa negara Afrika misalnya, bagaimana penguasa tiran melakukan tindakan-tindakan teror dan juga membatasi kebebasan warganya.
Padahal, kekuasaan dimana pun hatta dalam sistem demokrasi pun ditenggarai dapat berujung tirani. Itu sudah diramal Plato sejak lama dan buktinya nyata.
Dalam Islam juga bisa saja terjadi. Jadi jangan heran jika kita mengenal ada yang namanya Islamic State Iraq Suriah (ISIS). Kerjanya bikin teror yang luar biasa. Demi kekuasaan, ISIS tega menggantung manusia secara vulgar. Tak terkecuali kepada para wanita, berani sekali mereka membunuh, meneror dan memperkosa kaum muslimah.
Ujung-ujungnya, citra Islam lah yang menjadi buruk. Jauh dari kesan damai (salam) sebagai nama agama Islam.
Bagi para hatters Islam, narasi ini tentu saja membuat mereka senang, karena dengan mudah dapat mereka gulirkan di media-media online maupun media sosial. Hasilnya, bisa kita lihat, bagaimana gambar-gambar kekerasan yang menampilkan symbol-simbol Islam begitu marak.
Sekira tahun 2015, saya pernah menulis sebuah buku berjudul “Perang sebagai Pilihan Terakhir”. Buku ini saya dedikasikan untuk memberi pemahaman kepada masyarakat bahwa perang adalah pilihan terakhir dalam menyelesaikan sesuatu.
Dalam buku itu saya juga sampaikan, bahwa dari sekian peperangan yang pernah dijalani Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam, tak satupun yang lahir dari inisiatif pribadinya untuk memperluas dan mempertahankan kekuasaan. Sebaliknya, peperangan terjadi karena untuk menjaga diri, menjaga masyarakat dan menjaga umat Islam.
Jika kita usut lebih dalam, motif setiap peperangan itu terjadi karena musuh melakukan provokasi terlebih dahulu, bukan Muhammad dan para sahabat.
Misalnya, saat Nabi melakukan dakwah terang-terangan, kebencian kepada Nabi dan para sahabat kian memuncak, pada kahirnya mereka menebarkan teror, hingga terjadi perang atas provokasi yang diciptakan oleh kaum musyrikin ataupun kaum Yahudi. Itulah sejarah autentik, bahwa Islam berperang hanya ingin melindungi diri (difensif). Inilah faktanya.
Maka jika sekarang muncul narasi teror atau intimidasi mengatasnamakan Islam, maka itu harus dipertanyakan. Coba lihat lagi sejarah dimana ketika usaha dakwah untuk perluasan ajaran Islam ke negara-negara di sekitar Jazirah Arab, atau daerah-daerah itu dikuasai oleh Imperium Romawi dan Bangsa Persia.
Peperangan yang dilakukan oleh Nabi dengan para sahabatnya selalu mengedepankan kompromi, mengedepankan asas musyawarah dan ini tidak lazim. Misalnya ketika ada sahabat yang begitu nafsu ingin membunuh, kemudian dia melakukan pembunuhan kepada salah seorang muslim yang kemudian mengucapkan Lailahaillallah. Tetapi ketika sahabat itu dikonfirmasi oleh Nabi, dia mengatakan bahwa kaum musyrikin itu menggunakan kalimat itu untuk menjaga diri supaya tidak dibunuh. Tetapi kemudian Nabi memperingatkannya bahwa yang tahu masalah hati adalah Allah semata.
Ketika khalifah Abu Bakar memerintahkan Khalid bin Walid untuk melakukan peperangan dengan Persia, maka Khalid diminta untuk menjaga tidak melakukan pembunuhan atau menyakiti kepada masyarakat yang tidak ikut di dalam peperangan. Tidak diperbolehkan mengganggu atau menyerang musuh yang sedang beribadah. Kemudian tidak dianjurkan untuk menyerang musuh di waktu subuh. Tidak boleh membunuh bayi perempuan anak-anak dan orang lanjut usia. Demikian pula dilarang untuk merusak tumbuh-tumbuhan, membakar ladang pertanian, menyembelih binatang ternak, merusak rumah dan sangat mengutuk tindakan pemerkosaan.
Suatu ketika Khalifah Khalid bin Walid, setelah berhasil menaklukkan tentara Persia, melewati sebuah kuil dan menjumpai 2 laki-laki yang tengah beribadah. Satu orang bernama Nafi dan satunya lagi bernama Shirin.
Khalid bin Walid yang tengah bereuforia atas kemenangannya, berniat menghabisi keduanya. Namun, seketika itu dia teringat pesan ajaran Islam yang melarang menyerang musuh yang sedang beribadah. Khalid pun urung melakukannya.
Tak lama setelah kejadian itu, lahirlah Uqbah bin Nafi dan Ibnu Sirin. Uqbah bin Nafi adalah seorang prajurit yang gagah berani, di kemudian hari ia berhasil menaklukan Afrika. Sementara Ibnu Shirin adalah seorang ahli hadist terkemuka.
Begitulah jika kedamaian (salam) dijaga, kelak akan melahirkan kebaikan dan kesejahteraan. [ ]