Masyarakat Sipil dan Kemajuan Pendidikan
Masyarakat sipil adalah komponen yang tak boleh diabaikan dalam berjalannya pendidikan di Indonesia. Puluhan ribu yayasan telah berdiri membangun lembaga pendidikan sampai pelosok negeri

MONDAYREVIEW.COM – Masyarakat sipil adalah komponen yang tak boleh diabaikan dalam berjalannya pendidikan di Indonesia. Puluhan ribu yayasan telah berdiri membangun lembaga pendidikan sampai pelosok negeri. Belum lagi lembaga pendidikan milik dua ormas Islam terbesar Muhammadiyah dan NU. Muhammadiyah saja menyatakan memiliki sekitar 30.000 amal usaha pendidikan yang tersebar di seluruh Indonesia.
Sebagai lembaga pendidikan swasta, sekolah-sekolah yang dikelola oleh masyarakat sipil tidak sepenuhnya menggantungkan diri dengan pemerintah. Ada atau tak ada bantuan dari pemerintah, sekolah swasta tetap berjalan dengan biaya operasional dari SPP siswa-siswinya. Sekolah swasta lebih beragam dalam jumlah SPP yang mesti dibayarkan. Ada yang sangat terjangkau, namun ada juga yang tinggi tarifnya. Semua punya segmen pasarnya masing-masing.
Sekolah-sekolah swasta ini membantu pemerintah dalam melaksanakan program pendidikan. Bayangkan jika di negeri ini hanya ada lembaga pendidikan pemerintah, tak ada inisiatif masyarakat sipil untuk menyelenggarakan pendidikan, kita yakin jumlah sekolah negeri yang ada tidak akan mampu untuk menampung seluruh peserta didik. Karena itu pemerintah sepatutnya berterima kasih atas inisiatif masyarakat sipil yang mau bergerak dalam bidang pendidikan.
Pemerintah juga sepatutnya mendukung sekolah swasta sebagai bentuk perhatian, walaupun tidak perlu dibantu seluruhnya karena sekolah swasta memiliki kemandirian. Selama ini pemerintah cukup berkontribusi dalam membantu sekolah swasta. Beragam bantuan disalurkan pemerintah seperti bantuan operasional sekolah (BOS) dan kartu Indonesia pintar (KIP). Selain itu juga gelontoran dana untuk pembuatan ruang kelas baru sampai juga ke sekolah-sekolah swasta sebelum sekarang diambil alih oleh Kemen PUPR.
Bantuan-bantuan pemerintah tersebut rutin disalurkan setiap tahun, dengan pengajuan terlebih dahulu dari sekolah yang membutuhkan. Namun ada yang baru dari program Kemdikbud pada masa Mas Menteri Nadiem Makarim. Dia meluncurkan sebuah program bernama Program Organisasi Penggerak (POP). Dalam program ini, masyarakat sipil tidak diminta untuk mengajukan pembangunan fisik sekolah, namun Kemdikbud meminta masyarakat sipil membuat proposal untuk membuat sekolahnya menjadi sekolah penggerak dan guru-gurunya menjadi guru penggerak.
Ormas atau yayasan yang terpilih menjadi organisasi penggerak nantinya ditugaskan untuk memberikan pelatihan kepada guru-guru dan kepala sekolah di sekitarnya. Materi yang diberikan adalah tentang kompetensi dan konsep merdeka belajar yang dicanangkan oleh Kemdikbud. Diharapkan melalui program ini akan lahir kepala sekolah dan guru-guru yang berkualitas yang berdampak pada output peserta didik yang berkualitas juga. Program ini membuat masyarakat sipil dilibatkan lebih jauh dalam memajukan pendidikan.
Inisiatif Kemdikbud patut diacungi jempol, program organisasi penggerak adalah program yang luar biasa. Nantinya akan dianggarkan dana sebesar 595 miliar rupiah per tahun guna disalurkan kepada 300 organisasi penggerak yang lolos seleksi. Ada tiga kategori organisasi penggerak, pertama adalah gajah akan dapat 20 miliar rupiah dengan sasaran melatih lebih dari 100 PAUD/SD/SMP. Kategori ini didasarkan pada pengalaman melakukan pelatihan minimal 3 tahun dan sudah memiliki sistem serta output yang terbukti berhasil membentuk karakter.
Kategori kedua adalah macan, dengan dana 5 miliar rupiah per tahun untuk 21-100 PAUD/SD/SMP. Kategori ini didasarkan pada lembaga yang sudah mengadakan pelatihan namun belum memiliki output. Terakhir adalah kategori kijang, dana yang akan disalurkan berjumlah 1 miliar rupiah dengan target sekolah 5-20 PAUD/SD/SMP. Ketegori ini adalah lembaga yang baru memiliki ide dan belum mempunyai output. Program Organisasi Penggerak sejalan dengan visi kabinet pemerintahan yang akan fokus melakukan pembangunan SDM disamping infrastruktur.
Sayangnya setelah seleksi dilakukan, muncul kontroversi karena salah satu yang mendapatkan dana hibah adalah yayasan yang dimiliki oleh konglomerasi, yakni Tanoto Foundation dan Sampoerna Foundation. Hal ini membuat ormas seperti Muhammadiyah dan NU menyatakan mundur dari program tersebut. Alasan utamanya karena kriteria kelulusan yang tidak jelas dalam program ini. Secara akal sehat kita tahu bahwa yayasan di bawah perusahaan besar sudah mempunyai donatur tetap, yakni perusahaan induknya. Laba perusahaan induknya pun sangatlah besar.
Apakah secara etis yayasan seperti Tanoto Foundation dan Sampoerna Foundation layak mendapatkan hibah dari pemerintah? Mungkin secara kapasitas sejak awal yayasan ini memang unggul dalam pelatihan dan pengembangan SDM. Kita tahu bahwa sampai sekarang Tanoto dan Sampoerna rutin menyalurkan beasiswa kepada banyak anak negeri. Tak aneh kalau mereka bisa lolos POP Kemdikbud. Namun secara etis seharusnya mereka dapat membantu Kemdikbud menjadi sponsor program, bukan malah mengambil hibah dari sana.
Masih banyak ormas dan yayasan yang selama ini tidak mempunyai funding tetap selain SPP siswa yang lebih membutuhkan dana hibah. Ini harus disadari oleh semua pihak. Sikap Muhammadiyah dan NU ini adalah bentuk protes yang elegan. Pihak Kemdikbud perlu memperhatikan aspirasi dari dua ormas Islam terbesar ini. Semoga ada solusi win-win solution