Menyemai Kritik Memetik Bintang
Salah satu berita paling hangat pekan ini adalah rencana penganugerahan Bintang Mahaputera Nararya kepada duo kritikus terpedas Fahri Hamzah dan Fadli Zon. Beragam tanggapan muncul di dunia maya.

MONDAYREVIEW.COM – Salah satu berita paling hangat pekan ini adalah rencana penganugerahan Bintang Mahaputera Nararya kepada duo kritikus terpedas Fahri Hamzah dan Fadli Zon. Beragam tanggapan muncul di dunia maya. Penjelasan Fahri dan Fadli di kanal Youtube Video Legend milik Ahmad Dhani menyiratkan pesan bahwa keduanya akan tetap kritis dan vokal. Fahri berkilah penghargaan itu sesungguhnya diberikan kepada rakyat Indonesia.
Pro dan kontra tentu saja muncul. Salah satunya dari budayawan Sudjiwotedjo dalam cuitannya di twitter yang dibalas oleh akun Paduko Intan :
Saya termasuk yg tak khawatir Bintang Mahaputra Nararya akan membuat Bang Fadli Zon & Bang Fahri kurang vokal lg. Sebab mrk bukan Jawa. Org Jawa seperti saya, sesuai filsafat penulisan Hanacaraka, kalau dipangku/dipuji/dihargai bukan saja kurang vokal lg tapi mati/jd konsonan.
— Jack Separo Gendeng (@sudjiwotedjo) August 11, 2020
Kami Melayu Minang mah ketawa2 aja di kedai. Politik bagi orang Minang seperti makan nasi. Belom terkatakan, kami udah tau apa yang di maksud. Di Tempat kami, kalau liat lawan bicara lbh hebat, bayarin aja kopi nya. Mingkem langsung.
— Panduko Intan (@DikiMulia) August 11, 2020
Bintang Mahaputera merupakan penghargaan atas jasa-jasa yang luar biasa seorang tokoh di berbagai bidang yang bermanfaat bagi kemajuan, kesejahteraan, serta kemakmuran bangsa dan negara. Tak hanya Fadli Zon dan Fahri, mereka yang menjadi penerima bintang Mahaputera di antaranya Ketua Mahkamah Agung Muhammad Hatta Ali, Bekas Wakil Ketua DPD Farouk Mohammad dan Bekas Kepala BNPT Suhardi Alius serta 22 tenaga medis yang gugur karena menangani Covid-19.
Alasan formalnya jelas. Pemberian bintang Mahaputera Nararya kepada Fadli Zon dan Fahri Hamzah sesuai dengan peraturan yang berlaku. Mantan ketua/wakil ketua lembaga negara, mantan menteri dan yang setingkat mendapat bintang jasa seperti itu jika selesai tugas dalam satu periode jabatan
Landasan hukum pemberian gelar diatur melalui Undang-undang Nomor 20 tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2010 yang merupakan usaha kodifikasi dan penyatuan sistem pemberian tanda-tanda kehormatan.
Sebelum dua produk hukum ini berlaku, ada begitu banyak undang-undang dan peraturan pemerintah yang mengatur tanda kehormatan tertentu saja secara terpisah antara satu dengan yang lain.
Tanda kehormatan yang pertama kali diadakan oleh Republik Indonesia adalah Bintang Gerilya (Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1949). Tanda kehormatan yang paling akhir diadakan sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2010 adalah Satyalancana Dharma Nusa (Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2003).
Fahri tercatat pernah menempuh pendidikan di Fakultas Pertanian Universitas Mataram pada tahun 1990 hingga 1992. Dia tidak melanjutkan kuliahnya di Unram dan memilih masuk Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia pada tahun 1992.
Di UI Fahri menjadi aktivis tulen. Ia menjadi ketua umum Forum Studi Islam di fakultasnya, dan juga tercatat pernah menjadi ketua departemen penelitian dan pengembangan di senat mahasiswa universitas periode 1996–97.
Seiring bergulirnya Reformasi pada 1998, Fahri yang aktif di organisasi-organisasi mahasiswa Islam di Jakarta turut membidani kelahiran Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) di Malang, dan menjabat sebagai Ketua I pada periode 1998–1999.
Ia ikut serta mengorganisasi gerakan-gerakan melawan rezim Orde Baru bersama KAMMI. Bahkan, setelah jatuhnya Soeharto, ia bersama gerakannya tetap mendukung presiden baru B.J. Habibie, meskipun sebagian besar mahasiswa saat itu mulai menentang Habibie yang dianggap tidak berbeda dengan pendahulunya.
Sementara Fadli Zon dikenal dekat dengan Prabowo Subianto sejak masih menjadi aktivis. Awal kariernya Fadli sempat bekerja di dunia kewartawanan dan menjadi seorang penulis lepas di salah satu media.
Pada tahun 1997-1999, Fadli mulai menjelajahi dunia politik dengan menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Republik Indonesia (RI) dari golongan pemuda dan aktif sebagai asisten Badan Pekerja Panitia Adhoc I yang membuat GBHN. Selain itu, ia juga mendirikan lembaga kajian publik dengan nama Institute for Policy Studies (IPS)
Memasuki Era Reformasi pada tahun 1998, Fadli Zon bersama Yusril Ihza Mahendra mendirikan Partai Bulan Bintang (PBB) dan menjadi salah satu ketua hingga tahun 2001.
Kemudian, Fadli memutuskan untuk bergabung dengan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), yang dipimpin Prabowo Subianto. Sejak memutuskan bergabung pada tahun 2008, ia dipercaya menduduki jabatan sebagai Wakil Ketua Umum Partai Gerindra.
Selain aktif didunia politik, Fadli juga aktif di dunia bisnis. Ia sempat menjabat sebagai Direktur Nusantara Energy Resources, kemudian juga menjadi Direktur Umum Golden Spike pada perusahaan minyak dan gas milik swasta. Selain itu, ia juga sempat menjadi Direktur Nusantara Energy, Direktur PT Padi Nusantara dan terakhir sebagai Direktur Pengembangan Usaha PT Tindar Kerinci Agung pada tahun 2007.
Ia menempuh studinya di program Studi Rusia, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia (FIB UI). Pada tahun 2002, ia mengenyam pendidikan di London School of Economics and Political Science (LSE) di bawah bimbingan John Harriss dan Robert Wade. Di mata lawan politiknya Fadli acapkali dianggap nyinyir.