Pro-Kontra Utang Pemerintah RI
Dalih pemerintah dan kecemasan kalangan pengamat ekonomi perlu difahami publik dengan jernih.

MONDAYREVIEW.COM - Pro-kontra terkait utang bukan soal baru. Mengapa harus utang? Karena pemerintah dan swasta harus menggerakkan pertumbuhan ekonomi. Tanpa utang ekonomi sulit tumbuh. Ada utang pemerintah dan ada utang swasta. Ada utang dalam negeri dan ada utang luar negeri. Utang BUMN termasuk dalam komponen utang swasta. Utang dalam negeri bisa dibaca sebagai utang pemerintah kepada rakyatnya sendiri.
Pemerintah memiliki dalih dibalik penambahan utang. Dengan berbagai bentuk investasi dan pinjaman pemerintah akan menggunakannya untuk membiayai infrastruktur. Proyek infrastruktur akan memiliki dampak bagi perekonomian Indonesia dalam jangka panjang.
Yang menjadi fokus perhatian khalayak hari ini adalah utang pemerintah. Utang pemerintah Indonesia per Februari 2018 sudah mencapai Rp4.034 triliun. Kementerian Keuangan mencatat rasio utang itu 29,2 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) 2018 yang sebesar Rp13.798 triliun.
Sampai saat ini, Indonesia masih memiliki pinjaman luar negeri. Per Februari 2018, utang pemerintah yang berasal dari pinjaman luar negeri tercatat sebesar Rp 771,6 triliun. Khusus untuk pinjaman luar negeri juga didapatkan dari berbagai cara, mulai dari pinjaman bilateral yang sebesar Rp 331,24 triliun, pinjaman multilateral Rp 396,02 triliun, pinjaman komersial Rp 43,32 triliun, dan pinjaman suppliers Rp 1,17 triliun.
Komposisi pinjaman pemerintah ini yang harus difahami oleh publik secara luas. Pinjaman luar negeri yang berasal dari kreditur komersial seperti lembaga keuangan internasional mencapai Rp 43,32 triliun, atau tumbuh minus 4,21% dari periode sama tahun sebelumnya yang mencapai Rp 45,22 triliun.
Sementara itu, pinjaman luar negeri yang berasal dari kreditur multilateral selama Februari mencapai Rp 396,02 triliun atau tumbuh 8,15% dari periode sama tahun lalu yang hanya mencapai Rp 366,18 triliun.
Data lain menunjukkan komposisi utang sebagai berikut. Secara total, komposisi utang pemerintah di Februari masih di dominasi dari Surat Berharga Negara (SBN) mencapai Rp 3.257,26 triliun. Sementara itu, total pinjaman pemerintah melalui bilateral, multilateral, komersial, dan supplier mencapai Rp 734,98 triliun.
Rakyat semestinya memperoleh informasi yang memadai tentang APBN, penerimaan pajak, dan utang. Selain untuk apa utang itu juga kepada siapa pemerintah berutang. Dilihat dari komposisi di atas, pemerintah RI lebih banyak mendapatkan utang dari SBN. Bunga SBN masih tinggi seiring dengan inflasi kita yang masih cukup tinggi.
Saat ini, SBN merupakan instrumen utama dari utang, mencapai 72% dari total utang. Instrumen utang lainnya adalah pinjaman, baik pinjaman dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Ada tiga fungsi utama utang: 1) menutup defisit anggaran sebagai akibat adanya selisih negatif yang dihasilkan dari pendapatan dikurang belanja; 2) memenuhi kebutuhan membayar kembali (refinancing) utang yang jatuh tempo; 3) untuk pengeluaran pembiayaan, seperti pembiayaan investasi. Yang jadi soal adalah ketika lebih banyak utang baru digunakan untuk refinancing atau membayar bunga utang dan cicilan pokok utang sebelumnya. Ini yang disebut gali lubang tutup lobang.
Utang melalui instrumen SBN dimaksudkan untuk mengurangi ketergantungan kepada utang luar negeri. Di atas 60% pembeli atau investor SBN berasal dari dalam negeri. Sementara mayoritas pinjaman pemerintah berasal dari luar negeri. Di mata pemerintah, 40% kepemilikan asing atas SBN masih aman. Sementara bagi sebagian pengamat itu mencemaskan terutama ketika posisi nilai tukar rupaih terombang-ambing.
Dengan rasio utang atas PDB yang berada di angka 29,1% menjadi dalih bagi pemerintah bahwa utang pemerintah masih aman. Apalagi peringkat utang Indonesia juga naik dan masuk dalam investment grade.
Di sisi lain banyak kalangan yang mencemaskan melesatnya jumlah utang Indonesia dalam tiga tahun terakhir menjadi sorotan banyak pihak. Kementerian Keuangan dalam APBN 2018 menyatakan total utang Pemerintah mencapai Rp 4.772 triliun.
Data yang dimiliki Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menunjukkan total utang Negara Indonesia setidaknya telah mencapai lebih dari 7.000 triliun rupiah yang terdiri dari total utang Pemerintah dan Swasta. Posisi utang Luar Negeri Pemerintah tahun 2017 telah mencapai US$177 miliar (kurs 13.500 sekitar Rp 2.389 triliun).
Sedangkan utang luar negeri swasta tahun 2017 sebesar US$ 172 miliar (kurs 13.500 sekitar Rp 2.322 triliun) dan besar kemungkinan belum termasuk semua utang BUMN. Kemudian, Indonesia juga mengimpor berbagai jenis produk, baik untuk kebutuhan produksi maupun konsumsi, dimana sebagian industri memasok bahan baku maupun penolong dari impor.
Terkait hal ini, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Enny Sri Hartati menilai kondisi tersebut menggambarkan lemahnya kemandirian ekonomi nasional. Utang yang terus bertambah menurutnya membuat ketergantungan ekonomi Indonesia terhadap asing justru meningkat.
Padahal, jika digunakan untuk kegiatan produktif, utang seharusnya dapat mempercepat peningkatan output nasional yang pada akhirnya akan mengurangi ketergantungan terhadap produk atau sumber daya impor.
"Namun nyatanya impor meningkat dan tidak mampu dikompensasi oleh peningkatan ekspor," kata Enny dalam konferensi pers bertajuk 'Menggugat Produktivitas Utang' di Kantor INDEF, Pejaten, Jakarta Selatan, Rabu (21/3/2018).
Terlebih, bahan-bahan tersebut sebagian besar berasal dari komoditas ekspor Indonesia yang telah diolah di negara lain. Sepanjang awal 2018, impor Indonesia meningkat 26,58 persen sementara ekspor hanya meningkat 10,13 persen. Hal ini menyebabkan terjadinya defisit neraca perdagangan.
"Peningkatan impor yang besar ini juga disebabkan oleh maraknya impor barang konsumsi yang tumbuh menggila hingga mencapai 44,30 persen," imbuhnya.
Lemahnya pengendalian impor pasca penerapan perjanjian perdagangan bebas (Free Trade Agreement/ FTA) dinilai menjadi penyebab tingginya impor tersebut. Dalam berbagai situasi, Pemerintah memang seringkali menempuh strategi impor untuk memenuhi kebutuhan mendasar seperti beras, bawang, bahkan garam.
INDEF menilai kondisi demikian menggambarkan buruknya tata kelola ekonomi domestik yang pada gilirannya berdampak pada kebijakan jangka pendek. "Berbagai keperluan untuk menunjang pembangunan infrastruktur dan pengadaan barang Pemerintah juga lebih kental aroma impor ketimbang memprioritaskan industri dalam negeri," jelas Enny.
Sementara itu, utang Pemerintah bergantung pada Surat Berharga Negara (SBN) dengan persentase kepemilikan asing yang tinggi. Pemerintah menggeser dominasi utang luar negeri menjadi utang dalam negeri melalui penerbitan SBN.
Bahkan, SBN yang dimiliki asing mendominasi sejak 2014 dan terus berlanjut hingga Juni 2017 yang mencapai 39,5 persen dari total SBN. Peneliti Senior INDEF, Faisal Basri mengingatkan hal tersebut perlu diwaspadai karena rentan terjadi capital outflow yang akan sangat berisiko bagi stabilitas perekonomian.
"Data out-standing SBN posisi September 2017 sudah mencapai Rp3.128 triliun, terdiri SBN denominasi Rupiah Rp2.279 triliun, dan dalam denominasi Valas 849 triliun," imbuhnya.
Selain itu, dominasi asing dinilai membuat stabilitas Rupiah terombang-ambing. Utang Pemerintah yang komposisinya sebagian besar berupa penerbitan obligasi sebsesar 81 persen didominasi oleh porsi kepemilikan asing sekitar 40 persen dengan tren yang meningkat dari tahun ke tahun.
Hal itu dikhawatirkan membuka ruang peningkatan volatilitas nilai tukar Rupiah. "Saat perekonomian global mengalami tekanan seperti saat ini, maka potensi arus modal keluar akan meningkat dan selanjutnya membuat Rupiah semakin berfluktuasi," ujar Faisal.