Pra Peradilan HRS, Alamsyah Yakini Kali Ini Menang. Begini Penjelasannya!

Pra Peradilan HRS, Alamsyah Yakini Kali Ini Menang. Begini Penjelasannya!

MONITORDAY.COM - Kasus Habib Rizieq masih menyita perhatian publik walau tak seantusias beberapa bulan lalu. Seiring waktu berlalu langkah pra peradilan masih berlangsung. Alamsyah Hanafiah yang menjadi kuasa Hukum Habib Rizieq Optimis gugatan pra pradilan atas klien nya akan dikabulkan oleh hakim. Sidang pra peradilan untuk imam besar Front Pembela Islam itu telah lama bergulir di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Keputusan terkabul dan tidak nya pra peradilan terhadap Rizieq diagendakan PN Jakarta Selatan Pada Jum'at 17 Maret mendatang. Alamsyah meyakini pra peradilan kali ini berbeda dengan kasus-kasus sebelum yang menimpa klien nya dimana Hakim menolak gugatan pra peradilan Rizieq."Itu kan berbeda objeknya terkait penetapan tersangka tergantung alat bukti tapi pra peradilan yang kedua ini secara administrasinya perbuatan melawan hukum, menyimpang dari hukum administrasi," kata Alamsyah.

Menurut dia salah satu hal yang membuat hakim mengabulkan gugatan kliennya terkait penerbitan surar perintah penyidikan ganda yang diterbitkan pihak kepolisian atas kliennya.

Pendapat ahli terkait dua sprindik ini juga disebut ahli di persidangan sebagai hal yang salah secara prosedur.

Dalam proses penegakan hukum pidana pada kenyataannya sering terjadi orang ditangkap dan ditahan tanpa adanya surat perintah penangkapan dan/atau penahanan, bahkan proses penangkapannya sering pula dilakukan tanpa mengindahkan hak-hak asasi manusia, atau melanggar pasal 18 ayat (1) UU No.39 tahun 1999 tentang HAM, terkait asas praduga tak bersalah, yang berbunyi: ”Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dan dituntut karena disangka melakukan suatu tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam suatu sidang pengadilan dan diberikan segala jaminan hukum yang diperlukan untuk pembelaannya, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan”

Dan berdasarkan pasal 4 UU yang sama, setiap orang memiliki ”hak untuk tidak disiksa” dalam penegakan hukum. Dan dalam pasal 9 ayat (2) UU No.4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Pejabat yang melanggar ketentuan tersebut di atas bukan lagi dapat dipidana akan tetapi ”dipidana”.

Seperti yang kita ketahui Praperadilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutuskan tentang : a) Sah tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau permintaan yang berkepentingan demi tegaknya hukum dan keadilan ; b) Sah tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan yang berkepentingan demi tegaknya hukum dan keadilan ; dan c) Permintaan ganti-rugi atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atau kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke Pengadilan ;Hal mana tentang Praperadilan tersebut secara limitatif diatur dalam pasal 77 sampai pasal 83 Undang-undang No.8 tahun 1981 tentang KUHAP.

Sejauh ini di dalam praktiknya hak tentang Praperadilan tersebut hanya dilakukan oleh tersangka atau keluarga tersangka melalui kuasa hukumnya dengan cara melakukan Gugatan Praperadilan terhadap pihak Kepolisian atau terhadap pihak Kejaksaan ke Pengadilan Negeri setempat yang substansi gugatannya mempersoalkan tentang sah tidaknya penangkapan atau penahanan atau tentang sah tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan. Kita tidak pernah mendengar bahwa Kepolisian mempraperadilankan Kejaksaan tentang sah tidaknya Penghentian Penuntutan terhadap tersangka/terdakwa, atau sebaliknya pihak Kejaksaan mempraperadilankan pihak Kepolisian tentang sah tidaknya Penghentian Penyidikan.

Perlu untuk diketahui oleh masyarakat pada umumnya dan Penegak Hukum pada khususnya bahwa pasal 77 s/d pasal 83 KUHAP yang mengatur tentang Praperadilan tidak hanya memberikan hak kepada tersangka atau keluarganya untuk mempraperadilankan Kepolisian dan Kejaksaan, namun pasal tersebut juga memberi hak kepada Kepolisian untuk mempraperadilankan Kejaksaan begitu juga sebaliknya pasal tersebut juga memberi hak kepada Kejaksaan untuk mempraperadilankan Kepolisian.

\Jika suatu perkara pidana sudah di SPDP (P.16) dari Kepolisian ke Kejaksaan dan dalam perkembangannya menurut penilaian pihak Kejaksaan kasus tersebut telah memenuhi syarat untuk dilakukan penuntutan, namun ditengah jalan tiba-tiba pihak Kepolisian mengeluarkan SP3 (Surat Penetapan Penghentian Penyidikan) terhadap kasus tersebut maka demi tegaknya hukum dan keadilan seharusnya upaya akhir yang ditempuh pihak Kejaksaan adalah melakukan Gugatan Praperadilan terhadap pihak Kepolisian ke Pengadilan Negeri.

Begitu juga jika suatu perkara telah dinyatakan cukup bukti oleh pihak Kejaksaan (P.21) dan/atau telah perkara tersebut telah dilimpahkan dari Kepolisian kepada Kejaksaan, namun ditengah jalan tiba-tiba Kejaksaan mengeluarkan SP3 (Surat Penetapan Penghentian Penuntutan), maka seharusnya demi tegaknya hukum dan keadilan pihak Kepolisian harus berani melakukan Gugatan Praperadilan terhadap pihak Kejaksaan ke Pengadilan Negeri.