Komisi Yudisial dan Seleksi Hakim Agung

Komisi Yudisial dan Seleksi Hakim Agung
Iwan Satriawan/ UMY

MONITORDAY.COM - Indonesia adalah negara hukum dan bukan negara kekuasaan. Di atas kertas, pernyataan itu tentu diamini banyak fihak di negeri ini. Semua sepakat bahwa keadilan harus ditegakkan. Undang-undang dan aturan yang telah disepakati harus dijalankan dan para pelanggarnya harus diberi sanksi. Mereka yang benar dan berhak harus dilindungi oleh putusan mahkamah.

Dalam kenyataannya keadilan masih terbengkalai dimana-mana. Para hakim pun banyak yang berlindung di balik formalitas hukum dan kepastian hukum. Meski demikian upaya perbaikan tetap ada dan harus terus-menerus diperjuangkan.

Hakim yang memiliki kapasitas dan integritas harus mendapat tempat yang semestinya untuk mengawal peradilan yang bersih. Rekam jejak tindakan dan konsistensinya sebagai penegak hukum menjadi pertaruhan dalam menjamin kualitas berbangsa dan bernegara. Proses seleksi yang dilakukan oleh lembaga yang independen mendorong terpilihnya para Hakim Agung yang memiliki kapasitas dan integritas.

Itulah sebagian pokok pikiran yang berkembang dalam diskusi virtual Tamu Redaksi Monday Media Group yang menghadirkan akademisi dan praktisi hukum dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Iwan Satriawan pada Senin (25/1/2021). Pakar hukum internasional dan tata negara ini berharap setidaknya proses seleksi yang baik dapat mengantarkan sejumlah calon yang berkualitas.

“Dengan adanya Komisi Yudisial, seleksi Hakim Agung relatif semakin baik dari waktu ke waktu. Tidak banyak kasus Hakim Agung terkait integritasnya,” kata Iwan Satriawan.

Tak dapat dipungkiri bahwa proses berikutnya adalah proses politik di parlemen. Sebagai lembaga politik DPR tentu sah-sah saja mengelola dan mencari titik temu antar kepentingan politik termasuk dalam penentuan Hakim Agung. Namun bila yang diajukan Komisi Yudisial adalah para calon hakim yang terbaik maka DPR tinggal menyetujui atau menolak dari para jawara yang tersaring komitmen moral dan kapasitasnya.

Kelak bila para Hakim Agung telah terpilih masih harus dikawal agar tidak terpengaruh oleh lingkungan yang mungkin masih tercemar oleh pengaruh buruk. Para pendekar hukum yang berani dan memiliki standar moral yang tinggi akan diuji oleh beragam cobaan dari pihak-pihak yang ingin membeli dan mempermainkan hukum. Termasuk yang mengotori lingkungan birokrasi di Mahkamah Agung.

“Birokrasi semisal di Sekretariat Jenderal MA memang rawan ditembus oleh kepentingan para pihak yang berperkara. Terkadang lebih berkuasa daripada para Hakim karena mereka lama di posisinya. Bisa mempengaruhi para Hakim Agung yang sebenarnya relatif bersih untuk bermain”, imbuh Iwan.

Kembali ke soal kultur dan standar moral, para Hakim Agung harus menyadari bahwa bukan jabatan yang membuatnya dihormati dan memperoleh ketinggian derajat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun kualitas putusan dan integritasnya yang akan menjadi penerang bagi jalan gelap para pencari keadilan.  

“Di Korea Selatan, bila ada calon Hakim yang dilaporkan oleh khalayak tidak bersih rekan jejaknya atau tersangkut perkara tertentu akan langsung mundur. Mereka punya budaya malu yang tinggi, “ pungkas Iwan.