Sialnya Oposisi dalam Sistem Presidensial

MONDAYREVIEW.COM - Hampir dipastikan tak ada halangan berarti lagi bagi Joko Widodo untuk melenggang menjadi presiden di periode kedua. Meski pelantikannya bersama KH Ma'ruf Amin baru akan dilaksanakan pada Oktober 2019, dinamika politik sudah lebih terfokus pada susunan kabinet Indonesia Kerja Jilid II.
Gerindra dan PKS ditengarai oleh para pengamat akan menjadi kekuatan politik yang berada di luar pemerintahan alias tidak masuk dalam jajaran Kabinet. Publik terlanjur menggunakan istilah oposisi yang sebenarnya menjadi istilah rancu dalam sistem presidensial. Istilah oposisi lebih dikenal dalam sistem parlementer.
Pengertian oposisi pada sistem presidensial lebih pada sikap politik yang ditunjukkan oleh individu maupun kelompok yang kritis terhadap suatu kebijakan yang dibuat oleh penguasa. Hal ini menunjukkan bahwa sikap tersebut tidak bersifat menyeluruh pada setiap pengambilan kebijakan. Pun oleh mereka yang menjadi anggota parlemen.
Sikap konsisten parpol menjadi cermin dari aspirasi konstituennya. Setidaknya istilah 'di luar pemerintahan' lebih mewakili posisi parpol tersebut. Sebut saja sikap PKS sebagaimana diungkapkan oleh pimpinannya.
"Kami melihat umat dan kader, rasa-rasanya PKS akan memilih di luar pemerintahan," kata Presiden PKS, Sohibul Iman, beberapa waktu lalu.
Partaipenentang di dewan perwakilan dan sebagainya yang menentang dan mengkritik pendapat atau kebijaksanaan politik golongan yang berkuasa
Menurut Fahri Hamzah di negara parlementer rakyat hanya milih parlemen untuk membentuk pemerintahan, lalu pemerintahan itu ada dua, kalau dia berkoalisi jadi mayoritas namanya "rulling majority", sisanya disebut dg "minority oposition".
Yang beroposisi dalam presidensialisme adalah parlemen karena di dalam sistem presidensial, rakyat milihnya keduanya, eksekutifnya dipilih, legislatifnya dipilih dan dicoblos anggota DPR.
Dalam sistem parlementer oposisi diciptakan oleh kemampuan melahirkan koalisi. Kalau koalisi menang mayoritas disebutnya itu 'rulling coalition' sisanya itu menjadi oposisi minoritas.
Ini tentu saja menghadirkan kemungkinan mendekatnya mantan seteru dalam Pemilu baik Pileg maupun pilpres untuk menata ulang posisinya setelah keputusan final dan mengikat yang diketuk palu oleh Mahkamah Konstitusi.
Dalam pandangan semacam ini kita bisa melihat bahwa sikap Partai Demokrat dan PAN sebagai cerminan dari kedewasaan dalam berpolitik.