Manisnya Gula, Pahitnya Harga dan Tata Niaga
Kebutuhan gula nasional menjadi perkara tersendiri bagi Pemerintah. Konsumen Indonesia yang sangat besar menjadikan bisnis gula sangat menarik bagi para pebisnis. Termasuk mereka yang bermain nakal nir nasionalisme dalam mengeruk keuntungan sebagai kartel pangan mafia gula.

MONDAYREVIEW.COM – Kebutuhan gula nasional menjadi perkara tersendiri bagi Pemerintah. Konsumen Indonesia yang sangat besar menjadikan bisnis gula sangat menarik bagi para pebisnis. Termasuk mereka yang bermain nakal nir nasionalisme dalam mengeruk keuntungan sebagai kartel pangan mafia gula.
Ukuran kue ekonomi Indonesia yang gemuk menjadi incaran produsen dunia. Pendek kata apapun yang dijual di negeri ini akan laku. Bahkan laku keras. Indonesia dianugerahi dengan beberapa faktor pendukung untuk menjadi salah satu partisipan penting dalam rantai pasok global seperti lokasi yang strategis, jumlah penduduk usia produktif atau yang bekerja mencapai 185,34 juta jiwa, dan ketersediaan sumber daya alam.
Rantai pasok global semakin terhubung dan membentuk ekosistem bisnis yang menggerakkan ekonomi dunia. Jika Indonesia ingin meningkatkan peranannya dalam kegiatan rantai pasok global salah satu yang perlu diperbaiki adalah hambatan non-tarif untuk perdagangan internasional. Tentu ada plus-minus dalam setiap kebijakan. Keinginan untuk menjaga ketahanan pangan dapat berimbas pada fluktuasi harga.
Ini bukan soal gampang. Bahkan boleh dikata sangat pelik. Pada dasarnya hambatan non-tarif adalah penghalang untuk membatasi perdagangan internasional yang tidak menggunakan bea masuk atau pajak. Umumnya hambatan non-tarif ditujukan untuk melindungi kepentingan suatu negara dalam perdagangan internasional, seperti melindungi produsen dalam negeri.
Pada dasarnya pengendalian masuknya barang sangat diperlukan dalam melindungi industri nasional. Hambatan non-tarif ini termasuk pengenaan kuota yang membatasi jumlah impor yang bisa dilakukan, seperti menjatah jumlah impor garam, gula atau komoditas lain yang dibutuhkan industri pengolahan.
Ada banyak pembatasan yang potensial membuat harga produk atau komoditas tekait melonjak di pasaran. Bahkan ada pelarangan impor seperti contohnya saja membatasi impor baja untuk bahan baku industri di dalam negeri. Belum lagi kewajiban-kewajiban lain seperti Standar Nasional Indonesia (SNI) yaitu standar yang harus dimiliki suatu produk jika dibuat di Indonesia.
Indonesia telah melakukan pekerjaan yang cukup baik dalam mengintegrasikan ekonominya dengan dunia internasional. Sejak krisis ekonomi Asia pada 1998, level tarif Indonesia terus mengalami penurunan. Keterlibatan Indonesia di perundingan perjanjian perdagangan bebas bersama ASEAN pada akhir 2000an mempercepat penurunan tarif.
Namun, seakan-akan mengkompensasi penurunan tarif, pemerintah Indonesia meningkatkan peran hambatan non-tarif dalam perdagangan Indonesia.
Indonesia sendiri, berdasarkan data World Trade Organization, berada pada peringkat 43 diantara negara-negara di dunia untuk jumlah hambatan non-tarif. Jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya Indonesia berada pada peringkat ke-4 non-tarif terbanyak, setelah Malaysia, Filipina, dan Thailand.
Beberapa kebijakan non-tarif ini, terutama kuota, tidak hanya mengurangi kelancaran rantai pasok, tapi juga berpotensi dieksploitasi oleh pemburu rente atau pengusaha yang mendapatkan lisensi khusus, monopoli, dan fasilitas lain dari penguasa sekaligus menghambat pelaku lain masuk pasar.
Rantai pasok global adalah kegiatan mengurai proses produksi sebuah barang untuk mendapatkan harga yang kompetitif. Sebuah perusahaan dipilih untuk berpartisipasi dalam rantai pasok global apabila perusahaan tersebut dapat meningkatkan efisiensi biaya dalam memproduksi suatu barang atau jasa.
Dalam kegiatan rantai pasok global, sebuah perusahaan atau pabrik dapat memproses barang mentah menjadi barang antara, barang antara menjadi barang setengah jadi, atau barang antara menjadi barang jadi. Kegiatan tersebut akan meningkatkan intensitas aliran barang masuk (impor) dan barang keluar (ekspor).
Apabila banyak hambatan dari aliran barang tersebut, baik berupa tarif maupun non-tarif, maka akan sulit bagi perusahaan di Indonesia untuk dapat bersaing dan berpartisipasi dalam kegiatan rantai pasok global. Pemerintah dapat membantu perusahaan-perusahaan Indonesia ikut dalam kegiatan rantai pasok global dengan meningkatkan kemudahan transaksi perdagangan internasional.
Dua kebijakan lanjutan yang dapat diprioritaskan dalam jangka pendek adalah meningkatkan kelancaran arus barang dan kemudahan investasi.
Pertama sangat penting bagi Indonesia untuk menjaga kelancaran dan menekan biaya arus impor berupa bahan baku dan komponen yang tidak dapat diproduksi di Indonesia untuk keperluan manufaktur. Peraturan non-tarif sebaiknya diarahkan ke penyamaan dengan negara mitra alih-alih membuat standar sendiri yang dapat berakibat pada meningkatnya biaya produksi.
Selain itu, restriksi kuota memang sebaiknya ditekan penggunaannya untuk meningkatkan transparansi kebijakan dan tata laksana yang baik.
Dalam skenario ideal, pemerintah perlu secara agresif memperluas perjanjian dagang dengan beberapa mitra di luar negeri. Hal ini juga dapat memudahkan barang hasil rakitan di Indonesia untuk menembus pasar luar negeri.
Kegiatan rantai pasok global berkaitan erat dengan penanaman modal asing (PMA). Investasi dalam bentuk PMA tidak hanya berperan untuk mengisi kebutuhan pembiayaan investasi domestik, namun juga dapat mempercepat pengembangan teknologi dan kemampuan produsen lokal. Selain itu, penggunaan tenaga kerja asing untuk bidang yang belum dapat dipenuhi secara domestik juga sebaiknya dipermudah.
Untuk menarik PMA, diperlukan peraturan yang tidak hanya sederhana, tetapi juga ditegakkan dengan konsisten. Untuk itu penegakan hukum di Indonesia harus juga diperbaiki agar menciptakan iklim usaha yang mendukung.
Korelasi Hambatan Non Tarif dan Kenaikan Harga Gula
Kepala Pusat Penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta berharap kebijakan yang ada dapat mengatasi hambatan nontarif yang dinilai sebagai salah satu penyebab tingginya harga gula di dalam negeri.
Implementasi hambatan nontarif atau non-tariff measures (NTM) pada tata niaga gula menjadi salah satu kontributor pada tingginya harga gula di dalam negeri.
Padahal, menurut Felippa, sebagai salah satu komoditas pokok, produksi gula oleh petani tebu dalam negeri dinilai belum mampu untuk memenuhi kebutuhan nasional.
Namun, di saat yang bersamaan, lanjutnya, impor gula juga diatur secara ketat dengan berbagai ketentuan.
Berdasarkan data UNCTAD 2020, terdapat 55 NTM mulai dari pemeriksaan prapengapalan, tindakan pengendalian kuantitas dan harga, tindakan sanitasi dan fitosanitasi, serta hambatan teknis perdagangan untuk gula.
Negara mengizinkan sektor swasta untuk mengimpor gula, tetapi hanya gula mentah dan rafinasi untuk keperluan industri dan pemurnian. Impor gula putih untuk konsumsi rumah tangga merupakan urusan BUMN, meski ketentuan tersebut memungkinkan lebih banyak partisipasi sektor swasta. Dari 2018 hingga 2020, jumlah populasi di Indonesia meningkat sebesar 2,28 persen atau sekitar 6,051 juta penduduk.
Pada periode yang sama, lanjutnya, total konsumsi gula juga meningkat sebesar 95.000 ton dari 12,6 kilogram per kapita per tahun menjadi 13 kilogram per kapita per tahun, menjadi total 7,18 juta ton. Sebelumnya, pemerintah dan dunia usaha masih menghitung angka pasti stok gula nasional pada akhir 2020 yang menjadi dasar penentuan rencana pemenuhan kebutuhan gula pada 2021.
AGI memperkirakan jumlah stok gula pada akhir 2020 mencapai 1,4 juta ton. Sementara, Kementerian Pertanian memperkirakan 1,7 juta ton, sedangkan menurut perhitungan Kementerian Perdagangan stok akhir tahun mencapai 900 ribu ton. Adapun total produksi gula dalam negeri tahun 2020 diperkirakan mencapai 2,2 juta hingga 2,5 juta ton, dengan kebutuhan konsumsi mencapai 3 juta ton.