Bank Dunia : 115 Juta Rakyat Indonesia Rentan Miskin. Kucurkan BLT!
Pilihannya memang tidak populer jika Pemerintah harus berutang untuk mendongkrak ekonomi melalui Bantuan langung Tunai (BLT). Sumber-sumber lain tentu harus diupayakan. Namun demikian pilihan itu masih lebih rasional daripada membiarkan rakyat kehilangan daya beli. Pada gilirannya sektor-sektor ekonnomi akan mandeg bila konsumsi masyarakat anjlok. Upaya untuk memberi kail dengan program Kartu Pra Kerja tak berjalan mulus. Pemberian bantuan modal usaha juga kurang berarti bila barang dan jasa tidak ada pembelinya. Resesi bisa ditandai dengan deflasi maupun inflasi. Barang ada tak ada pembelinya atau uang ada tapi barang-barang lenyap dari pasar.

MONDAYREVIEW.COM – Pilihannya memang tidak populer jika Pemerintah harus berutang untuk mendongkrak ekonomi melalui Bantuan langung Tunai (BLT). Sumber-sumber lain tentu harus diupayakan. Namun demikian pilihan itu masih lebih rasional daripada membiarkan rakyat kehilangan daya beli. Pada gilirannya sektor-sektor ekonnomi akan mandeg bila konsumsi masyarakat anjlok.
Upaya untuk memberi kail dengan program Kartu Pra Kerja tak berjalan mulus. Pemberian bantuan modal usaha juga kurang berarti bila barang dan jasa tidak ada pembelinya. Resesi bisa ditandai dengan deflasi maupun inflasi. Barang ada tak ada pembelinya atau uang ada tapi barang-barang lenyap dari pasar.
Ekonom Chatib Basri mengingatkan pentingnya pemberian bantuan sosial dalam bentuk Bantuan Langsung Tunai yang dampaknya lebih efektif kepada masyarakat yang terdampak pandemi COVID-19. Demikian dilansir dari Kantor Berita Antara.
Menurut pria yang akrab dipanggil Bang Dede ini BLT perlu diperluas tidak hanya kepada kelompok miskin tetapi juga kepada masyarakat rentan miskin akibat dampak COVID-19, apalagi Bank Dunia memperkirakan ada 115 juta orang Indonesia yang rentan miskin.
Ia menyakini adanya BLT akan mendorong daya beli dan meningkatkan konsumsi rumah tangga sehingga pada akhirnya bisa mempengaruhi permintaan dan masuknya investasi secara keseluruhan.
Selain dari pembiayaan utang, dana untuk BLT bisa berasal dari realokasi Kementerian Lembaga, dengan menunda proyek-proyek infrastruktur, serta lebih memprioritaskan perawatan selama sekitar enam bulan.
Ia juga tidak mempermasalahkan apabila alokasi belanja berpengaruh terhadap pelebaran defisit anggaran lebih tinggi dari 6,34 persen terhadap PDB, karena pemerintah masih mempunyai ruang untuk itu. Kalau situasi ekonomi belum memungkinkan, ekspansi saja. Demikian pendapat Menteri Keuangan periode 2013-2014 itu.
Hantu resesi memang menjadi sosok yang menakutkan mengingat berbagai negara maju maupun berkembang seperti Jerman, Singapura, Korea Selatan, dan Amerika Serikat sudah mengalami kelesuan ekonomi. Termasuk Hong Kong.
Untuk itu, pelaksanaan belanja stimulus di triwulan III 2020 menjadi pertaruhan penting bagi perekonomian Indonesia agar momentum pembenahan yang telah direncanakan pemerintah tidak terbuang dengan sia-sia.
Badan Pusat Statistik (BPS) telah mengumumkan rilis pertumbuhan ekonomi triwulan II-2020 yang mengalami kontraksi sebesar 5,32 persen atau untuk pertama kalinya masuk zona negatif sejak 1999.
Hampir seluruh lapangan usaha maupun kelompok pengeluaran pada periode ini mengalami pertumbuhan minus karena kegiatan atau aktivitas usaha mengalami persoalan permintaan yang minim dari masyarakat.
Dari sisi lapangan usaha, kontraksi terjadi di berbagai kelompok seperti industri pengolahan yang minus 6,19 persen, perdagangan minus 7,57 persen dan konstruksi minus 5,39 persen.
Lapangan usaha lainnya yang ikut tumbuh negatif adalah pertambangan minus 2,72 persen, administrasi pemerintahan minus 3,11 persen dan yang terdampak paling besar yaitu transportasi dan pergudangan minus 30,84 persen.
Meski demikian, masih ada sektor yang tumbuh positif dalam triwulan II-2020 antara lain sektor pertanian 2,19 persen, informasi dan komunikasi 10,88 persen serta jasa keuangan 1,03 persen.
Dari sisi kelompok pengeluaran, konsumsi rumah tangga menjadi penyumbang kontraksi terbesar dengan tumbuh negatif 5,51 persen disusul pembentukan modal tetap bruto (PMTB), yang merupakan komponen investasi, dengan tumbuh minus 8,61 persen.
Dalam periode ini, konsumsi pemerintah juga terkontraksi hingga 6,9 persen, ekspor barang dan jasa tumbuh minus 11,66 persen serta impor barang dan jasa tumbuh negatif 16,96 persen.
Pemerintah menyadari bahwa perlambatan tersebut akan terjadi seiring dengan pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang membatasi kegiatan ekonomi sejak Maret 2020.
Oleh karena itu, pemerintah tidak hanya mengatasi masalah kesehatan akibat COVID-19, tetapi juga berupaya meningkatkan daya beli masyarakat untuk mendorong permintaan yang mengalami kelesuan.
Berbagai upaya yang sudah dilakukan adalah dengan memberikan stimulus berupa perlindungan sosial kepada masyarakat yang membutuhkan maupun dukungan insentif kepada dunia usaha baik UMKM maupun korporasi.
Tidak hanya itu, pemerintah juga memberikan pembiayaan investasi, Penyertaan Modal Negara (PMN) maupun penempatan dana untuk mendukung Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).
Untuk melaksanakan kebutuhan penanganan COVID-19 maupun mendukung Program PEN tersebut, pemerintah sudah memperlebar defisit anggaran hingga 6,34 persen PDB atau senilai Rp1.039,2 triliun.
Berdasarkan data terakhir, pada awal Agustus 2020, realisasi belanja penanganan COVID-19 dan PEN baru mencapai Rp145 triliun atau sekitar 21 persen dari target sebesar Rp695,2 triliun.