Kristalisasi Semangat Perubahan Megawati Soekarnoputri

Lahir di tengah keprihatinan, Megawati Soekarnoputri tumbuh menjadi sosok yang memiliki kepekaan emosi cukup tinggi. Gaya bicaranya sederhana, karena terbiasa dekat dengan rakyat.

Kristalisasi Semangat Perubahan Megawati Soekarnoputri
Ketua Umum PDI-Perjuangan/Megawati Soekarnoputri.
PDI Perjuangan tak sekadar mencari ‘naiknya semangat' namun juga lahirnya perubahan.

MENYIMAK pidato politik Megawati Soekarnoputri dalam Pembukaan Kongres ke-5 PDI-Perjuangan, Kamis (8/8), terasa betul betapa beliau menguasai panggung. Dengan durasi yang hampir satu jam, dia berhasil memainkan emosi hadirin. Benang merah pidatonya dipintal dengan tema-tema yang serius, hingga candaan ringan. Kemasannya pun terasa lebih dinamis dan segar.

Mulai dari soal pentingnya toleransi dan demokrasi sebagaimana pernah dikatakan Bung Karno. Hingga candaannya soal ‘politik ulek sambel’ yang ia jalin dengan Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto.

Meski dinilai cukup berhasil menyampaikan pidato politiknya, namun Megawati sendiri sebetulnya mengaku kurang begitu sreg dengan model pidato berbahasa Indonesia yang formal. Menurutnya, jika diminta berpidato seperti itu, dia selalu tak sabaran ingin cepat menutup pidatonya.

"Kalau disuruh berpidato dengan bahasa Indonesia yang baik kadang gak sabaran saya. Terlalu sudah biasa berbahasa rakyat," ungkap Megawati.

Mungkin, inilah yang dimaksud Mulla Shadra, “Manusia sempurna adalah manusia yang menyelaraskan dirinya dengan ketentuan-ketentuan Ilahi.” Bahwa watak dan karakter kepemimpinan yang dimiliki seseorang berkaitan dengan kondisi alam ketika kelahirannya. Pun demikian dengan Megawati Soekarnoputri.

Dalam bukunya ‘Cerita Kecil dari Cikini’, Kristin Samah menyebut Dyah Permata Megawati Setyawati Soekarnoputri lahir dalam kondisi memprihatinkan di Kampung Ledok Ratmakan, pinggir kali Code, Yogyakarta, 23 januari 1947.

Waktu itu, selepas Magrib, hujan begitu deras dan halilintar seperti hendak membelah angkasa. Lampu padam, Megawati lahir dalam temaran cahaya lilin. Tak lama setelah itu, Belanda merencanakan Agresi Militer, Bung Karno pun memboyong keluarganya ke Yogyakarta.

Babak baru keluarga Soekarno berawal pada 17 Desember 1949. Mereka tinggal di Istana. Tiga adik Megawati yakni Rachmawati, Sukmawati dan Guruh lahir di Istana. Mereka bertumbuh bersama didampingi pengasuh.

Lahir di tengah keprihatinan, membuat Megawati Soekarnoputri memiliki kepekaan emosi yang cukup tinggi. Termasuk dengan gaya bicaranya, Megawati lebih suka menyampaikan sesuatu secara blak-blakan dan apa adanya.

Dalam hal kepemimpinan, Megawati Soekarnoputri termasuk sosok yang mengedepankan emosi. Bila merujuk pada tifologi kepemimpinan Herbert Feith, Megawati Soekarnoputri termasuk solidarity maker. Ibu Mega, begitu biasanya dia disapa, selalu terobsesi untuk memperkuat dukungan konstituen dan mempengaruhi sikap swing voters untuk memutuskan dukungannya.

Soal kharisma, Megawati berbeda dengan para pemimpin dengan tipe solidarity maker lainnya. Ia tak terlalu piawai dan terobesesi untuk memupuk citra dirinya. Dia lebih suka tampil apa adanya.

Meski lebih suka tampil apa adanya, namun Megawati Soekaroputri tidak lantas kedodoran untuk meningkatkan popularitasnya. Dimata kadernya sosok ‘Ibu Mega’ adalah juara. Dia berhasil memimpin PDI-Perjuangan dari sejak tahun 1999. Melalui tangan dinginnya, PDI-perjuangan berhasil menjadi satu-satunya partai nasionalis yang bisa menjaga soliditas internal partainya.

Kita tahu bahwa soliditas internal partai berpengaruh besar terhadap sentiment publik. Makin solid partai maka sentiment publik makin positif. Itu artinya, peluang untuk meraih simpati, dukungan publik kian kuat. Ya soliditas itu pula lah yang membuat PDI Perjuangan berhasil menjadi pemenang di pemilu 1999, 2014 dan 2019.

Di bawah kepemimpinan Megawati, mesin kaderisasi PDI Perjuangan berjalan secara terstruktur, terukur dan teratur. Sehingga partai banteng ini memiliki kader yang sangat disiplin dan loyal. Hampir tidak ada kader yang menjadi kutu loncat.

Bagi PDI Perjuangan dan Megawati, Pemilu 2019 menjadi moment pembuktian. Apakah soliditas partai yang sebelumnya ia bangun cukup ampuh untuk meraih simpati dukungan publik.

Berbeda dengan Pemilu 2014, pelaksanaan Pilpers dan Pileg pada Pemilu tahun 2019 dilakukan secara serentak pada 17 April 2019. Tak dinyana, Pileg pun kalah pamor dengan Pilpres. Perhatian masyarakat lebih banyak tersedot kepada pelaksanaan Pilpres yang mempertemuakan pasangan 01 (Jokowi-Ma’ruf Amin) dan Pasangan 02 (Prabowo Subianto-Sandiaga Uno). Akibat lainnya, para caleg harus bekerja lebih ekstra untuk lolos.

Di saat kubu Prabowo mendapatkan momentum soliditasnya, banyak partai pendukung Jokowi-Ma’ruf Amin gentar dan tak berani terbuka soal dukungan kepada capresnya. Dalam kondisi tersebut, hanya PDI Perjuangan yang konsisten dan berani terbuka. Jawa Barat sebagai dapil neraka dan paling menentukan kemenangan, menjadi saksi. Bagaimana partai banteng terdepan dalam mengkampanyekan caleg dan capresnya di tengah masyarakat. Baik atribut caleg maupun pasangan 01 semua dipasang secara bersamaan. Sementara partai koalisi lain, seperti malu-malu kucing.

Melihat realitas politik selama masa kampenye di Pemilu 2019, maka sebetulnya sangat wajar jika PDI Perjuangan meminta jatah kursi menteri lebih banyak. Karena mereka memang bekerja secara total.

Bagi Megawati, PDI Perjuangan tak sekadar mencari ‘naiknya semangat” namun juga perubahan. Karena menurutnya, perubahan lahir setiap waktu, Namun semangat setiap saat bisa lahir juga bisa luntur.

“Berupayalah menemukan satu jalan perubahan yang lebih dalam daripada itu. Temukan jalan perubahan untuk menyongsong regenerasi di internal bangsa maupun global. Untuk itu semua, Tiga Pilar Partai harus mampu mengukuhkan kristalisasi kesadaran politik ideologis yang sedalam-dalamnya,” ujar Mega.

Menurut dia, kristalisasi kesadaran ideologis dibutuhkan untuk menjadikan PDI Perjuangan sebagai partai pelopor. PDI Perjuangan menurutnya, harus menjadi partai yang memiliki satu kedisiplinan penuh, satu disiplin ideologi, satu disiplin teori, satu disiplin tindakan dan satu disiplin gerakan. Dengan kata lain, PDI Perjuangan harus menjadi satu partai ideologis yang solid. 

“Jika kita tidak solid, kita pasti akan kalah. Tetapi jika kita solid, setengah pertarungan politik telah kita menangkan dari awal. Solid bergerak sebagai partai yang berideologi Pancasila,” ujarnya.

Tanpa menafikan peran tokoh dan kader lainnya, namun apa yang diraih PDI Perjuangan tak dapat dipungkiri merupakan buah dari kerja keras seorang Megawati Soekarnoputri. Membangun organisasi, perusahaan atau partai politik memang ibarat membangun rumah. Untuk membangun sebuah rumah, maka harus menggunakan komponen-komponen yang sesuai. Diantara satu komponen dengan komponen lainnya harus saling mendukung dan tidak saling bertentangan. Bahkan, ukuran satu komponen dengan komponen lainnya juga harus setimbang. Jika tak setimbang, akan membuat ikatan jadi rapuh. Bangunan pun mudah retak atau bahkan rubuh.

Soliditas memang memiliki peranan yang sangat penting bagi para pelaku politik. Soliditas adalah sebuah keadaan dimana kita menjadi kukuh, solid. Dimana berbagai elemen menyatu dan menjadi kuat ketika bersama.

Nah, tak heranlah jika Megawati Soekarnoputri kembali terpilih untuk memimpin PDI Perjuangan 5 tahun mendatang dalam kongres V di Bali. Karena sosok Megawati Soekarnoputri lah kader PDI Perjuangan bisa solid hingga sekarang. Mereka Solid ketika bergerak. Apa yang diraih partai dan dirinya hingga kini, tak lain merupakan kristalisasi semangat perubahan yang dimilikinya.

“Selama kita solid, kita dapat mengatai kesulitan kesulitan itu. Yakinlah selama kita solid, kita tidak akan pernah meninggalkan rakyat. Karena Rakyat adalah sumber dan tujuan politik PDI Perjuangan,” pungkas Megawati ketika menutup pidatonya.