Kongres Ulama Muda Muhammadiyah di Tahun Politik
Ulama Muda Muhammadiyah mengingatkan bangsa untuk mengedepankan politik kebangsaan. Disamping keluasan ilmu dan dan senantiasa takut kepada Allah, Ulama harus hadir dalam memberi solusi bagi problem keummatan
MONDAYREVIEW.COM, Jakarta – Pimpinan Pusat (PP) Pemuda Muhammadiyah menggelar Kongres Ulama Muda pada 29 sampai 31 Januari 2018 di Pusat Dakwah Muhammadiyah Jakarta. Kongres membahas empat isu krusial kebangsaan.
Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak mengatakan, kongres akan menerbitkan Tausiah Kebangsaan dengan harapan bisa jadi pembahasan di tingkat Tarjih Muhammadiyah.
"Atau pun rekomendasi kepada Majelis Tarjih agar dibahas secara serius, syukur-syukur bisa jadi fatwa Muhammadiyah," ujar Dahnil di Pusat Dakwah Muhammadiyah, Jakarta Pusat, Selasa (30/1/2018).
Pertama, kongres akan membahas persoalan politik uang. Bagi Pemuda Muhammadiyah, politik uang merupakan pangkal korupsi yang jadi salah satu hambatan terbesar pembangunan bangsa.
Kedua, masalah hoaks. Dahnil mengatakan, perlu ada tausiah yang terang dan tegas dari ulama muda soal hoaks ini. Terlebih Indonesia tengah memasuki musim politik.
"Makanya bila perlu ada pesan untuk para buzzer misalnya," tutur Dahnil. Di organisasinya, Dahnil mengharamkan kader Muhammadiyah bekerja sebagai buzzer politik.
"Buzzer politik di pemuda Muhammadiyah haram," imbuh Dahnil.
Ulama muda Muhammadiyah juga membahas pengelolaan kekayaan alam Indonesia oleh Pemerintah. Pemuda Muhammadiyah mengingatkan, sumber daya alam nasional harus dikelola untuk kemaslahatan rakyat.
Keempat, isu nasionalisme dan persatuan Indonesia. Dahnil menegaskan, Muhammadiyah sudah final menyebut Indonesia sebagai negara Daarul Ahdi wa Syahadah.
Sementara itu Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah mengapresiasi kreatifitas Pemuda Muhammadiyah yang menggelar Kongres Ulama Muda Muhammadiyah.
"Kita PP Muhammadiyah senang karena Pemuda Muhammadiyah berani gunakan istilah ulama," ujar Ketua PP Muhammadiyah Yunahar Ilyas dalam pembukaan kongres di Pusat Dakwah Muhammadiyah, Jakarta Pusat, Selasa (30/1/2018).
Lebih jauh, Yunahar menjelaskan, ada tiga persyaratan seseorang patut disebut ulama menurut Majelis Tarjih.
Pertama memiliki keluasan ilmu. Seorang ulama, kata Yunahar harus menguasai seluruh bidang ilmu, sekurangnya-kurangnya Ilmu Syariah (Ilmu Keagamaan) meliputi Alquran, Hadist, Fiqih, Sejarah Nabi, dan semacamnya.
Kedua, lanjut Yunahar, seorang ulama harus memiliki rasa takut kepada Allah. Artinya, ilmu yang dikuasai harus mewujud pada peningkatan iman dan taqwa.
"Banyak orang mendalami Islam tetapi hanya sekadar ilmu. Di Jerman, Belanda banyak yang hafal Qur'an, kuasai hadist, tasawuf tetapi hanya untuk ilmu," kata Yunahar.
Terakhir, seorang ulama harus berada di tengah masyarakat dan peduli dengan urusan masyarakat. Ulama mesti membimbing dan mengingatkan masyarakat.
"Ini tiga syarat ulama. Perkara muda atau tua itu tergantung," katanya.
Kalangan Ulama Muda Muhammadiyah sendiri merespon positip tausiyah Yunahar Ilyas. Mereka memberi catatan bahwa Indonesia sedang memasuki tahun politik, Pilkada 2018 dan Pemilu 2019. Pemuda Muhammadiyah mengingatkan politisi agar mengedepankan akhlak mulia dalam menjalankan politiknya.
Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak mengatakan, pihaknya telah membuat garis acuan bagi kader Muhammadiyah dalam menjalankan peran politiknya, yang diberi nama Khittah Kahayan.
Khittah Kahayan berisi pesan-pesan bagaimana politik seharusnya dijalankan. Selain untuk kader, Khittah Kahayan juga dipesankan kepada para politisi negeri ini.
"Khittah Kahayan itu mendorong akhlak atau seperti apa akhlak politik kebangsaan. Harus dibedakan, politik kebangsaan beda dengan politik praktis," kata Dahnil di Pusat Dakwah Muhammadiyah, Jakarta Pusat, Selasa (30/1/2018).
Ada empat nilai politik kebangsaan, kata Dahnil. Pertama nilai tauhid, politik harus dimaknai sebagai ekspresi dalam rangka merawat ketauhidan.
'Kalau kata Ibnu Taimiyah politik itu menjaga agama dan menyiasati dunia. Dia harus jadi manifestasi ketauhidan," imbuh Dahnil.
Kedua, jelas Dahnil, politik harus punya dimensi ubudiyah (ibadah). Politik tak lain adalah sarana beribadah kepada Allah.
Kemudian, politik harus dimaknai sebagai sarana manusia untuk mengupayakan kemaslahatan bagi masyarakat.
"Keempat politik punya nilai dakwah. Semangat pemuda Muhammadiyah sangat Amar Maruf nahi Munkar harus diwujudkan dalam politik kebangsaan Pemuda Muhammadiyah," jelas Dahnil.
Khittah Kahayan dirumuskan pada Tanwir II (Rakernas) Pemuda Muhammadiyah yang digelar di Palangkaraya, Kalimantan Tengah pada akhir November tahun lalu.