LBHM Desak Pemerintah Revisi UU Narkotika
Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) mendorong Pemerintah dan DPR untuk segera merevisi Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Hal tersebut dikatakan mengingat tahun2019 ini merupakan 10 tahun umur UU Narkotika, yang mempunyai dampak buruk akibatnya.

MONITORDAY.COM - Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) mendorong Pemerintah dan DPR untuk segera merevisi Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Hal tersebut dikatakan mengingat tahun2019 ini merupakan 10 tahun umur UU Narkotika, yang mempunyai dampak buruk akibatnya.
“2019 ini menandakan 10 tahun sudah UU Narkotika diimplementasi di Indonesia dan banyak dampak buruk yang tercipta,” ujar Direktur LBHM Ricky Gunawan, dalam keterangan tertulis yang diterima Rabu (26/6).
Ricky mengatakan, pasal-pasal pemidanaan yang terus digunakan untuk memenjarakan pemakai narkotika haruslah segera dihapus. Ia mengungkapkan,pada Desember 2018, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yasonna Laoly, mengemukakan bahwa lebih dari 50% narapidana di Indonesia adalah kasus narkotika. Dari jumlah tersebut, 41.000 di antaranya diidentifikasi sebagai pengguna narkotika.
Jumlah tersebut menurut Ricky, mengantarkan Indonesia mencapai overcrowding lembaga pemasyarakatan (lapas) sebesar 203%. Kriminalisasi pemakaian narkotika justru melahirkan persoalan baru.
“Yakni menambah beban lapas sehingga negara harus mengeluarkan uang ratusan milyar untuk membiayai makan narapidana-narapidana yang melakukan tindak pidana non-violent; menciptakan pasar narkotika di dalam lapas; memperburuk situasi kesehatan di lapas; dan hanya menguntungkan oknum penegak hukum yang korup,” terangnya.
“Oleh karena itu, kami mendesak Pemerintah dan DPR agar mendekriminalisasi penggunaan, penguasaan, serta pembelian narkotika dalam jumlah terbatas untuk konsumsi pribadi agar menegaskan komitmen negara dalam meletakkan pemakai narkotika sebagai manusia yang dapat memperoleh dukungan kesehatan dan layanan psikososial,” lanjut dia.
Selain itu, Ricky mengatakan, pihaknya juga mendorong Pemerintah dan DPR untuk merevisi Pasal 6 dan Pasal 8 UU Narkotika agar Narkotika Golongan I dapat digunakan untuk keperluan medis. Ia mengingatkan, pada 2017, Fidelis Ari harus mendekam di penjara karena mengobati istrinya Yeni Riawati, yang kemudian meninggal dunia, dengan ekstrak ganja.
“Penyediaan pengobatan yang harusnya menjadi tanggung jawab negara malah menjadi sebuah tindak pidana karena regulasi yang tidak mengimani hak asasi manusia,” ujarnya.
Sebagai perbandingan, lanjut Ricky, Thailand dan Korea Selatan sudah mulai menerapkan kebijakan ganja untuk kepentingan medis. Selain itu, sudah banyak studi internasional yang menunjukkan manfaat kesehatan dari narkotika golongan I seperti opium, MDMA, dan psilosibin. Pemerintah Indonesia seharusnya bersikap terbuka dan tidak paranoid terhadap perkembangan ilmu kesehatan dan kebijakan narkotika.
Lebih lanjut, Ricky juga mendorong, agar Pemerintah melakukan moratorium hukuman mati pada kasus narkotika. Tiga gelombang eksekusi yang telah membunuh 18 orang mendapatkan banyak kritik dari dunia internasional. Eksekusi mati juga tidak pernah terbukti menurunkan tingkat pemakaian dan peredaran gelap narkotika.
“Pemerintah Indonesia hendaknya mengikuti Malaysia yang sudah melakukan moratorium hukuman mati baru-baru ini. Dari sana, kita harapkan Pemerintah akan lebih berkonsentrasi mencari solusi yang memang menyasar masalah bukannya berpaling pada unjuk kekuatan yang tak menyelesaikan apapun seperti hukuman mati,” ungkap dia.