Kita dan Tafsir Subyektif Diksi ‘Pribumi’
Jangan-jangan ketika berpendapat politik yang terjadi adalah ‘jagoan kita tidak boleh salah dan kita pun permisif untuk memelintir pendapat’.

MONDAYREVIEW.COM – Diksi ‘pribumi’ menjadi polemik tersendiri. Diksi tersebut diujarkan oleh Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan dalam pidato pertamanya usai resmi dilantik. Ragam tafsir pun diungkapkan oleh berbagai kalangan. Tafsir yang diungkap pun memperlihatkan polarisasi dukungan yang masih terlihat sekalipun pilkada DKI Jakarta telah sah dan resmi menetapkan pemenangnya. Dari kata ‘pribumi’, aneka “gorengan isu” dapat disajikan.
Anies Baswedan, terlebih kini telah resmi sebagai Gubernur DKI Jakarta harus pandai-pandai meniti kata di ruang publik. Salah memilih diksi bisa menjadi “gorengan isu” yang aliran efeknya dapat mengalir sampai jauh. Ya inilah buah dari demokrasi, dimana lalu lintas pendapat dan persepsi dapat terjadi. Terkadang lebih banyak “bumbu” terhadap suatu peristiwa serta dikait-kaitkan dengan “cantelan” yang dipas-paskan.
Dalam hal ini publik harus pandai membaca berita. Untuk utuh dan mengembalikannya ke hulu yang ada. Bagaimanakah konteks kalimat itu secara utuh? Publik pun hendaknya jangan mau menjadi pendulum ekstrem yang menggunakan kacamata kuda. Dalam konteks kehidupan, jangan-jangan ada kekeliruan dan kesalahan dari pihak kita. Marilah berkaca pada prinsip penelitian yakni ‘boleh salah tapi tidak boleh bohong’. Jangan-jangan ketika berpendapat politik yang terjadi adalah ‘jagoan kita tidak boleh salah dan kita pun permisif untuk memelintir pendapat’. Sayonara prinsip-prinsip universal yang luhur, sedangkan sanjungan kepada sang jagoan politik didahulukan sembari “menikam” rival politik dengan kata-kata yang sudah tidak adil sejak dalam pikiran. Jika demikian praktik yang diterapkan, maka sesungguhnya kita berkontribusi memperkeruh langit demokrasi di negeri Indonesia.